SUFI TAUHID FILOS
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Ihya' Ulumuddin

+3
salik
kungkalikung
farquhar
7 posters

Page 5 of 5 Previous  1, 2, 3, 4, 5

Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  spanjunk Tue May 12, 2009 9:11 pm

salik wrote:
spanjunk wrote:
salik wrote:
APA BEZA ANTARA 'KERAJAAN' DAN 'KE-RAJA-AN'........???
ADAKAH BEZANYA???[/quote

KERAJAAN------- SIFAT
KE-RAJA-AN------ZAT

oh yeahhhhhhhhhhhhh???
JADI ' KERAJAAN LANGIT ' TUH APE???
WAKAKAKAKAKA
macam ' AYAH PIN ' lak bunyinye....
waakakkakaka
tapi percayalah... ia tiada kene mengene ngan ' ayah bg segala no pin ' tuh....
wakakakakakakakak

dia nye pasal la sume ATM MACHINE tak leh kuar duit.....
wakakakaka


SALAH EJA TUH....BIKAN AYAH PIN.....TAPI

AYAH PENG

KALU PENG APE CITA PULAK??

salamunkaulanminrabbinrahim...

wakakakakakak
ape beza ' pin ' ngan ' peng ' tuh... kalau dah fe'il nye sama???

nama tuh banyak....
sifat tuh pun banyak...
af'al pun macam2.....

APABILA DIKATAKAN ' AYAH PIN/PENG ITU BERSIFAT DENGAN ' LAKU ' MAKA JADILAH IA ' PELAKUNYA '
BUKANKAH BEGITU???
spanjunk
spanjunk

Jumlah posting : 507
Registration date : 2009-01-18

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Tue May 19, 2009 11:15 pm

Tasawwuf " Wihdatulwujud" Al Halaj yang mulanya berpengaruh disini(indonesia) menjadi terdesak kerana Datangnya ajaran Al Ghazali.Kitab Ihya Ulumiddin menjadi pegangan Ulama Ulama Di tanah air kita. Sheikh Abdus Samad Al Falimbani Di Ujung Abad Kedelapanbelas Telah mengambil intisari kitab Ihya dan Menyalinnya kedalam bahasa indonesia ( melayu Lama) dengan nama " siirus salikin"

kata kata dari : DR H.A.MALIK KARIM AMRULLAH ( HAMKA)
salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Thu May 21, 2009 10:16 pm

Diriwayatkan bahawa nabi s.a.w mengerjakan suatu shalat maka tertinggallah dari bacaannya suatu ayat.Maka tatkala nabi S.A.W berpaling lalu bertanya “ Apakah yang aku bacakan tadi”?
Maka berdiam dirilah orang ramai, lalu nabi bertanya kepada Ubai bin kaab : Ubai menjawab :
Engkau membaca surat anu dan engkau meninggalka surat anu. Kami tiada mengetahui apakah ayat itu sudah dimansuhkan atau sudah di angkatkan.?
Maka sahut nabi : Benar engkau wahai Ubai ! kemudian nabi s.a.w.menghadap kepada orang banyak itu seraya bersabda:


“ Bagaimanakah kiranya keadaan kaum yang mengerjakan shalatnya,menyempurnakan shafnya dan nabi mereka berada di hadapan mereka? Mereka tiada tahu apa yang dibacakan nabi mereka,kepada
mereka dari kitab tuhan.

Ketahuilah bahawa bani israil telah berbuat demikian ,maka di wahyukan oleh Allah Azzawajalla kepada Nabi mereka yang ertinya:

Katakanlah kepada kaummu ! Engkau hadirkan kepada ku badanmu, engkau berikan kepadaku lidahmu dan engkau jauhkan daripada ku hatimu. Adalah batil apa yang engkau kerjakan itu.!


Ihya ulumiddin 588 jilid 1


MUHAMMAD UNTUK UMAT
salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  T R I N I T Y Thu May 21, 2009 10:43 pm

Solat tu amat berat,melainkan mereka yg.kyusuk.
T R I N I T Y
T R I N I T Y

Jumlah posting : 743
Registration date : 2009-03-10

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Thu Oct 07, 2010 5:10 pm


Sambutan Al-Ustadz Al-Fadlil Dr. H.A. Malik Karim Amrullah (Dr.HAMKA).

SAMBUTAN TERJEMAHAN IHYA' ULUMIDDIN

Kitab Ihya' Ulumiddin, buah tangan Al-Imam Al-Ghazali adalah salah satu karya besar dari beliau dan salah satu karya besar dalam perpustakaan Islam. Meskipun ada berpuluh lagi karangan Ghazali yang lain, dalam berbagai bidang ilmu Pengetahuan Islam,namun yang menjadi inti-sari dari seluruh karangan-karangan beliau itu ialah Kitab Ihya' Ulumiddin.

Beliau pilih untuk menjadi judul nama bukunya Ihya Ulumiddin, artinya ialah :
MENGHIDUPKAN KEMBALI PENGETAHUAN AGAMA.
Sebabnya maka itu judul yang beliau pilih, ialah karena pada waktu itu ilmu-ilmu Islam sudah hampir teledor oleh ilmu yang lain, terutama oleh filsafat Yunani, khusus Filsafat Aristo teles telah disambut dengan amat asyiknya Oleh ahli-ahli fikir Islam, yang dipelopori oleh Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain di Timur dan ke- mudian menjalar pula ke Barat (Andalusia dan Afrika Utara), sesudah Ghazali, yang dipelopori oleh Ibnu Rusyd.

Filsafat Yunani itu pada waktu itu dinamai 'Ulumul A’ wail, artinya Pengetahuan orang zaman purbakala.

Oleh sebab Islam sangat berlapang dada menerima segala macam ilmu pengetahuan ataupun hikmat, walau dari manapun datang- nya, maka dalam abad-abad kedua dan ketiga hijriyah, terutama di zaman permulaan fajar Daulat Bani 'Abbas, banyaklah pengetahuan lain bangsa disalin ke dalam bahasa Arab, guna memper- kaya perpustakaan dan buah pikiran Arab Islam sendiri. Sebab kemajuan Islam dan Daulah Islam iyah dalam lapangan politik dan pengaruh kebudayaan, tidaklah akan dapat bertahan lama kalau pemikiran dari sarjana-sarjana tidak meluas dan mendalam.

Majulah Islam dalam lapangan fiqhi, ilmu kalam, tasawwuf dan filsafat. Tetapi kadang-kadang Ilmu Islam yang asli telah teledor oleh karena kemajuan dalam bidang yang tersebut di belakang ini, yakni filsafat. Al-Ghazali telah tampil ke muka mempersiapkan dirinya dengan ilmu-ilmu yang ada pada masa itu, Beliau memper- dalam Ilmu-Kalam, beliau memperdalam fiqhi (Ilmu Hukum) dan perhatian beliau akhimya amat tertarik kepada Filsafat sampai di-pelajarinya pula amat mendalam. Hasil dan buah dari penyelidikannya terhadap Filsafat itu telah diungkapkannya dalam buku-bukunya "Al-Munqidzu minadl-dlalal" (Pembangkit dari lembah ke- sesatan), "Maqashid al-Falasifah " (Tujuan daripada para Failasoof) dan "Tahafut al-Falasifah" (Kekacau-balauan para Failasoof).

Beliau setelah pengembaraan dalam alam pikiran yang mendalam itu telah menyatakan kesimpulan bahwa filsafat itu, baik juga untuk melatih kita berfikir. Tetapi jadi amat berbahaya kalau sekiranya pikiran yang akan dipergunakan bagi berfilsafat tidak terlatih terlebih dahulu dengan tuntunan Wahyu Hahi dan tuntunan Nabi.
Ada orang mengatakan bahwa berfikir filsafat itu harus bebas, obyektif, jangan ada yang mempengaruhi terlebih dahulu. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tidaklah ada seorang manusiapun yang dapat mem bebaskan dirinya daripada pengaruh alam dikelilingnya. Apakah lagi menurut Ghazali Failasoof-Failasoof Yunani yang mempengaruhi berfikimya Failasoof-Faila- soof Muslim seumpama Al-Farabi dan Ibnu Sin a, karena penera- wangan berfikir bebas itu, telah sampai kepada kesimpulan bahwa Alam itu ada]ah qodim penaka Tuhan juga. Di sini Filsafat sudah menjauh sen dirinya daripada pokok ajaran agama.

Lantaran itu, maka Ghazalipun amat menyuruh hati-hati di dalam belajar 'Ilmul Kalam, 'ilmu Theologi dalam Islam. Untuk orang awam kata beliau 'Ilmul Kalam itu lebih besar bahayanya daripada manfaatnya, sehingga beliau keluarkan sebuah risalah bernama "Djamul 'Awam" (Mengekang orang awam) daripada membicarakan ilmu Kalam. Iman kepada Allah menurut Ghazali- tidaklah dapat dengan dipelajari secara "akal semata", melainkan hendaklah karena dirasakan, demi setelah meleburkan diri ke dalam persada Alam yang ada dikeliling kita.

Setelah nyata bahwa dengan filsafat bukan, dengan 'Ilmu Kalam bukan, dengan debat-berdebat (jidal) ilmu Fiqhi-pun bukan, manakah jalan yang dapat mencapai kepada Tuhan itu?
Ghazali akhimya berpendapat bahwa mendekati Tuhan, merasa adanya Tuhan dan ma'rifat kepada Tuhan, hanya dapat di-capai dengan menempuh satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh kaum shufi.
Ghazalipun insyaf bahwasanya di zamannya pertentangan kaum syari'ah amat besar dengan kaum Shufi atau kaum Hakikat. Kaum Fuqaha menghabiskan waktunya di dalam membincangkan syah dan bathal, dengan mengabaikan perhatian kepada kehalusan perasaan, sedang kaum Shufi saling terlalu memupuk perasaan (dzauq) kadang-kadang tidak memperdulikan mana amalan, ibadat dan syari'at yang sesuai dengan Sunnah Rasul dan mana yang tidak.

Tasawwuf perlu untuk memupuk perasaan halus manusia, atau 'athifah. Tetapi kadang-kadang terlanjur keluar dari garis syari'at. Syari'at perlu untuk mengatur kehidupan sehari-hari menurut jalan Rasul, tetapi kadang-kadang menjadi kaku dan kehilangan intisari karena hanya tunduk kepada yang tertulis belaka sehingga kebebas- an manusia buat berfikir, buat merasa dan buat berfantasi menjadi hilang.
Syari'at tanpa hakikat, menjadi bangkai tak bernyawa, Hakikat tanpa syari'at menjadi nyawa tak bertubuh.

Ghazali berusaha mempersatu-padukan keduanya. Dengan dasar itulah beliau ingin menghidupkan kembali Ilmu Agama : IHYA' 'ULUMIDDIN.

Dengan bersumber kepada Al-Qur-an, dengan kembali kepada Sunnah Rasul yang asli, kita bongkar dan kita gali ilmu yang sejati. Di dalamnya terkandunglah hikmat-hikmat yang tinggi, yang kadang-kadang mungkin dapat dinamai filsafat, kadang-kadang dapat dinamai Ilmul Kalam, Fiqhi dan Iain-lain, apatah lagi buat mengetahui rahasia yang terkandung dalam hati (Asroril-Qulub).

Apabila ilmu telah dihidupkan kembali, syari'at mesti bertemu dengan hakikat, amal saleh mesti dinyawai oleh Iman dan di sam- ping riadlah jasmani (latihan badan) kita adalah riadlah annafs atau riadlah qalb (latihan jiwa atau latihan hati). Disitulah kita mendapat "Haqiqat al Hajah"(hidup yang sejati).

Sejak daripada ibadat, sembahyang, puasa, zakat dan hajji, sampai kepada mu'amalat (pergaulan hidup manusia sehari-hari), sampai kepada munakahat (pembangunan rum ah tangga), sampai kepada hukum-hukum pidana, semuanya beliau cari isi dan umbinya,inti atau sarinya dalam alam hakikat dan hikmat, sehingga hidup kita sebagai muslim berarti lahir dan bathin.
Maka kitab "IHYA' 'ULUMIDDIN" adalah hasil karya positif sesudah beliau ragu (syak, sceptis) terhadap segala persoalan dalam bidang kepercayaan dan akhirnya keraguan itu sedikit demi sedikit mulai hilang, berganti dengan yakin. Dan ituiah yang beliau hidangkan ke dalam masyarakat muslim.

Sebagai seorang ahli fiqih Islam yang besar, karangan beliau ini mendapat sambutan hangat. Mendapat sanjung puji yang tinggi dan juga mendapat sanggahan yang hebat.

Di zaman pemerintahan Sultan Yusuf bin Tasyfin di negeri Maghribi di Pas (Fez) kaum Fuqaha sangat murka kepada Ghazali, sebab karangannya Ihya' 'Ulumiddin banyak mengeritik kaum ahli fiqhi, yang sudah menjauh daripada Al-Qur'an dan hanya tengge- lam ke dalam taqlid. Fuqaha marah, sehingga mengusulkan kepada Sulthan supaya Ihya' dibakar saja dan dilarang keras peredarannya ke Maghribi. Di kala disampaikan orang berita itu kepada Ghazali serta-merta beliau berkata : "Tuhan akan merobek kerajaan mereka sebagaimana mereka telah merobek kitabku
Tiba-tiba muncullah dalam majlis itu, murid beliau Muhammad bin Taumrut, yang bergelar Al-Mahdi, lalu berkata : "WakaiImam! Do'akanlah kepada Tuhan bahwa keruntuhan kerajaan Bani Tasyfin akan terjadi di tangan saya'

Kemudian memang jatuhlah kerajaan Murabithin, digantikan oleh murid Imam Ghazali yang benama Muhammad bin Taumrut itu, dengan nama Kerajaan Muwahhidin. Bila Imam Ghazali rnenge- tahui bahwa muridnyalah yang menjadi raja, dan kitab beliau telah diakui kembali di negeri itu, beliau berniat hendak hijrah ke Magh- ribi. Sayang sekali sebelum beliau berangkat, beliau meninggal du- nia tahun 505 H. dalam usia 55 tahun.

"Ihya 'Ulumiddin" adalah salah satu karya besar, yang diakui besar fikiran yang terkandung di dalamnya. Ds. Zwemmer, tokoh sending Kristen yang terkenal, berpendapat bahwa sesudah Nabi Muhammad saw. adalah dua Pribadi yang amat besar jasanya menegakkan Islam, pertama Imam Bukhari karena pengumpulan
Haditsnya, kedua Imam Ghazali karena "Ihya'-nya".

Segala sesuatu apabila telah tercapai kesempumaannya, nam paklah di mana kekurangannya. "Tanda gading yang tulen, ialah retaknya". Alam ini sendiri menjadi amat sempurna, karena serba kekurangannya. Tuhan mencipta 'Alam dalam kesempumaannya, karena ada kekurangannya. Kalau tidak ada yang cacat niscaya Allah Ta'ala tidak kaya karena tidak menjadikan sesuatu yang bernama cacat.
Demikian juga kitab-kitab karangan Ghazali terutama Ihya' 'Ulumiddin ini. Kadang-kadang beliau, lantaran asyiknya memperingatkan kesucian hidup, telah jatuh kepada bersangatan mencela dunia. Orang yang terpengaruh oleh ajaran Ghazali tentang cacat dunia, maulah rasanya mengutuk sama sekali dunia itu. Mengutuk dunia bisa menyebabkan dunia itu lepas dari tangan kita, hingga dipungut oleh orang lain, sehingga negara-negara Islam terjajah.
Kadang-kadang beliau menganjurkan hidup membujang, tak usah beristeri. Supaya beban hidup dalam munajat kepada Tuhan menjadi ringan, padahal ajaran asli Islam tidak mengajarkan demikian.

Dan yang Iebih penting lagi, sebaga! seorang ahli pikir yang bebas dan besar, beliau membebaskan pikirannya dari pengaruh penafsir-penafsir yang terdahulu daripadanya, tetapi hadits-hadits yang dijadikannya dalil, kerapkali tidak memperhatikan ilmu sanad had its, sehingga sebagaimana ditulis oleh ayahku dan guruku Syaikh Abdulkarim Amrullah dalam bukunya Sullamul Ushul membaca Ihya musti hati-hati, karena banyak haditsnya lemah.

Itulah menjadi bukti bahwasanya seorang sarjana atau seorang failasoof yang besar tidaklah melengkapi ilmunya dalam segala bidang. Ghazali lemah dalam ilmu hadits, tetapi dia besar dalam penciptaan fikiran. Sebagaimana juga Ulama-Ulama Ahli Hadits, kebanyakannya tidak sanggup buat menciptakan fiqhi atau menge- luarkan faham bebas, sebab amat terikat oleh hadits-hadits, sehingga fikirannya menjadi buntu karena kekuatan hafalan.

Perhatikan kepada ajaran Filsafat Ethika (Akhlaq) Al-Ghazali sampai saat-saat sekarang ini masih menjadi bah an yang kaya untuk direnungkan. Setengah ahli selidik dan orientalist Barat ber- pendapat bahwa keragu-raguan Descartes adalah pengaruh keragu- raguan Ghazali. Ragu (skeptis, syak) adalah tangga utama menuju yakin. Pada tahun 1924 Zaki Mubarak di Mesir mencapai gelar Doktomya karena kritiknya yang bemama "Akhlaq menurut Ghazali" yang sebagai seorang saijana yang masih muda dia menghan - tam ajaran Ghazali sebagai suatu ajaran yang menyebabkan jiwa melempem. Tetapi setelah dia berusia lebih 40 tahun dikeluarkan- nya pula promosinya untuk gelar doktor yang ketigakalinya berna- ma "Tasawwuf Islam yang kalau dibaca, temyata bahwa pukulan- nya kepada Ghazali khasnya dan Tasawwuf 'amnya, tidak sekeras dahulu lagi. Di tahun 1947 Dr. Sulaiman Dunia Maha Guru Filsafat dan ilmu Kalam di Al-Azhar University mengeluarkan lagi studynya "Hakikat menurut pandangan GhazaliDitahun terakhir sam- pai tahun 1963 masih tetap ada sarjana Islam yang meninjaunya kembali.

Kupasan Ghazali tidak akan habis-habisnya menjadi bahan study tentang tasawwuf, tentang aqidah, tentang filsafat dan ethika (akhlaq).

Demikian itulah selayang pandang saya tentang IHYA' ULUMIDDIN oleh "Hujjatul Islam " Al-Ghazali.

Di dalam perkembangan ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam di Indonesia, tasawwuf Imam Ghazali dengan Ihya'-nya besar sekali peranannya. Madzhab Sunni yang masuk kemari sejak zaman kerajaan Islam Fasai ialah Madzhab Syafi'i. Imam Ghazali adalah seorang Ulama Muta-akhkhirin dalam madzhab itu.

Tasawwuf "Wihdatul Wujud" (Pantheisme) Al-Hallaj yang mulanya amat berpengaruh di sini menjadi terdesak karena datangnya ajaran Ghazali. Kitab Ihya' 'Ulumiddin menjadi pegangan ulama-ulama di tanah air kita. Syaikh Abdus Samad Al-Falimbani diu- jung abad kedelapan belas telah mengambil inti-sari kitab Ihya dan menyalinnya ke dalam bahasa Indonesia (Melayu Lama) dengan nama "Sairus-Salikin Demikian juga terdapat dalam karangan-karangan Ulama-ulama Aceh. Kitab Ihya'-pun telah disarikan oleh Ulama-ulama di Jawa kebahasa Jawa huruf Pegon. Dizaman modem ini, saya sendiri amat banyak mengambil buah renungan Ghazali untuk buku saya "Tasawwuf Modern". Tetapi belum ada usaha selama ini menyalin kitab yang besar 4 jilid itu ke dalam bahasa Indonesia moden.

Tiba-tiba pada bulan Rajab 1383 Hijriyah, bertepatan dengan hari-hari peringatan Isro' dan Mi'roj Nabi Muhammad saw. seorang Ulama Muda dari Aceh, yang telah lama saya kenal, yaitu Tengku Haji Ismail Yakub MA-SH. telah datang kerumah saya memperlihatkan salinan (terjemah) Kitab Ihya* Ulumiddin ke dalam bahasa Indonesia yang beliau keijakan sendiri dan meminta saya supaya sudi memberikan kata sambutan atas usahanya yang amat berharga itu.

Tidak pelak lagi kalau saya bergembira menyambut usaha beliau itu. Perhatian kepada Islam dan inti ajarannya di zaman sekarang telah mulai besar ditanah air kita ini. Banyak kaum terpe- lajar secara Barat mulai memperhatikart Islam. Banyak mereka mendengar nama kitab Ihya' atau membaca adanya kitab itu dari kalangan Orientalist Barat, sayang mereka tidak mengetahui bahasa Arab. TerjemahanUstadz Tengku H, Ismail Yakub ini sudah dapat memuaskan dahaga mereka.

Banyak telah berdiri Perguruan Tinggi Islam. Sayangnya mahasiswa kebanyakan lemah bahasa Arabnya. Dengan salinannya Ihya' mereka sudah dapat membandingkan fikiran ciptaan Failasoof Islam ini dengan aliran-aliran filsafat yang lain. Baik Filsafat Yunani atau Filsafat Scholastik Kristen atau Filsafat Modem.
Muballigh-muballighpun mendapat banyak bahan untuk study. Dan lebih dari itu semuanya dengan membaca salinan Ihya' ini, dengan sendirinya moga-moga isinya yang bemas dapat mempengaruhi jiwa kita, sehingga kita dapat menjadi seorang Muslim yang tha'at dan cinta kepada Allah dan Rasul Allah.

Dalam pembangunan bangsa kita sekarang ini, yang kita sebagai Muslim amat ingin agar Islam menjadi unsur mutlak dalam pembangunan itu, maka terjemahan Ihya Ulumiddin ke dalam bahasa Indonesia oleh Ustadz Tk. H. Ismail Yakub MASH., adalah satu karya yang amat saya pujikan.

Moga-moga Tuhan Allah memberi taufiq kita bersama dalam menuju ridlaNya.
Dr. H. A. Malik Karim Amrullah.( HAMKA)
Kebayoran Baru,Jakarta : Rajab. 1383'
Desember 1963.

salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Thu Oct 07, 2010 5:11 pm

SEJARAH RINGKAS AL-GHAZALI
( mukasurat 24 hingga 28)

Nama lengkapnya, ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul-Islam. Dilahirkan di Thusia, suatu kota di Khurasan dalam Th. 450 H. (1058 M). Ayahnya bekerja membuat pakaian dari buhl (wol) dan menjualnya di pasar Thusia.
Sebelum meninggal ayah Al-Ghazali meninggalkan kata pada seo rang ahli tasawwuf temannya, supaya mengasuh dan mendidik Al Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya, maka hiduplah Al-Ghazali di bawah asuhan ahli tasawwuf itu.
Harta pusaka yang diterimanya adalah sedikit sekali. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha sendiri bertenun kain bulu. Di samping itu, selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Apabila mendengar uraian alim ulama itu maka ayah Al-Ghazali menangis tersedu-sedu seraya bermohon kepada Allah swt. kiranya dia dianugerahi seorang putera yang pandai dan berilmu.

Pada masa kecilnya Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Razikani. Kemudian pergi ke negeri Juijan dan belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili.

Setelah mempelajari beberapa ilmu di negeri tersebut, berang- katlah Al-Ghazali ke negeri Nisapur dan belajar pada Imam Al-Haramain. Di sanalah mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu penge - tahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantik (logika), falsafah dan fiqih madzhab Syafi'i. Imam Al-Haramain amat berbesar hati dan selalu mengatakan : "Al-Ghazali itu lautan tak bertepi Setelah wafat Imam Al-Haramain, lalu Al-Ghazali berangkat ke Al-Askar mengunjungi Menteri Nizamul-muluk dari pemerintah- an dinasti Saljuk. Ia disambut dengan kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan pemuka-pemuka ilmu pengetahuan. Semuanya mengakui akan ke- tinggian dan keahlian Al-Ghazali. Menteri Nizamul-muluk melantik Al-Ghazali pada tahun 484 H. menjadi guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiyah yang didirikannya di kota Bagdad. Empat tahun lamanya Al-Ghazali mengajar di Perguruan Nizamiyah dengan cukup
mendapat perhatian dari para pelajar, dari dekat dan jauh, sampai datang kepadanya suatu masa, di mana dia menjauhkan diri dari masyarakat ramai.

Maka pada tahun 488 H. Al-Ghazali pergi ke Makkah menunai- kan rukun Islam kelima. Setelah selesai mengerjakan Hajji, la terus ke negeri Syam (Siria), mengunjungi Baitul-makdis. Kemudian ke Damaskus dan terus menetap beribadah di masjid Al- Umawi di kota tersebut pada suatu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan nama "Al-Ghazaliyah", diambil dari nama yang mulia itu. Pada masa itulah dia mengarang kitab "IHYA ' " yang kami alih-bahasakan ini. Keadaan hidup dan kehidupannya pada sa- at itu adalah amat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, rae- nyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid dan de- sa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang mem- bawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa.

Kemudian dia kembali ke Bagdad, mengadakan majlis penga- jaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya —Ihya'—. Tak lama sesudah itu berangkat pula ke Nisapur dan mengajar sebentar pada Perguruan Nizamiyah Nisapur. Akhirnya, kembali ia ke kampung asalnya Thusia. Maka didirikannya di samping rumah- nya sebuah madrasah untuk ulama-ulama fiqih dan sebuah pondok untuk kaum shufi (ahli tasawuf). Dibagikannya waktunya antara membaca Al-Qur-an, mengadakan pertemuan dengan kaum shufi, memberi pelajaran kepada penuntut-penuntut ilmu yang ingin menyauk dari lautan ilmunya, mendirikan shalat dan lain-lain ibadah. Cara hidup yang demikian diteruskannya sampai akhir hayatnya. Dengan mendapat husnul-khatiraah Al-Ghazali mening- gal dunia pada hari Senin tanggal 14 Jumadil-akhir tahun 505 H (1111 M) di Thusia.

Janazahnya dikebumikan di makam Ath-Thabiran, berdekatan dengan makam Al-Firdausi, seorang ahli sya'ir yang termasy- hur. Sebelum meninggal Al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan pula kemudian oleh Francis Bacon seorang filosuf Inggeris, yaitu : "Kuletakkan arwahku dihadapan Allah dan tanam- kanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bang- kit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa depan".
Ia meninggalkan pusaka yang tak dapat dilupakan oleh ummat mus- limin khususnya dan dunia umumnya dengan karangan-karangan yang beijumlah hampir 100 buah banyaknya. Diantaranya kitab "Ihya'" yang kami alih-bahasakan ini, terdiri dari empat jilid besar, yang kiranya disampaikan Allah swt. akan kami jadikan dari tiap jilid asalnya menjadi dua jilid dalam bahasa Indonesia. Dalam ka- langan agama di negeri kita ini tak ada yang tak mengenal kitab Ihya' - Ulumiddin, suatu buku standard, terutama tentang akhlaq. Di Eropah mendapat perhatian besar sekali dan telah dialih-bahasa- kan ke dalam beberapa bahasa modern. Dalam dunia Kristen telah lahir pula kemudian Thomas a Kempis (1379 —1471 M) yang men- dekati dengan pribadi Al-Ghazali dalam dunia Islam, berhubung dengan karangannya "De Imitation Christi" yang sifatnya mende- kati "IHYA' tetapi dipandang dari pendidikan Kristen.

Diantara karangannya yang banyak itu, ada dua buah yang kurang dikenal di negeri kita, akan tetapi sangat terkenal di dunia Barat. Mai ah menyebabkan pecah perang pena antara ahli-ahli falsafah. Yaitu kitab "Maqashidul-falasifah" (Maksudnya ahli-ahli falsafah) dan kitab "Tahafutul-falasifah" (Kesesatan ahli-ahli falsafah).
Kitab yang pertama berisi ringkasan dari bermacam-macam ilmu falsafah, mantik, metafisika dan fisika. Kitab ini sudah diterjemah- kan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin di akhir abad ke XII M.

Kitab yang kedua memberi kritik yang tajam atas sistem falsafah yang telah diterangkannya satu persatu dalam kitab pertama tadi. Malah oleh Al-Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab yang kedua itu, bahwa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi ialah mengumpulkan lebih dahulu bahan-bahan untuk para pembaca, yang nantinya akan dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua.

Beberapa puluh tahun kemudian, maka lahirlah di Andalusia. (Spanyol) Ibnu Rusyd, digelarkan Filosuf Cordova (1126 -1198). Dia membantah akan pendirian Al-Ghazali dalam hal falsafah itu dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya "Tahafutu-taha- futil falasifah" (Kesesatan buku Tahafutul-falasifah Al-Ghazali).
Dalam buku ini, Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalah-pahaman Al-Ghazali tentang mengartikan apa yang din am akan falsafah dan betapa salah pahamnya tentang pokok-pokok pelajaran falsafah.

Demikianlah telah beredar dua buah buku dalam dunia Islam, yang satu menyerang dan menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah itu. Keduanya bertempur secara aktif dalam dunia fikiran umat Islam dan menantikan waktunya masing-masing, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah.

Di samping kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Al-Ghazali, dilontarkannya kitabnya Tahafutul-falasifah ke tengah-tengah ummat manusia dengan gaya bahasa yang hidup bergelora. Sehingga karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi guntur bahasa- nya Al-Ghazali. Maka pada akhimya dalam peperangan alam pikir- an ini, Al-Ghazali tampil ke tengah gelanggang sebagai pemenang.

Sebagai filosuf, Al-Ghazali mengikuti aliran falsafah yang boleh dinamakan "madzhab hissiyat" yakni yang kira-kira sama artinya dengan "mazhab perasaan11. Sebagaimana filosuf Inggeris David Hume (1711 — 1776) yang mengemukakan bahwa perasaan adalah sebagai alat yang terpenting dalam falsafah, di waktu dia menentang aliran rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang tim- bul di abad ke XVIII,yang semata-mata berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan akal manusia.

Al-Ghazali telah mengemukakan pendapat yang demikian, se- lama 700 tahun terlebih dahulu dari David Hume. Ia mengakui bahwa perasaan (hissiyat) itu boleh keliru juga akan tetapi akal manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan kesesatan. Dan tidak akan dapat mencapai kebenaran sesempurna-sempumanya dengan sendirinya saja. Dan tidak mungkin dapat dibiarkan berge- rak dengan semau-maunya saja. Lalu akhimya Al-Ghazali kembali kepada apa yang dinamakannya "dlaruriat" atau aksioma sebagai hakim dari akal dan perasaan dan kepada hidayah yang datang dari Allah swt.
Al-Ghazali tak kurang mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam. Tak kurang ia membentangkan ilmu mantik dan menyusun ilmukalam yang tahan uji dibanding - kan dengan karangan-karangan filosuf yang lain. Semua ini menun- jukkan ketajaman otaknya. Disamping itu tidak enggan dia berkata dengan kerendahan hati serta khusu' akan kata-kata "Wallahu a'lam" artinya "Allah yang Maha Tahu"

Dalam zaman Al-Ghazali, masih berkobar pertentangan antara ahli tasawwuf dan ahli fiqih. Maka salah satu dari usaha Al-Ghazali ialah merapatkan kedua golongan yang bertentangan itu.
Baik semasa hidupnya atau sesudah wafatnya, Al-Ghazali mendapat teman sepaham, di samping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang tidak sepaham, di antaranya ialah Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan lain-lain dari ahli fiqih. Didunia Barat Al-Ghazali mendapat perhatian besar, mendapat penghargaan dari para filosuf. Di antaranya dari Renan, Cassanova, Carra de Vaux dan Iain-lain.
Seorang ahli ketimuran Inggeris bemama Ds. Zwemmer pernah memasukkan Al-Ghazali menjadi salah seorang dari empat orang pilihan pihak Islam dari mulai zaman Rasulullah saw. sampai kepada zaman kita sekarang, yaitu :

Nabi Besar Muhammad s.a.w. sendiri.
Imam-Al-Bukhari, ulama hadist yang terbesar.
Imam-Al-Asy 'ari, ulama tauhid yang termasyhur.
Imam-Al-Ghazali, pengarang Ihya4 yang terkenal.

Demikianlah sekelumit dari sejarah hidup ulama besar ini, dengan kita menyebutkan beberapa bidang lagi, di mana Al-Ghazali mem - punyai saham yang tidak kecil, seperti bidang pendidikan, da'wah, fiqih dan Iain-Iain.

Semoga pusaka ilmiyah yang ditinggalkan Al-Ghazali, dapatlah kiranya diambil faedahnya oleh ummat manusia umumnya dan urn- mat Islam khususnya!.
Aamiin!.


salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Thu Oct 07, 2010 5:15 pm

KE UTAM AAN BE L A J A R
Ayat-ayat yang menerangkan keutamaan belajar yaitu firman Allah Ta'ala :
"Mengapa tidak pula berangkat satu rombongan dari tiap-tiap golongan itu untuk mempelajari perkara agama".
(S. At-Taubah, ayat 122).

(Fas-aluu ahladz dzikri in kumtum laa ta'lamuun).
(S. An-Nahl, ayat 43).
Artinya :
"Maka bertanyalah kamu kepada ahli ilmu(Ahli zikr) jika kamu tidak tahu".
(S. An-Nahl, ayat 43).
Adapun hadits Nabi saw. diantara lain sabdanya :
(Man salaka thariiqan yathlubu fiihi 'ilman salakallaahu bihi tharii- qan ilal j arm ah).
Artinya :
"Barangsiapa menjalani suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka dianugerahi Allah kepadanya jalan ke sorga". (1)
Bersabda Nabi saw. :
(1) Dirawikan Muslim dari Abi Hurairah.

(Innal malaaikata latadla'u jnihatahaa lithaaiibil 'ilmi ridlaa-an bi- maa yashna'u).
Artinya :
"Sesungguhnya malaikat itu membentangkan sayapnya kepada penuntut ilmu, tanda rela dengan usahanya itu". (1)

Dan sabda Nabi saw. ;
(Lian tahgduwa fatata'allama baaban rainal 'ilmi khalrun min an tushalliya mi-ata rak'atin).
Artinya :"Bahwa sesungguhnya engkau berjalan pergi mempelajari suatu bab dari ilmu adalah lebih baik daripada engkau melakukan shalat seratus raka'at". (2)
Bersabda Nabi saw. :
(Baabun minal 'ilmi yata'allamuhur rajulu khairun lahuu minad dunyaa wa maa fiihaa).
Artinya :"Suatu bab dari ilmu yang dipelajari seseorang, adalah lebih baik baginya dari dunia dan isinya". (3)
Bersabda Nabi saw. :

(Uthlubul 'ilma walau bish shiin)
Artinya :
"Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina sekalipun". (4)
1.Dirawikan Ahmad, Ibnu Hibban dan Ai-Hakim dari Shafwan bin Assal.
2.Dirawikan Ibnu Abdul-8irri dari Abi Dzar.
3.Dirawikan Ibnu Hibban dan Ibnu Abdul-Birri dari Al-Hasan Al-Bashari.
4.Dirawikan Ibnu Uda dari Al-Baihaqi dan Anas.

Bersabda Nabi saw. :
(Thalabul 'ilmi fariidlatun 'alaa kulli muslim). Artinya :
"Menuntut ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim ". Dan bersabda Nabi saw. :

(Al-'ilmu khazaa-inu mafaatiihuhas- sualu. Alaa fas-aluu! Fainnahu yu'-jaru fiihi arba'atun : as-saa-ilu wal 'aalimu wal mustami'u wal muhibbu lahum). Artinya :
"Ilmu itu adalah gudang-gudang. Anak kuncinya pertanyaan. Dari itu, bertanyalah! Sesungguhnya diberi pahala pada bertanya itu empat orang, yaitu : penanya, yang berilmu, pendengar dan yang suka kepada mereka yang tiga tadi".( 1 )

(Laa yanbaghii lil-jaahili an yaskuta 'alaa jahlihi walaa lil-'aalimi an yaskuta 'alaa 'ilmihi).
Artinya :"Tak wajarlah bagi orang yang bodoh, berdiam diri atas ke bodohannya. Dan tak wajarlah bagi orang yang berilmu, berdiam diri atas ilmunya". (2).

Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dzar ra. berbunyi :
"Menghadliri majelis orang berilmu, lebih utama daripada mendirikan shalat seribu raka'at, mengunjung seribu orang sakit dan berta'ziah seribu janazah".
1.Dirawikan Abu Na'im dari Ali, hadits marfu'.
2,Dirawikan Ath-Thabrani dan Abu Na'im dari Jabir. sanad dla'if.

Lalu orang bertanya : "Wahai Rasulullah! Dari membaca Al-Qur-an? Maka menjawab Nabi saw. : "Adakah manfa'at Al-Quran itu selain dengan ilmu?".
Bersabda Nabi saw. :
"Barangsiapa meninggal dunia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan Islam, maka antara dia dan Nabi-Nabi dalam sorga sejauh satu tingkat".
Menurut atsar (kata-kata shahabat Nabi dan pemuka-pemuka Islam), maka berkata Ibnu Abbas ra. : "Aku telah menghinakan seorang penuntut ilmu, lalu aku memuliakan yang dituntutnya". Demikian pula berkata Ibnu Abi Mulaikah ra. :

"Belum pernah aku melihat orang seperti Ibnu Abbas. Apabila aku melihatnya maka tampaklah, mukanya amat cantik. Apabila ia berkata-kata maka lidahnya amat lancar. Dan apabila ia memberi fatwa maka dialah orang yang amat banyak ilmunya".

Berkata Ibnul Mubarak ra. : "Aku heran orang yang tidak menuntut ilmu! Bagaimana ia mau membawa dirinya kepada kemuliaan".

Berkata setengah hukama' : "Sesungguhnya aku tidak belas kasihan kepada orang-orang, seperti belas kasihanku kepada salah seorang dari dua : orang yang menuntut ilmu dan tidak memahaminya dan orang yang memahami ilmu dan tidak menuntutnya".

Berkata Abud Darda' ra. : "Lebih suka aku mempelajari satu masalah, daripada mengerjakan shalat satu malam".

Dan ditambahkannya pula : "Orang yang berilmu dan orang yang menuntut ilmu, berserikat pada kebajikan. Dan manusia lain adalah bodoh, tak ada kebajikan padanya".
Dan katanya lagi : "Hendaklah engkau orang berilmu atau belajar atau mendengar ilmu dan janganlah engkau orang keempat (tak termasuk salah seorang dari yang tiga tadi) maka binasalah engkau ".

Berkata 'Atha' : "Suatu majelis ilmu itu, akan menutupkan dosa tujuh puluh majelis yang sia-sia".
Berkata Umar ra. : "Meninggalnya seribu 'abid, yang malamnya mengerjakan shalat dan siangnya berpuasa, adalah lebih mudah, daripada meninggalnya seorang alim yang mengetahui yang dihalal- kan dan yang diharamkan Allah".

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Menuntut ilmu adalah lebih utama daripada berbuat ibadah sunnah ".

Berkata Ibnu Abdil Hakam ra. : "Adalah aku belajar ilmu pada Imam Malik. Lalu masuk waktu Dhuhur. Maka aku kumpul- kan semua kitab untuk mengerjakan shalat.

Maka berkata Imam Malik : "Hai, tidaklah yang engkau bangun hendak mengerjakannya itu, lebih utama daripada apa yang ada engkau di dalamnya, apabila niat itu benar".

Berkata Abud-Darda' ra. : "Barangsiapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan jihad, maka adalah dia orang yang kurang pikiran dan akal".



salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Sun Oct 10, 2010 2:12 am

KEUTAMAAN MENGAJAR
Ayat-ayat yang menerangkan keutamaan mengajar, yaitu firman Allah 'Azza wa Jalla :
وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
(Wa liyundziruu Qaumahum idzaa raja'uu ilaihim la'ailahum yah- dzaruun) (S. At-Taubah, ayat 122).
Artinya :"Supaya mereka dapat memberikan peringatan kepada kaumnya bila telah kembali kepada mereka. Mudah-mudahan mereka berhati- hati (menjaga dirinya)".
(S. At-Taubah, ayat 122).

Yang dimaksud ialah mengajar dan member! petunjuk. Dan firman Allah Ta'ala :

(Wa-idz akhadzallaahu miitsaaqalladziina uutul kitaaba latubayyi-nunnahu linnaasi walaa taktumuunahu).
S. Ali 'Imraan, ayat 187.
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلا تَكْتُمُونَهُ
Artinya :"Tatkala diambil oleh Allah akan janji dari mereka yang diberikan Kitab supaya diterangkannya kepada manusia dan tidak disembu nyikannya". (S. Ali 'imran, ayat 187).

Ini membuktikan akan kewajiban mengajar. Dan firman Allah Ta'ala :
وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Wa inna fariiqan minhum layaktumuunal haqqa wa hum ya'lamuun)(S. Al-Baqarah, ayat 146).
Artinya :Sesungguhnya satu golongan dari mereka menyembunyikan kebenaran sedang mereka itu mengetahuinya.

Ini menunjukkan haram menyembunyikan ilmu, seperti firmanNya tentang menjadi saksi :
وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
(Wa man yaktumhaa fainnahuu aatsimun qalbuh).(S. Al-Baqarah, ayat 283).
Artinya :"Dan barangsiapa menyembunyikan kesaksian maka berdosalah hatinya (S. Al-Baqarah, ayat 283)

Bersabda Nabi saw. :(Maa aatallaahu 'aaliman 'ilman illaa wa akhadza 'alaihi minal mii-
Artinya :"Tidak diberikan oleh Allah kepada seseorang yang berilmu akan ilmu, melainkan telah diambilNya janji seperti yang diambilnya kepada nabi-nabi, bahwa mereka akan menerangkan ilmu itu kepa¬da manusia dan tidak akan menyembunyikannya''. (1)
(1) Dirawikan Abu Na'im dari Ibnu mas'ud.

Dan firman Allah swt. :
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا
(Artinya :"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang memanggil kepada Allah dan dia berbuat amalan yang shalih?".SURAT 41. AL FUSHSHILAT

Berfirman Allah Ta'ala :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
(Ud'u ilaa sabiili rabbika bilhikmati wal mau'idhatil hasanah).
(S. An-Nahl, ayat 125).
Berfirman Allah Ta'ala :Artinya :"Serukanlah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan pengajaran yang baik ".
(S. An-Nahl, ayat 125).

وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
(Wa yu'allimuhumul kitaaba wal hikmah). (S. Al-Baqarah, ayat 129).
Artinya :"DiajariNya mereka akan kitab dan kebijaksanaan".(hikmah)(S. Al-Baqarah, ayat 129).

Adapun hadits yang menerangkan keutamaan mengajar, yaitu sab- da Nabi saw. kepada Mu'az ketika diutusnya ke Yaman :
(Li-an yahdiyallaahu bika rajulan waahidan khairun laka minad dun-ya wa maa fiihaa).
Artinya :"Bahwasanya dengan sebabmu diberi petunjuk oleh Allah akan seseorang, lebih baik bagimu daripada dunia dan isinya". Dirawikan Ahmad dari Mu'az.

Bersabda Nabi saw. :
(Man ta'allama baaban minal 'ilmi liyu'alliman naasa u'thiya tsawaaba sab'iina shiddiiqaa).
Artinya :"Barangsiapa mempelajari satu bab dari ilmu untuk diajarkannya kepada manusia, maka ia diberikan pahala tujuh puluh orang shiddiq (orang yang selalu benar, membenarkan Nabi, seumpama Abu Bakar Shiddiq ". (1) Dirawikan Abu Manshur Ad-qailami dari Ibnu Mas'ud, dengan sanad dla'if.

Bersabda Nabi Isa as. :
(Man 'alima wa 'amila wa aiiama, fadzaalika yud'aa adhiiman fii malakuutis samaawaat).
Artinya :"Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajar, maka orang itu disebut "orang besar" di segala petala langit".

Bersabda Nabi saw. :"Apabila datang hari qiamat nanti, maka berfirman Allah swt. kepada orang 'abid dan orang berjihad : "Masuklah ke dalam sorga! Maka berkata para ulama : "Dengan kelebihan pengetahuan kami, mereka beribadah dan berjihad". Maka berfirman Allah 'Azza wa Jalla : "Kamu disisiKu seperti sebahagian malaikatKu. Berbuatlah syafa'at, niscaya kamu mendapat syafa'at. Lalu mereka berbuat syafa'at. Kemudian merekapun masuk sorga".
Dan ini, sesungguhnya adalah dengan. ilmu yang berkembang dengan memberi pengajaran. Tidak ilmu yang beku, yang tidak berkembang.

Bersabda Nabi saw.
(Innallaaha 'azza wa jalla laa yantazi'ul 'ilman tizaa'an minan naasi ba'-da an yu'-tiyahum iyyaahu wa laakin yadzhabu bidzahaabil 'ulamaa'. Fakullamaa dzahaba 'aalimun dzahaba bimaa ma'ahu minal 'ilmi hattaa idzaa lam yubqi illaa ru-asaa-a juhhalan, in suiluu aftau bighairi 'ilxnin fayadlilluuna wa yudlilluun).

Artinya :"Bahwa Allah 'Azza wa Jalla tidak mencabut ilmu dari manusia yang telah dianugerahiNya, tetapi ilmu itu pergi, dengan perginya (mati) para ahli ilmu. Tiap kali pergi seorang ahli ilmu, maka pergilah bersamanya ilmunya. Sehingga tak ada yang tinggal lagi, selain dari kepala-kepala yang bodoh. Jika ditanya lalu memberi fatwa dengan tiada ilmu. Maka sesatlah mereka sendiri dan menyesatkan pula orang lain ". (1)
Bersabda Nabi saw. :(Man 'alima 'ilman fakatamahu aljamahullaahu yaumal qiyaamati bilijaamin min naar).
Artinya :"Barangsiapa mengetahui sesuatu ilmu, lalu menyembunyikannya, maka ia dikenakan oleh Allah kekang, dengan kekang api neraka, pada hart qiamat". (2)

Bersabda Nabi saw. :
(Ni'mal 'athiyyatu wa ni'mal hadiyyatu kalimatu hikmatin tasmauhaa fatathwii 'alaihaa tsumma tahmiluhaa ilaa akhin laka muslimin tu allimuhu iyyaha ta’dilu ibaadata sanatah.)
Artinya :"Sebaik-baik pemberian dan hadiah ialah kata-kata berhikmah. Engkau dengar lalu engkau simpan baik-baik. Kemudian engkau bawakan kepada saudaramu muslim. Engkau ajari dia. Perbuatan yang dernikian, menyamai 'ibadah setahun ". (3)
1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr.
2.Dirawikan Abu Dawud & At-Tirmidzi dr. Abu Hurairah, Kata At-Tirmidzi,hadits hasan
3. Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas, isnad dla'if.


Bersabda Nabi saw. :
(Ad-dun-yaa raal'uunatun mal'uunun maa fiihaa illaa dzikrallaahi subhaanahu wa maa waalaahu au mu'alliman au muta'alliman).
Artinya :"Dunia itu terkutuk bersama isinya, selain berdzikir kepada Allah swt. dan apa yang disukaiAllah atau menjadipengajar atau pelajar'.(1)
Bersabda Nabi saw.
(innallaaha subhaanahu wa malaaikatahu wa ahla samaawaatihi wa ardlihi hattan namlata fii juhrihaa wa hattal huuta fil bahri layu-solluna a’la mua’alliminnasil khoiro.)
Artinya :"Bahwasanya Allah swt., malaikat-malaikatNya, isi langit dan bumi Nya, sampai kepada semut di dalam lobang dan ikan di dalam laut, semuanya berdo'a kebajikan kepada orang yang mengajarkan manu¬sia. (2)
Bersabda Nabi saw. :

(Maa afaadal muslimu akhaahu faaidatan afdlala min hadiitsin hasanin, balaghahu fa ballaghahu).
Artinya :"Tiadalah seorang muslim memberi faedah kepada saudaranya, yang lebih utama dari pembicaraan yang baik, yang sampai kepada-nya, lalu disampaikannya kepada saudaranya itu". (3)
1.Dirawikan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Kata At-Tirmidzi, ha¬dits hasan, gharib.
2.Dirawikan At-Tirmidzi dari Abl Amamah. Katanya hadiU gharib.
3.Dirawikan Ibnu dari Muhammad bin Al-Munkadlr, hadits mursal.
Bersabda Nabi saw. :

(Kalimatun minal khairi yasma'uhal mu'minu fayu'allimuhaa wa ya'malu bihaa khairun lahu min 'ibaadati sanah).
Artinya :"Sepatah kata kebajikan yang di dengar oleh orang mu'min, lalu diajarinya dan diamalkannya, adalah lebih baik baginya dari ibadah setahun". (1)

Pada suatu hari Rasulullah keluar berjalan-jalan, lalu melihat dua majelis. Yang satu, mereka itu berdo'a kepada Allah dan ingin kepadaNya hati. Yang kedua mengajarkan manusia. Maka bersabda Nabi saw. :
"Adapun mereka itu bermohon kepada Allah Ta'ala. Jika dikehendakiNya, maka dikabulkanNya. Jika tidak dikehendakiNya, maka ditolakNya. Sedang mereka yang satu majelis lagi, mengajarkan manusia dan aku ini diutuskan untuk mengajar".Kemudian Nabi menoleh ke majelis orang mengajar, lalu duduk bersama mereka. (2)

Bersabda Nabi saw. :"Contohnya aku diutuskan oleh Allah dengan petunjuk dan ilmu, adalah seumpama hujan lebat yang menyirami bumi. Diantaranya ada sepotong tanah yang menerima air hujan itu, lalu menumbuh kan banyak rumput dan hilalang. Diantaranya ada yang dapat membendung air itu, lalu dimanfa'atkan oleh Allah 'Azza waJalla kepada manusia. Maka mereka minum, menyiram dan bercocok tanam. Dan ada sebahagian tempat yang rata, yang tidak memben¬dung air dan tidak menumbuhkan rumput". (3)
Contoh pertama disebutnya, adalah sebagai tamsil teladan bagi orang yang dapat mengambil faedah dengan ilmunya. Contoh kedua disebutnya, ialah bagi orang yang dapat memanfa'atkannya. Dan contoh ketiga adalah bagi orang yang tak memperoleh apa-apa dari yang dua itu.
1.Dirawikan Ibnut Mubarak dari Zaid bin Aslam, hadits mursal.
2.Diraikan ibnu Majah dari Abdullah bin 'Amr, dengan sanad dlaif.
3.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Musa.

Bersabda Nabi saw. :
Artinya :"Apabila mati seorang anak Adam, putuslah amal perbuatannya selain dari tiga perkara, yaitu ilmu yang dimanfa'atkan". (1)
Bersabda Nabi saw. :
(Ad-dallu 'alal khairi kafaa'ilih).
Artinya :"Menunjuk kepada kebajikan, adalah seperti mengerjakannya ". (2)
Bersabda Nabi saw. :(Laa hasada illaa fitsnataini : rajulin aataahullaahu 'azza wa jalla hikmatan fahuwa yaqdlii bihaa wa yu'allimuhan naasa wa rajulin aataahullaahu maalan fasallathahu 'alaa halakatihi fil khair).
Artinya :
"Tak boleh iri hati selain pada dua : pertama pada orang yang dia anugerahi Allah Ta'ala ilmu, maka ditegakkannya keadilan dengan ilmunya dan diajarkannya manusia. Dan kedua pada orang yang diberikan oleh Allah Ta'ala harta, maka dipergunakannya pada jalan kebajikan". (3)
1.Dirawikan Muslim dari Abu Hurairah. yang disebut di sini, hanya satu. Maka dua lagi, ialah : sadekah jariah (waqaf) dan anak yang shaleh yang berdoa kapadanya.
2..Dirawikan At-Tirmldzl dari Anas, katanya : hadits gharib.
3.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud.


('Alaa khulafaa-ii rahmatullaah. Qiila : wa man khulafaauk? Qaala : alladziina yuhyuuna surmatii wa yu'allimuhaa 'ibaadailaah)
Bersabda Nabi saw. :
Artinya :"Rahmat Allah kepada khalifah-khalifahku!". Siapa khalifahmu?", tanya orang. Nabi saw. menjawab : "Mereka yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada hamba Allah". (1)
(1) Dirawikan Ibnu Abdll-Barr dari Al-Hasan, hadits mursall.

Menurut atsar, yaitu berkata Umar ra. : "Barangsiapa menceriterakan suatu hadits, lalu diamalkan orang, maka baginya pahala seperti pahala yang diperoleh oleh orang yang mengamalkannya ".
Berkata Ibnu Abbas ra. : "Orang yang mengajarkan kebajikan kepada orang banyak, niscaya diminta ampun dosanya oleh segala sesuatu, hatta ikan di dalam laut".

Berkata setengah ulama : "Orang berilmu itu masuk antara Allah dan makhlukNya. Maka hendaklah ia memperhatikan, bagaimana ia masuk ".
Diriwayatkan bahwa Sufyan Ats-Tsuri ra. datang ke 'Askalan. Lalu ia berhenti pada suatu tempat dan tiada orang yang menanyakan halnya. Maka ia berkata : "Koreklah tanah bagiku supaya aku ke luar dari negeri ini. Ini adalah negeri, yang mati padanya ilmu". Dia mengatakan demikian, karena ingin menerangkan keutamaan mengajar dan kekekalan ilmu dengan adanya pengajaran.

Berkata 'Atha' ra. : "Aku masuk ke tempat Sa'id bin Al-Musayyab dan ia sedang menangis. Lalu aku bertanya : "Apakah yang menyebabkan engkau menangis?".
la menjawab : "Karena tak ada orang yang menanyakan sesuatu kepadaku ".
Berkata setengah mereka : "Ulama itu lampu segala masa. Masing- masing ulama itu menjadi lampu zamannya. Orang-orang yang semasa dengan dia dapat memperoleh nur daripadanya".

Berkata Al-Hasan ra. : "Kalau tak adalah orang yang berilmu, niscaya jadilah manusia itu seperti hewan. Artinya : dengan menga¬jar, para ahli ilmu itu, mengeluarkan manusia daribatas kehewanan, kepada batas kemanusiaan ".

Berkata 'Akramah : "Bahwa ilmu ini, mempunyai harga". Lalu orang menanyakan : "Apakah harganya itu?". 'Akramah menjawab:

"Bahwa engkau letakkan pada orang yang bagus membawanya dan tidak menyia-nyiakannya".
Berkata Yahya bin Mu'az : "Ulama itu lebih mencintai ummat Nabi Muhammad saw., daripada bapak dan ibu mereka sendiri".

Lalu orang menanyakan : "Bagaimanakah demikian?". Yahya menjawab : "Sebabnya, karena bapak dan ibu mereka menjaganya daripada neraka dunia, sedang para ulama menjaganya daripada neraka akhirat".
Orang mengatakan : "Permulaan ilmu itu berdiam diri, kemudian mendengar, kemudian menghafal, kemudian mengerjakan dan kemudian menyiarkannya".

Ada orang mengatakan : "Ajarilah ilmumu akan orang yang bodoh! Dan belajarlah dari orang yang berilmu akan apa yang engkau tak tahu! Apabila engkau berbuat demikian, maka engkau tahu apa yang engkau tidak ketahui dan engkau hafal apa yang sudah engkau ketahui".
Berkata Mu'az bin Jabal mengenai mengajar dan belajar dan aku berpendapat bahwa perkataan ini juga adalah hadits marfu' :

"Pelajarilah ilmu! Maka mempelajarinya karena Allah itu taqwa. Menuntutnya itu ibadah.
Mengulang-ulanginya itu tasbih. Membabahaskannya itu jihad. Mengajarkan orang yang tidak tahu itu sedekah. Memberikannya kepada ahlinya itu mendekatkan diri kepada Tuhan. Ilmu itu teman waktu sendirian dan kawan waktu kesepian, penunjuk jalan kepada agama, pemberi nasehat bersabar waktu suka dan duka, seorang menteri di tengah-tengah teman sejawat, seorang keluarga di tengah-tengah orang asing dan sinar jalan ke sorga. Dengan ilmu, diangkat oleh Allah beberapa kaum, lalu dijadikanNya mereka pemimpin, penghulu dan penunjuk jalan pada kebajikan. Diambil orang menjadi ikutan dan penunjuk jalan pada kebajikan. Jejak mereka diikuti,perbuatan mereka diperhatikan. Malaikat suka kepada tingkah laku mereka. Disapunya mereka de¬ngan sayapnya. Seluruh yang basah dan yang kering meminta am¬pun akan dosa mereka, hatta ikan dan binatang laut, binatang buas dan binatang jinak di darat, langit dan bintang-bintangnya". (1)
(1)Dirawikan Abusy Syaikh Ibnu Hlbban dan Ibnu Abdil-Barr. Katanya : tidak mempunya! isnad yang kuat
Karena ilmu itu, kehidupan hati dari kebutaan, sinar penglihatan dari kedhaliman dan tenaga badan dari kelemahan. Dengan ilmu,hamba Allah itu, sampai ke tempat orang baik-baik dan derajat tinggi. Memikirkan ilmu seimbang dengan berpuasa. Mengulang- ulanginya seimbang dengan mengerjakan shalat. Dengan ilmu, orang ta'at kepada Allah 'Azza wa Jalla, beribadah,berjanji, bertauhid, menjadi mulia, menjadi wara menyambung silaturrahmi dan mengetahui halal dan haram. Ilmu itu imam dan amal itu pengikutnya. Diilhamkan ilmu kepada orang-orang berbahagia dan diharamkan kepada orang-orang celaka. Kita bermohon kepada Allah taufiq yang baik.

salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Sun Oct 10, 2010 2:15 am

TENTANG DALIL-DALIL AKAL

Ketahuilah, bahwa yang dicari dari bab ini, ialah mengenai al-fadliilah (kelebihan) dan kenilaian ilmu. Dan selama belum dipa- hami kelebihan itu sendiri dan tidak diselidiki maksud daripada- nya, maka tak mungkinlah diketahui adanya kelebihan itu menjadi sifat bagi ilmu ataa bagi yang lain dari segala persoalan.

Maka sesungguhnya, telah sesat jalan orang yang ingin mengetahui bahwa si Zaid itu seorang filosuf atau bukan, sedang dia belum lagi mengetahui arti dan hakikat ilmu filsafat itu.

Al-fadliilah, berasal dari perkataan al-fadlli, yaitu lebih (az-ziadah). Apabila bersekutulah dua benda dalam sesuatu hal dan salah satu daripada keduanya, tertentu dengan suatu kelebihan, maka dikata- kanlah : itu kelebihannya. Dan ia mempunyai kelebihan dari yang daripadanya, manakala kelebihannya itu mengenai yang menjadi kesempurnaan sesuatu itu sendiri. Umpamanya dikatakan : kuda itu lebih utama dari keledai, dengan arti : bahwa kuda bersekutu dengan keledai tentang sama-sama mempunyai kekuatan mengang kut. Tetapi ku da melebihi dari keledai, dengan kekuatan tampil ke depan, berlari dan ketangkasan melompat serta kebagusan bentuk.

Kalau diumpamakan : keledai itu mempunyai suatu kelebihan daging tumbuh, maka itu tidaklah dikatakan suatu kelebihan. Karena itu adalah suatu tambahan pada tubuh dan suatu kekurangan dalam arti yang sebenarnya. Jadi, tidaklah termasuk kesempur¬naan sedikitpun. Dan hewan itu dicari untuk maksud dan sifatnya, tidak untuk tubuhnya.

Apabila ini telah anda pahami, maka tidaklah tersembunyi lagi bagi anda, bahwa ilmu itu suatu kelebihan, bila dibandingkan dengan sifat-sifat yang lain, sebagaimana kuda itu mempunyai suatu kelebihan, bila dibandingkan dengan hewan-hewan yang lain. Bah kan kecepatan melompat, adalah suatu kelebihan pada kuda dan tidaklah itu suatu kelebihan mutlak.

Ilmu itu adalah suatu kelebihan pada dirinya dan secara mutlak tanpa diperhubungkan kepada yang lain. Karena ilmu itu adalah sifat kesempurnaan bagi Allah swt. Dengan ilmulah, mulia para malaikat dan Nabi-Nabi. Bahkan kuda yang cerdik adalah lebih baik dari kuda yang bodoh.
Dari itu, ilmu itu suatu kelebihan mutlak, tanpa diperhubungkan dengan yang lain.
Ketahuilah, bahwa sesuatu yang bernilai lagi digemari itu, terbagi kepada :

1.dicari untuk lainnya.
2.dicari karena benda itu sendiri.
3.dicari untuk tujuan lainnya dan bersama untuk benda itu sendiri.

Maka yang dicari karena benda itu sendiri, adalah lebih mulia dan lebih utama daripada yang dicari untuk lainnya. Yang dicari untuk lainnya, ialah dirham dan dinar. Keduanya adalah batu, tak ada gunanya. Kalau tidaklah Allah Ta'ala menjadikan kedua¬nya untuk memudahkan memperoleh keperluan hidup,maka dirham dan dinar itu sama saja dengan batu yang terletak di tepi jalan.

Yang dicari untuk benda itu sendiri yaitu kebahagiaan di akhirat dan kesenangan memandang Wajah Allah swt. Dan yang dicari untuk benda itu sendiri dan untuk lainnya, seperti : keselamatan tubuh. Keselamatan seseorang itu umpamanya dicari, dari segi, bahwa keselamatan itu, adalah keselamatan bagi tubuh, dari kepedihan. Dan dengan keselamatan itu, dicari untuk berjalan dan mencapai maksud-maksud dan hajat keperluan.
Dengan pandangan tersebut, apabila anda perhatikan kepada ilmu, niscaya anda memperoleh pada ilmu itu sendiri suatu kesenangan. Jadi, ilmu itu termasuk dicari untuk ilmu itu sendiri. Dan anda peroleh bahwa ilmu itu jalan ke negeri akhirat, kebaha¬giaan akhirat dan jalan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Dan tidak akan sampai kepadaNya, selain dengan ilmu.

Kedudukan yang tertinggi bagi seorang manusia, ialah kebahagiaan abadi. Dan suatu yang paling utama, ialah jalan kepadanya. Dan tidak akan sampai kepadanya selain dengan ilmu dan amal. Dan tidak akan sampai kepada amal, selain dengan mengetahui cara beramal.

Maka asal kebahagiaan di dunia dan di akhirat, adalah -ilmu-. Jadi, ilmulah yang terutama dari segala amal perbuatan. Betapa tidak! Kadang-kadang mengetahui keutamaan sesuatu juga dengan kemuliaan hasilnya. Dan anda mengetahui bahwa hasil ilmu itu, ialah mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam, menghubung- kan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat tinggi. Itu semuanya adalah di akhirat.

Adapun di dunia, maka adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh, pe- merintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri. Sehingga orang Turki yang bodoh dan orang Arab yang kasar, secara naluri, mereka menghormati kepala-kepalanya. Karena kekhususan mereka dengan ketambahan ilmu, yang diperoleh dari pengalaman. Bahkan dengan tabiatnya,hewan menghormati manusia,karena perasaannya perbedaan manusia dg. kesempurnaan yang melebihi derajat hewan itu

Inilah keutamaan ilmu secara mutlak! Kemudian, ilmu itu berbeda-beda seperti akan diterangkan dan sudah pada tempatnya pula berlebih kurang keutamaannya, disebabkan kelebih-kurangnya itu, Dan keutamaan mengajar dan belajar, sudah jelas dari apa yang ka¬mi sebutkan dahulu.

Apabila ilmu itu, lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih utama itu. Maka mengajar- kannya, adalah memberi faedah bagi keutamaan. Jelasnya, segala maksud manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak teratur, selain dengan teraturnya dunia. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat yang menyampai- kan kepada Allah Ta'ala, bagi orang yang mau mengambilnya menjadi alat dan tempat tinggal. Tidak bagi orang yang mengambil¬nya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi.

Urusan duniawi tidak akan teratur, selain dengan amal perbuatan manusia. Amal perbuatan, pekerjaan dan perusahaan manusia itu, terbatas pada tiga bahagian :
Pertama pokok : Alam ini tidak dapat tegak bila pokok ini tidak ada, yaitu empat :
pertanian untuk pangan,
pertenunan untuk sandang,
perumahan untuk tempat tinggal dan siasah (politik), yaitu untuk kerukunan,
persatuan dan gotong-royong mencapai sebab-sebab yang membawa kepada kehidupan yang lebih baik dan mengendalikannya

Kedua :
ialah, yang mempersiapkan bagi tiap-tiap usaha tersebut dan yang melayaninya. Seperti pertukangan besi, adalah melayani pertanian dan sejumlah usaha dengan persiapan alat-alat-nya. Seperti membersihkan kapas dari bijinya dan membuat benang. Semuanya itu demi untuk bertenun kain dengan persiapan amal usahanya.

Ketiga :
ialah, penyempurna bagi pokok dan penghias, seperti menumbuk tepung dan membuat roti bagi pertanian, menggunting kain dan menjahit bagi pertenunan.
Yang tersebut tadi, bila dihubungkan kepada tegak berdirinya alam kebumian, adalah seumpama bahagian-bahagian dari seseorang, bila dihubungkan kepada keseluruhannya. Yaitu ada tiga macam pula. Adakalanya pokok, seperti hati, jantung dan otak.
Adakalanya pelayan bagi pokok itu seperti perut, urat, urat syaraf dan pembuluh darah.
Adakalanya penyempurna dan penghias bagi pokok, seperti kuku, anak jari, dan bulu kening.

Yang termulia dari segala pekerjaan itu ialah pokoknya. Yang termulia dari pokoknya ialah siasah, dengan kerukunan dan perbaikannya. Dari itu, usaha tersebut meminta kesempumaan dari orang yang bertanggung-jawab, melebihi dari usaha-usaha yang lain.

Dari itu tidak mustakhil, yang punya pekerjaan tersebut, menggunakan pengusaha-pengusaha yang lain. Dan siasah pada perbaikan orang banyak dan menunjukkannya ke jalan lurus, yang membawa kelepasan di dunia dan di akhirat, adalah atas empat tingkat :

Tingkat tertinggi, yaitu siasah dan hukum Nabi-Nabi as. terhadap golongan tertentu dan orang banyak, baik dhahir atau bathin.

Tingkat khalifah, raja-raja dan sultan-sultan. Dan hukum yang dijalankan mereka adalah terhadap golongan tertentu dan umum seluruhnya. Tetapi mengenai yang dhahir saja, tidak yang bathin.

Tingkat 'alim ulama, yang mengenai Allah dan agamaNya, yang menjadi pewaris dari Nabi-Nabi. Hukum mereka adalah terhadap bathin golongan tertentu saja. Golongan orang awwam, tak dapat memahami untuk memperoleh faedah dari mereka.

Kekuatan para ulama itu, tidak sampai kepada pengurusan amal perbuatan dhahiriyah golongan tadi, baik dengan menyuruh, mela- rang dan memerintahkan.

Tingkat para juru nasihat. Hukum mereka adalah mengenai bathin orang awwam saja.
Yang termulia dari usaha empat tingkat tadi, sesudah tingkat kenabian, ialah memfaedahkan ilmu dan mendidik jiwa manusia supaya terhindar dari pekerti tercela yang membinasakan dan menunjuk jalan, kepada budi pekerti terpuji yang mendatangkan ke¬bahagiaan.

Itulah yang dimaksudkan dengan pengajaran. Kami sesungguh¬nya mengatakan, bahwa mengajar ini adalah yang lebih utama, dibandingkan dengan pekerjaan dan usaha lain. Karena keutamaan usaha itu, dapat di kenal dengan tiga perkara : adakalanya dengan menoleh kepada naluri, yang menyampaikan kepada mengenalinya, seperti keutamaan Ilmu Pasti dari Ilmu bahasa, karena Ilmu Pasti itu diketahui dengan akal, sedang Ilmu Bahasa dengan mendengar. Akal adalah lebih mulia dari pendengaran. Adakalanya dengan melihat kepada kepentingannya yang lebih lengkap, seumpama kele¬bihan pertanian dari pertukangan emas. Dan adakalanya dengan memperhatikan tempat pekerjaan itu, seumpama kelebihan pertu¬kangan emas dari pada penyamakan kulit. Sebab yang pertama tempatnya emas dan yang kedua tempatnya kulit bangkai.

Dan tidaklah tersembunyi bahwa ilmu agama ialah memahami jalan akhirat, yang dapat diketahui dengan kesempurnaan akal dan kebersihan kecerdikan. Akal adalah yang termulia dari sifat-sifat insan sebagaimana akan diterangkan nanti. Karena de¬ngan akal, manusia menerima amanah Allah. Dan dengan akal akan sampai kesisi Allah swt. Adapun tentang umum kegunaannya, ma¬ka tak diragukan lagi, karena kegunaan dan kehasilannya ialah ke-bahagiaan akhirat. Adapun kemuliaan tempat, maka bagaimana ter¬sembunyi? Guru itu berpengurusan dalam hati dan jiwa manusia. Yang termulia di atas bumi, ialah jenis manusia. Yang termulia dari bagian tubuh manusia ialah hatinya. Guru itu bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu men- dekati Allah 'Azza wa Jalla. Mengajarkan ilmu itu dari satu segi adalah ibadah kepada Allah Ta'ala dan dari segi yang lain adalah menjadi khalifah Allah Ta'ala. Dan itu adalah yang termulia menja¬di khalifah Allah. Bahwa Allah telah membuka pada hati orang ber¬ilmu, akan pengetahuan yang menjadi sifatNya yang teristimewa, maka dia adalah seperti penjaga gudang terhadap barang gudangan- nya yang termulia. Kemudian diizinkan berbelanja dengan barang itu untuk siapa saja yang membutuhkannya.

Maka manakah pangkat yang lebih mulia dari menjadi perantara, antara Tuhan dan makhlukNya untuk mendekatkan kepadaNya dan membawa mereka ke sorga tempat kediaman? Kiranya Allah dengan kemurahanNya menjadikan kita diantara ahli sorga! Dan rakhmat Allah kepada semua hambaNya yang pilihan.

salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Sun Oct 10, 2010 2:19 am

Bab kedua : Mengenai Ilmu terpuji dan tarcela, bahagian-bahagiannya dan hukum-hukum- nya, Padanya penjelasan, apakah yang fardlu 'ain dan apakah yang fardlu kifa yah. Penjelasan, bahwa kedudukan il¬mu kalam dan ilmu fiqih daiam ilmu agama, sampai mana batasnya dan ke- utamaan ilmu akhirat. Penjelasan ifmu yang menjadi fardlu 'ain.

Bersabda Nabi saw. : "Menuntut ilmu wajib atas tiap-tiap muslim". Dan bersabda pula Nabi saw. : "Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina sekalipun (1)

Berbeda pendapat manusia mengenai ilmu yang menjadi far¬dlu "ain atas tiap-tiap muslim, sampai berpecah-belah lebih dari dua puluh golongan. Kami di sini tidak akan menguraikannya secara terperinci. Akan tetapi hasilnya, ialah masing-masing golongan itu menempatkan wajib, pada ilmu yang dipilihnya.
Berkata ulama ilmu kalam, ialah ilmu kalam yang wajib karena dengan ilmu kalam diketahui keesaan Tuhan, zat dan sifatNya. Berkata ulama fiqih ialah ilmu fiqih yang fardlu 'ain, karena dengan ilmu fiqih diketa¬hui ibadah, halal dan haram, apa yang diharamkan dan yang dihalalkan dari hukum mu'amalah. Ulama fiqih berusaha dengan sungguh-sungguh membentangkan apa yang diperlukan masing-masing orang, tidak pada soal-soal yang jarang terjadi.

Ulama tafsir dan ulama hadits, berkata : yaitu ilmu Kitab dan Sunnah yang fardlu 'ain. Karena dengan perantaraan keduanya, akan sampai kepada ilmu-ilmu yang lain seluruhnya.

Berkata ulama tasawwuf,bahwa yang dimaksudkan, ialah ilmu tasawwuf. Setengah mereka mengatakan bahwa ilmu tasawwuf itu ialah pengetahuan hamba Allah dengan dirinya dan kedudukannya dari Allah 'Azza wa Jalla.

Sebahagian mereka mengatakan, bahwa ilmu tasawwuf itu ialah, ilmu tentang keikhlasan dan penyakit-penyakit yang membahayakan bagi diri dan untuk membedakan antara langkah malaikat dari langkah setan. Diantara mereka mengatakan, bahwa ilmu tasawwuf itu ilmu bathin. Dari itu diwajibkan mempelajarinya bagi golongan tertentu, di mana mereka ahli untuk itu. Dan dapat memalingkan kata-kata dari umumnya.

Berkata Abu Tholib Al-Makki bahwa ilmu yang diwajibkan ialah pengetahuan yang terkandung dalam hadits yang menerangkan sendi-sendi Islam, yaitu sabda Nabi saw. "Didirikan Islam atas li¬ma sendi : mengakui bahwasanya tiada Tuhan selain Allah sampaiakhir hadits". (1)
1.Muhammad itu utusanNya, mendirikan shalat, mengerjakan puasa Ramadlan, memberikan Zakat dan manunaikan halji apabila ada kasanggupan

Karena yang wajib adalah yang lima itulah, maka wajiblah mengetahui cara mengerjakannya dan betapa kewajibannya. Dan yang seyogianya diyakini oleh yang memperolehnya dan tidak diragukan lagi, ialah apa yang akan kami terangkan. Yaitu bahwa il¬mu seperti telah kami singgung pada kata pembukaan kitab ini terbagi kepada :
ilmu mu'amalah dan ilmu mukasyafah. Dan ilmu yang dimaksudkan di sini, tidak lain dari ilmu mu'amalah.

Ilmu Mu'amalah yang ditugaskan kepada hamba Allah, yang berakal dan dewasa, untuk mengamalkannya, ialah tiga :

Aqidah berbuat dan tidak berbuat. Orang yang berakal sehat, apabila telah sampai umur (baligh), baik dengan bermimpi (ihtilam) atau dengan kiraan tahun, pada pagi hari umpamanya yang pertama kali wajib atas dirinya, ialah mempelajari dua kalimah syahadah serta memahami artinya. Yaitu : "Laa ilaaha illallaah, Muhammadur rasuulullaah". Dan tidak diwajibkan kepadanya, untuk berhasil menyingkapkan bagi dirinya, dengan pemikiran, pembahasan dan penguraian dalil-dalil. Tetapi cukuplah sekedar ia membenarkan dan meyakini benar-benar, dengan tak bercampur keraguan dan kebimbangan hati.

Hal itu mungkin berhasil dengan semata-mata bertaklid dan mendengar, tanpa pembahasan dan dalil. "Karena Rasulullah saw. sendiri mencukupkan dari orang-orang Arab itu dengan membenarkan dan mengakui tanpa mempelajari dalil". .Dirawikan Muslim dari kltsah Dlammam bin Tta'labah.


Apabila telah terlaksana demikian, maka telah tertunailah kewajiban waktu itu. Dan adalah ilmu yang menjadi fardlu 'ain baginya di waktu itu, ialah mempelajari dua kalimah syahadah dan memahami artinya. Dan tidak ada kewajibannya di balik itu, pada waktu tersebut, berdalilkan, jika sekiranya mati dia sesudah itu, maka adalah kematiannya dalam ta'at kepada Allah 'Azza wa Jalla. Tidak dalam ma'siat.

Kewajiban selain itu, akan datang dengan sebab-sebab yang mendatang. Dan tidaklah yang demikian, perlu (dlaruri), pada tiap-tiap orang, bahkan- mungkin terlepas daripadanya.

Sebab-sebab mendatang itu, adakalanya dalam berbuat, atau tidak berbuat atau pada aqidah. Dalam berbuat umpamanya, dia hidup terus dari pagi hari itu sampai waktu Dhuhur. Maka dengan masuk- nya waktu Dhuhur, datanglah kewajiban baru baginya, yaitu mem¬pelajari cara bersuci dan bershalat.

Kalau dia sehat dan terus bertahan sampai waktu tergelincir matahari, yang tidak mungkin ia menyempurnakan pelajaran dan mengeijakan Dhuhur dalam waktunya, tetapi waktu akan habis jika dia terus belajar, maka tepatlah kalau dikatakan bahwa pa¬da dhahirnya dia terus hidup. Dari itu, wajiblah ia mendahulukan belajar atas masuknya waktu. Dan boleh pula dikatakan bahwa wajib adanya ilmu itu menjadi syarat untuk amal, sesudah wa¬jib amal itu. Maka belajar itu belum lagi wajib sebelum gelincir matahari.

Demikian pula pada sembahyang-sembahyang selain dari Dhuhur tadi. Bila dia terus hidup sampai bulan Ramadlan, maka bertambah pula kewajibannya mempelajari puasa. Yaitu mengetahui bahwa waktunya dari waktu Shubuh sampai terbenam mata¬hari. Bahwa diwajibkan pada puasa, ialah : niat, menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh. Keadaan demikian berjalan terus sampai tampak bulan, oleh dia sendiri atau oleh dua orang saksi.

Kalau hartanya bertambah atau memang dia orang berharta ketika dewasa, maka wajib pula mempelajari kewajiban zakat. Te¬tapi tidaklah diwajibkan itu ketika itu juga. Hanya baru wajib wak¬tu telah sampai setahun (haul) dari masa Islamnya. Jika dia hanya mempunyai unta maka yang harus dipelajarinya ialah zakat unta- Begitu pula dengan jenis-jenis yang lain.

Apabila datang bulan hajji, tidaklah wajib ia bersegera mempelajari pengetahuan hajji, karena mengerjakannya adalah dalam waktu yang lama. Dari itu tidak diwajibkan mempelajarinya cepat-cepat.

Tetapi seyogialah bagi ulama Islam memperingatkannya bahwa haj¬ji itu suatu kewajiban yang lama, atas tiap-tiap orang yang mempu- nyai perbekalan dan kendaraan. Apabila ia memiliki barang-barang tersebut, maka mungkin timbul hasrat dalam hatinya hendak menyegerakan menunaikan ibadah hajji itu. Maka ketika itu, bila hasrat telah timbul, maka haruslah ia mempelajari cara mengerjakan hajji. Dan tidak harus, selain mempelajari rukun dan wajibnya, tidak sunatnya. Sebab bila mengerjakannya sunat, maka mempela- jarinya sunat pula. Dari itu tidaklah menjadi fardlu 'ain mempela- jarinya.

Tentang haramnya berdiam diri, dari pada memberitahukan atas ke¬wajiban pokok hajji itu, pada waktu sekarang, adalah menjadi suatu perhatian yang layak pada ilmu fiqih.

Demikianlah secara beransur-ansur, tentang ilmu amal perbuatan yang lain, yang menjadi fardlu 'ain.
Adapun yang tidak berbuat (ditinggalkan mengerjakannya) ma¬ka wajiblah mempelajari ilmu itu menurut perkembangan keadaan. Dan yang demikian itu berbeda, menurut keadaan orang. Karena tidaklah wajib atas orang bisu, mempelajari kata-kata yang diharamkan. Tidaklah atas orang buta mempelajari apa-apa yang haram dari pemandangan. Dan tidaklah atas orang desa (badui) mempelajari tempat-tempat duduk yang diharamkan.

Maka yang demikian itu juga wajib menurut yang dikehendaki oleh keadaan. Apa yang diketahuinya bahwa dia terlepas daripadanya, maka tidaklah diwajibkan mempelajarinya. Dan apa yang tidak ter¬lepas daripadanya, maka wajiblah diberitahukan kepadanya. Seumpama, ketika ia masuk Islam, adalah ia memakai kain sutera atau duduk pada perampokan atau suka melihat yang bukan mahramnya maka wajiblah diberitahukan kepadanya yang demikian itu.

Dan apa yang tidak melekat padanya, tetapi akan dihadapi, pada masa dekat seperti makan dan minum, maka wajiblah mengajarkan- nya. Sehingga apabila timbul dalam negeri, minuman khamar dan makanan daging babi, maka wajiblah diajarkan yang demikian dan diberitahukan.Dan tiap-tiap wajib diajarkan maka wajiblah dipelajari.

Adapun mengenai aqidah dan amal perbuatan hati, wajiblah mengetahuinya menurut bisikan hati. Kalau timbul keraguan mengenai pengertian yang terkandung dalam dua kalimah syahadah, maka wajiblah ia mempelajari apa yang menyampaikannya kepada hilangnya keraguan itu. Jikalau tiada terguris yang demiki¬an itu dan ia mati sebelum beri' tikad bahwa kalam Allah itu qadim, Ia-Nya akan dilihat dan tiada padaNya segala sifat makhluk serta Iain-Iain sebagainya, yang tersebut dalam bahagian kei'tiqadan, maka sepakatlah ulama bahwa ia mati dalam Islam. Tetapi bisikan- bisikan hati ini yang menyangkut dengan kepercayaan, sebahagian timbul disebabkan kepribadian seseorang dan sebahagian lagi disebabkan pendengaran dari sesama penduduk. Jikalau dalam negeri, berkembang pembicaraan mengenai yang demikian dan manusia memperkatakan tentang perbuatan-perbuatan bid'ah, maka seyogialah dijaga dari permulaan masa dewasa.denganmengajarkanyang benar. Kalau ke dalam hatinya telah dimasukkan yang batil, nisca¬ya wajiblah dihilangkan dari hatinya itu. Mungkin yang demikian itu sukar. Seumpama, jikalau muslim itu saudagar dan telah ber¬kembang ditempatnya perbuatan r i b a, maka wajiblah dipelajari- nya, cara menjaga diri dari riba itu.

Demikianlah sebenarnya mengenai pengetahuan yang fardlu 'ain. Artinya, ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib. Maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia sudah mengetahui ilmu yang fardlu 'ain.

Apa yang diterangkan kaum sufi, tentang memahami bisikan-bisik- an musuh dan langkah malaikat, adalah benar juga, tetapi terhadap orang yang ada hubunganya dengan itu.
Apabila menurut biasanya, bahwa manusia itu tidak terlepas dari panggilan kejahatan, ria dan dengki, maka haruslah ia mempelajari ilmu bahagian sifat-sifat yang membinasakan diri, apa yang dipandangnya perlu untuk dirinya. Bagaimana tidak wajib?
Rasulullah saw. pemah bersabda :
(Tsalaatsun muhlikaatun : Syuhhun muthaa'un wahawan muttabaun wa i'jaabul mar-i binafsih).
Artinya:"Tiga perkara, membinasakan manusia : kikir yang dipatuhi,hawa nasfu yang dituruti dan keta'juban manusia kepada dirinya"(1)(1) Dirawikan Ath-Thabrani, Abu Na'im dan Al-Balhaqi dari Anas,

Tidak terlepaslah manusia dari sifat-sifat tersebut dan lain-lain sifat yang akan kami terangkan, dari sifat-sifat hal-ikhwal hati yang tercela. Seperti takabur, 'ujub dan sebagainya yang mengikuti tiga sifat yang membinasakan itu.

Menghilangkan sifat-sifat tadi adalah fardlu 'ain. Dan tidak mungkin menghilangkannya, kecuali dengan mengetahui batas-batasnya, sebab-sebabnya, tanda-tandanya dan cara mengobatinya. Orang yang tidak mengetahui sesuatu kejahatan, akan terperosok ke dalamnya. Obatnya ialah, menghadapi sebab itu, dengan lawan- nya. Maka bagaimana mungkin melawannya itu tanpa mengetahui sebab dan yang disebabkannya.
Kebanyakan dari yang kami terangkan dalam bahagian sifat-sifat yang membinasakan diri, termasuk dalam fardlu 'ain. Dan sudah ditinggalkan manusia karena sibuk dengan yang tak perlu.

Diantara yang seyogianya disegerakan mengajarkannya, apabila tidaklah orang itu telah berpindah dari satu agama ke agama yang lain, ialah keimanan dengan sorga, neraka, kebangkitan dari kubur dan pengumpulan di padang mahsyar. Sehingga dia beriman dan mempercayainya. Dan itu adalah sebagian dari kesempumaan dan dua kalimah syahadah. Karena setelah membenarkan dengan kerasulan Nabi saw. itu, seyogialah memahami akan risalah (kerasulan) yang dibawanya. Yaitu, bahwa orang yang menta'ati Allah dan RasulNya, maka baginya sorga. Dan orang yang mendurhakai keduanya, maka baginya neraka.

Maka apabila anda telah memperoleh perhatian akan pelajaran tersebut secara beransur-ansur, maka tahulah anda bahwa inilah madzhab yang sebenarnya. Dan yakinlah anda bahwa tiap- tiap hamba Allah dalam perkembangan hal ikhwalnya, siangnya dan malamnya, adalah tidak terlepas dari kejadian-kejadian yang mengenai ibadahnya dan mu'amalahnya secara terus-menerus, akan akibat-akibatnya. Maka haruslah bertanya tentang kejadian-kejadi¬an yang jarang terjadi dan haruslah bersegera mempelajari apa yang diharapkan biasanya terjadi dalam waktu dekat. Apabila telah jelas bahwa Nabi saw. bermaksud dengan perkataan "Al-ilmu" pakai “alif “dan “lam” pada sabdanya: "Menuntut al-ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim", ialah ilmu yang disertai dengan amal perbuatan, yang terkenal wajibnya atas pundak kaum muslimin, tidak lain, maka jelaslah cara beransur-ansurnya dan waktu yang diwajibkan mempelajarinya.
Wallaahu a'lam (ALLAH Maha Tahu).

salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Sun Oct 10, 2010 2:44 am

Mukasurat 84-122
PENJELASAN TENTANG ILMU YANG FARDLU KIFAYAH
Ketahuilah bahwa fardlu tidak berbeda dengan yang tidak fardlu, kecuali dengan menyebutkan bahagian-bahagian ilmu.Dan ilmu-ilmu itu dengan disangkutkan kepada fardlu yang sedang kita bicarakan ini, terbagi kepada : ilmu syari'ah dan bukan ilmu syari'ah.
Yang dimaksudkan dengan ilmu syari'ah ialah yang diperoleh dari Nabi-Nabi as. Dan tidak ditunjukkan oleh akal manusia kepadanya, seumpama ilmu berhitung atau percobaan seumpama ilmu kedokteran atau pendengaran seumpama bahasa.

Maka ilmu-ilmu yang bukan syari'ah, terbagi kepada : ilmu yang terpuji, ilmu yang tercela dan ilmu yang dibolehkan. Ilmu yang terpuji, ialah yang ada hubungannya dengan kepentingan urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Dan itu terbagi kepada fardlu kifayah dan kepada ilmu utama yang tidak fardlu.

Yang fardlu kifayah, ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dike- sampingkan dalam menegakkan urusan duniawi, seumpama ilmu kedokteran. Karena pentingnya dalam pemeliharaan tubuh manu¬sia. Dan seumpama ilmu berhitung, karena pentingnya dalam masyarakat jual beli, pembahagian harta wasiat, pusaka dan lain- lainnya. Inilah ilmu-ilmu, jikalau kosonglah negeri dari pada orang-orang yang menegakkannya, niscaya berdosalah penduduk negeri itu. Tetapi apabila ada seorang saja yang bangun menegakkan ilmu itu, maka mencukupilah dan terlepaslah yang lain dari kewajiban tersebut.

Dari itu, tak usah diherankan dari perkataan kami, bahwa ilmu kedokteran dan ilmu berhitung itu termasuk fardlu kifayah. Juga pokok-pokok perusahaan (industri) juga termasuk fardlu kifa¬yah, seumpama pertanian, pertenunan dan siasat Bahkan juga pem- bekaman dan penjahitan, karena jikalau kosonglah negeri dari tu- kang bekam maka segeralah datang kebinasaan kepada mereka. Dan berdosalah mereka itu membawa dirinya kepada kebinasaan. Maka sesungguhnya Yang Menurunkan penyakit, Dia pulalah yang menurunkan obat dan memberi petunjuk cara memakainya serta menyediakan sebab-sebab untuk merawatinya. Maka tidak dibo¬lehkan membawa diri kepada kebinasaan dengan menyia-nyiakan obat itu.
Adapun ilmu yang dihitung : utama, tidaklah fardlu. Maka menda- lami hal-hal yang halus bagi ilmu berhitung, ilmu kedokteran dan lain-Iainnya, adalah termasuk yang tidak diperlukan begitu penting. Tetapi berfaedah menambahkan kekuatan pada kadar yang diperlukan.
Adapun ilmu yang tercela yaitu : ilmu sihir, mantera-mantera, ilmu tenung dan ilmu balik mata.
Adapun ilmu yang dibolehkan yaitu : ilmu tentang pantun-pantun yang tak cabul, berita-berita sejarah dan sebagainya.
Adapun ilmu syari'ah dan itulah yang dimaksud menjelaskan- nya, maka adalah terpuji semuanya. Tetapi kadang-kadang bercampur dengan apa yang disangkakan itu syari'ah. Pada hal ada¬lah itu tercela. Dari itu, terbagi kepada : terpuji dan tercela.
Yang terpuji mempunyai pokok, cabang, mukaddimah dan pelengkap, sehingga berjumlah empat.

Yang pertama : pokok (ushul). Yaitu empat : Kitabullah 'Azza wa Jalla, Sunnah Rasul saw., ljma' ummat dan peninggalan-peninggal- an shahabat (atsar).
Dan ljma' itu pokok, dari segi bahwa dia menunjukkan kepada Sunnah. Maka adalah dia pokok pada derajat ketiga. Begitu juga peninggalan shahabat, maka dia juga pokok menunjukkan ke¬pada Sunnah. Karena para shahabat r.a. menyaksikan wahyu dan penurunan Al-Qur-an. Dan mengetahui dengan petunjuk-petunjuk keadaan, apa yang tidak diketahui oleh orang lain. Kadang-kadang tidak dijumpai kata-kata dalam apa yang diketahui dengan petun- juk keadaan. Maka dengan dasar ini, para alim ulama berpendapat untuk mengikuti dan berpegang teguh kepada peninggalan-pening- galan shahabat. Dan yang demikian itu adalah dengan syarat ter- tentu, dalam bentuk tertentu dan tidak wajar menerangkannya dalam kupasan ini.

(Laa yaqdlil qaadlii wa huwa ghadl-baanu).

Yang kedua : Cabang (furu'). yaitu apa yang dipahamkan dari pokok-pokok (ushul) di atas. Tidak menurut yang dikehendaki oleh kata-katanya, tetapi menurut pengertian yang dapat dicapai oleh akal pikiran. Dengan sebab itu maka faham menjadi luas, Sehingga dari kata-kata yang diucapkan, dapat dipahami yang lain. Seperti apa yang dapat dipahami dari sabda Nabi saw. :
Artinya :"Hakim (kadli) itu tidak mengadiliperkara ketika dia sedang marah(1) Bahwa dia tidak mengadili juga ketika mau buang air, lapar atau merasa sakit .

Ilmu furu' itu terbagi tiga : pertama menyangkut dengan ke- pentingan duniawi. Dan termuat dalam kitab-kitab fiqih. Yang bertanggung jawab terhadapnya ialah para ulama fiqih. Dan mereka itu adalah ulama dunia.

Kedua menyangkut dengan kepentingan akhirat. Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi pekerti terpuji dan tercela, hal-ikhwal yang direlai dan yang dibenci Allah. Pengetahuan ini termuat pada bagian penghabisan dari kitab ini. Yakni dalam jumlah kitab '.'Ihya'Ulumiddin". Dan sebahagian daripadanya, ialah ilmu yang memancar dari hati kepada anggota badan, dalam ibadahnya dan 'adat kebiasaannya. Dan itu termuat pada bahagian pertama dari kitab ini.

Yang ketiga : mukaddimah (ilmu pengantar), yaitu ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa dan tata-bahasa. Kedua- nya adalah merupakan alat untuk mengetahui isi Kitabullah dan Sunnah Rasul saw. Bahasa dan tata-bahasa itu tidaklah termasuk dalam ilmu syari'ah. Tetapi harus dipelajari disebabkan agama. Karena syari'ah (Agama Islam) ini datangnya dengan bahasa Arab. Dan semua agama tidak lahir selain dengan sesuatu bahasa. Maka jadilah mempelajari bahasa itu sebagai alat.
Dan setengah dari alat, ialah : ilmu menulis tulisan. Tetapi tidaklah itu penting. "Karena Rasulullah saw. sendiripun tidak tahu tulis baca(ummi)". (2)
Kalaulah tergambar dapat dihafal semua yang didengar, maka me¬nulis itu tidak perlu lagi. Tetapi pada ghalibnya, lemah dari hapalan maka menulis itu menjadi penting.

Yang keempat : penyempurnaan, iaitu ilmu Al-Qur-an. Dan terbagi kepada : yang berhubungan dengan kata-katanya seperti mempelajari qiraah (cara membaca), dan bunyi hurufhya. Dan yang berhubungan dengan pengertiannya, seperti tafsir, karena pengertian itu berpegang pula kepada naqal (keadaan di sekitar ayat itu, baik sebab turunnya dan suasananya yang diper-

1.Dirawikan Al-Bukharl dan Muslim dari Abi Bikrah.
2.Dirawikan Ibnu Mardawalh dari Abdullah bin umar,

oleh dalam sejarah tiap-tiap ayat suci). Karena semata-mata bahasa saja, tidak dapat berdiri sendiri. Dan yang berhubungan dengan hukumnya, seperti mengetahui yang nasikh dan mansukh, yang umum dan yang khusus, yang nash dan yang dhahir dan cara meng- gunakan antara sebahagian ayat dengan sebahagian lainnya. Yaita suatu ilmu yang bernama "Ushulul-fiqh". Dan ilmu ini melengkapi juga Sunnah Nabi.

Adapun, ilmu penyempurna pada hadits Nabi dan peninggalan peninggalan shahabat (atsar), yaitu ilmu mengenai perawi-perawi hadits, namanya, keturunannya, nama-nama shahabat, kepribadiannya dan ilmu mengenai adalah (kejujuran) perawi-perawi dan keadaan mereka dalam meriwayatkan hadits. Supaya dapat membedakan antara hadits lemah dan hadits kuat. Dan mengetahui umur mereka supaya dapat membedakan antara hadits mursal dan hadits musnad. Dan juga mengetahui yang berhubungan dengan musnad itu (1).
(1) Hadits mursal, yaitu : perawi-perawinya tidak jelas bersambung sampai kepada Nabi saw., sedang hadits musnad adalah Jelas (peny).

Inilah ilmu-ilmu syari'ah dan semuanya itu terpuji, bahkan semua¬nya termasuk fardlu kifayah.
Jikalau anda tanyakan !!!: mengapakah aku hubungkan ilmu fiqih dengan ilmu dunia dan ulama-ulama fiqih dengan ulama-ulama dunia?

Aku menjawab, bahwa ketahuilah sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan Adam a.s. dari tanah dan keturunannya dari unsur-unsur bahan dari tanah dan air hanyir. Mereka dikeluarkan da¬ri tulang sulbi laki-laki, ke dalam rahim wanita. Dari situ ke dunia, kemudian ke kubur, kemudian ke padang makhsyar, kemudian ke-sorga atau ke neraka. Inilah permulaan mereka dan inilah kesudahan mereka! Dan inilah tempat kediaman mereka! Dijadikan dunia tempat mencari perbekalan untuk akhirat, supaya dapat diperoleh dari dunia itu, apa yang patut untuk perbekalan itu.

Kalau manusia itu memperoleh dunia dengan keadilan, ma¬ka lenyaplah segala permusuhan. Dan kosonglah para alim ulama dari kesibukan. Tetapi manusia itu memperoleh dunia dengan nafsu-syahwat, lalu timbullah bermacam-macam permusuhan. Maka perlulah kepada penguasa (sultan) untuk memimpinnya. Dan pe- nguasa itu memerlukan kepada undang-undang (qanun) untuk memimpin ummat manusia itu.

Ahli fiqih, ialah orang yang tahu dengan undang-undang siasah, jalan mengetengahi diantara orang banyak, apabila bertengkar di bawah hukum hawa nafsu. Jadi, ahli fiqih itu adalah guru sultan

dan penunjuknya kepada jalan memimpin dan mengatur makhluk supaya teratur urusan duniawi dengan kelurusan mereka.
Demi sebenarnya, hai tersebut, berhubungan juga dengan agama. Tetapi tidaklah dengan agama itu sendiri, melainkan dengan perantaraan dunia. Karena dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dan agama itu tidak sempurna selain dengan dunia. Penguasa (raja) dan agama adalah dua anak kembar. Agama itu pokok dan penguasa itu pengawal. Sesuatu yang tidak berpokok (bersendi), roboh. Sesuatu yang tidak berpengawal (berpenjaga), hilang. Kerajaan dan kepastian hukum tak sempurna, selain dengan pengu¬asa. Jalan kepastian hukum untuk menyelesaikan persoalan peme- rintahan, ialah dengan fiqih.

Sebagaimana siasah manusia dengan pemerintahan, tidak termasuk sebahagian dari ilmu agama, pada tingkat pertama. Tetapi, adalah penolong kepada sesuatu, di mana agama tidak sempurna, kecuali dengan dia. Maka demikian juga pengetahuan jalan siasah. Seperti dimaklumi, bahwa ibadah hajji, tidak akan sempurna, kecuali dengan pengawal, yang mengawal dari orang-orang Arab diperjalanan. Sedang ibadah hajji itu suatu hai dan berjalan menuju ibadah hajji itu adalah hal kedua. Dan mengadakan pengawalan, di mana hajji itu tidak akan sempurna, selain dengan pengawalan itu, adalah hai ketiga. Dan mengetahui cara-cara, daya upaya dan aturan-aturan pengawalan itu, adalah hal keempat.

Maka hasil dari pengetahuan fiqih, ialah mengetahui cara kepemimpinan dan kepengawalan. Dan ditunjukkan kepada yang demi¬kian, oleh apa yang dirawikan dari hadits musnad :

(Laa yuftin naasa illaa tsalaatsatun amiirun au ma'muurun au mu- takallifun).
Artinya :
"Tidak memberi fatwa (perintah) kepada manusia selain oleh tiga : amir atau ma'mur atau yang memikul beban itu (mutakallif)". (1)

Amir ialah imam (penguasa). Merekalah yang mengeluarkan fatwa. Ma'mur ialah wakil dari amir. Yang memikul beban itu, ialah yang lain dari yang dua tadi. Dan memikul beban tersebut tanpa diperlu¬kan.
1. Dirawikan Ibnu Majah dari 'Amr bin Syu*alb, isnadnya hasan (baik).

Para shahabat Nabi ra. menjaga diri dari mengeluarkan sesuatu fatwa. Hingga masing-masing mereka, menyerahkan kepada temannya. Dan mereka tidak menjaga benar, apabila ditanyakan tentang ilmu Al-Qur-an dan jalan ke akhirat.

Pada setengah riwayat, ganti dari yang memikul beban itu, ialah : "Orang yang bekerja dengan ria". Maka orang yang mau me¬mikul resiko dengan menyatakan sesuatu fatwa, sedang dia tidak ditugaskan untuk itu, maka tidak ada maksud orang itu, selain mencari kemegahan dan harta.

Jika anda menyatakan kepadaku bahwa pendapatku tentang ilmu fiqih itu, kalaupun betul, hanya mengenai hukum penganiayaan, hukum denda, utang-piutang dan penyelesaian persengketaan, maka tidaklah betul mengenai bahagian ibadah, dari hal puasa dan shalat. Dan tidak pada yang dilengkapi oleh bahagian adat dari hukum mu'amalah, dari penjelasan halal dan haram.

Ketahuilah! Bahwa yang terdekat dari apa yang diperkatakan oleh ahli fiqih, dari amal perbuatan, di mana amal perbuatan itu adalah amal perbuatan akhirat, ialah tiga : Islam, shalat dan zakat, halal dan haram. Apabila anda perhatikan sejauh pandangan ahli fiqih tentang hal di atas, niscaya anda tahu, bahwa hal tersebut ti¬daklah melampaui batas-batas dunia kepada akhirat.

Apabila telah dipahami demikian pada yang tiga tadi, maka pada lainnya lebih jelas lagi. Tentang Islam maka ahli fiqih itu, memperkatakan tentang yang syah dari padanya, tentang yang ba- tal dan tentang syarat-syaratnya. Dan tidaklah diperhatikan pada¬nya, selain kepada lisan. Dan hati tidaklah termasuk dalam ling- kungan wilayah seorang ahli fiqih. Karena Rasulullah saw. mele¬takkan pemegang pedang dan kekuasaan,diluar hati, dengan sabda- nya :

(Hallaa syaqaqta 'an qalbih).
Artinya :
"Mengapa tidak engkau pisahkan dari hatinya?". (1)
(1) Dirawikan Muslim dari Usamah bin Zaid.
Sabda ini ditujukan oleh Nabi saw. kepada seorang pembunuh, yang membunuh orang yang telah mengucapkan kalimah Islam, dengan alasan bahwa pengucapannya itu lantaran takut kepada pedang. Bahkan ahli fiqih itu menetapkan syah Islam dibawah naungan pedang, pada hai ia tahu pedang itu tidak menyingkapkan isi niat seseorang dan tidak menghilangkan dari hati, kebodohan dan keheranan. Tetapi mengisyaratkan kepada pemegang pedang. Pedang itu memanjang kepada lehernya. Dan tangan itu meman- jang kepada hartanya. Kalimat tadi dengan lisan adalah menyela- matkan leher dan harta, selama leher dan hartanya belum la- gi terpisah dari padanya. Begitulah di dunia. Dari itu, Nabi saw. bersabda :

(Umirtu an uqaatilan naasa hattaa yaquuluu laa ilaaha illallaahu fa-idzaa qaaluu haa faqad 'ashamuu minnii dimaa-ahum wa amwaa- lahura).
Artinya :
"Aku disuruh memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan "Laa ilaaha illallaah". Apabila telah diucapkannya, maka terpeliharalah darah dan hartanya daripadaku". Nabi saw. menetapkan aki- batnya pengucapan itu pada darah (nyawa) dan harta". (1)
1. Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.

Adapun di akhirat, maka harta itu tidak berguna padanya. Tetapi nurhati, rahasianya dan keikhlasannya yang berguna. Dan itu tidak termasuk dalam bidang fiqih. Kalau seorang ahli fiqih mencempelungkan diri dalam ilmu fiqih, adalah seperti kalau ia mencempelungkan diri dalam ilmu kalam dan ilmu kedokteran. Dan dia itu berada di luar bidangnya.

Mengenai shalat, maka ahli fiqih itu berfatwa dengan syah bila shalat itu dikerjakan dengan bentuk segala perbuatan shalat serta jelas syarat-syaratnya, meskipun ia lengah dalam seluruh shalatnya, dari awal sampai akhirnya. Asyik berfikir menghitung pen- jualan di pasar, kecuali ketika bertakbir.
Shalat semacam itu tidaklah bermanfa'at di akhirat, sebagaimana pengucapan dengan lisan mengenai Islam tak adalah manfa'atnya.

Tetapi ahli fiqih berfatwa dengan syahnya. Artinya apa yang telah dikerjakan, telah berhasil menuruti bunyi perintah dan hapuslah daripadanya, hukuman bunuh dan dera.
Adapun khusu' dan menghadirkan hati yang menjadi amal perbuat¬an akhirat dan dengan itu bermanfa'atlah amal dhahir, maka tidak¬lah disinggung-singgung oleh ahli fiqih. Kalaupun ada, rraka adalah di luar bidangnya.

Mengenai zakat, maka ahli fiqih itu memandang yang mana dapat diminta bantuan penguasa. Sehingga apabila ada yang enggan mem- bayar zakat, lalu penguasa mengambilnya dengan paksa. Karena telah diputuskan, bahwa harta itu telah terlepas dari hak miliknya.
Menurut ceritera, bahwa Kadli Abu Yusuf memberikan hartanya pada akhir tahun (akhir haul) kepada isterinya dan ia sendiri menerima pemberian dari isterinya untuk menghindarkan zakat. Maka diceriterakannya hai itu kepada Imam Abu Hanifah ra.

Imam Abu Hanifah ra. menjawab : "Itu adalah dari segi fiqihnya. Dan dia benar. Itu adalah dari fiqih dunia. Akan tetapi di akhirat melaratnya lebih besar dari segala penganiayaan".
Seumpama inilah kiranya, ilmu yang mendatangkan melarat. Mengenai halal dan haram, maka menjaga diri (wara') dari yang haram, adalah sebahagian dari agama. Tetapi wara' itu mempunyai empat tingkat:
Tingkat pertama : ialah penjagaan diri (wara'), yang disyaratkan pada keadilan kesaksian. Yaitu bila penjagaan diri yang ter¬sebut tidak ada, maka orang tidak boleh menjadi saksi, hakim dan wali. Penjagaan diri yang dimaksud, ialah penjagaan diri, dari per¬buatan yang nyata haramnya.
Tingkat kedua : ialah wara' orang-orang salih. Yaitu, menjauhkan diri dari segala perbuatan syubhat, yang ada padanya kemungkinan- kemungkinan yang diragukan.
Bersabda Nabi saw. :

(Da'-maa yariibuka ilaa maa laa yariibuka).
Artinya :"Tinggalkanlah yang meragukan untuk diambil yang tidak meragu- kan". (1)
Dan Nabi saw. bersabda :

(Al-itsmu hazzaazul quluub). Artinya :
"Dosa itu membawa penyakit bagi hati (jiwa)". (2)
Tingkat ketiga': ialah wara' orang-orang yang taqwa (muttaqin). Yaitu meninggalkan perbuatan yang sebenarnya halal tetapi diku watiri terbawa kepada yang haram.
Bersabda Nabi saw. :

(Laa yakuunurrajulu minal muttaqiina hattaa yada'a maa laa ba'sa bihi makhaafatan mimmaa bihi ba'sun)
Artinya :
"Tidaklah orang itu bernama orang taqwa, sebelum ia meninggal¬kan sesuatu yang tak ada apa-apanya, karena takut kepada yang ada apa-apanya". (3)

Contohnya seumpama : menjaga diri (wara') dari mempercakapkan hal orang. Karena takut terperosok kepada mengumpat. Dan memelihara diri dari memakan sepanjang keinginan, karena takut bergelora semangat dan tenaga yang membawa kepada per-buatan terlarang.
Tingkat keempat : ialah wara' orang-orang shiddiqin. Yaitu berpaling (meninggalkan), selain kepada Allah Ta'ala. Karena takut
1.Dirawikan At-Tirmidzi, An-Nasa-i- dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Ali .
2.Dirawikan Al-Baihaoi da^lbiiu Mai'ud. Dan dirawikan AI-'Adani, hadiu mauquf.
3.Dirawikan At-TiririMzi, IBnu Majah dan Al-Hakim dan ditashihkannya dari 'Athly- yalf as-Sa'di.

terpakai meskipun sesa'at dari umur, kepada yang tidak mendatang- kan faedah lebih pendekatan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla, walaupun ia tahu dan yakin bahwa perbuatan tersebut tidak mem¬bawa kepada yang haram.
Maka semua tingkat tadi adalah di luar perhatian ahli fiqih, selain tingkat pertama. Yaitu : mengenai pemeliharaan diri (wara') saksi, hakim dan yang merusakkan 'adalah (keadilan). Menegakkan pemeliharaan diri (wara') dengan yang demikian, tidaklah meniada- kan dosa di akhirat. Bersabda Nabi saw. kepada Wabishah :

(Istafti qalbaka wa-in aftauka wa-in aftauka wa-in aftauka).
Artinya :"Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu!". (1)
(1) Dirawikan Ahmad dari Wabishah.
Ahli fiqih itu tidak memperkatakan tentang penyakit hati (jiwa) dan cara mengatasinya. Tetapi yang ada, mengenai yang merusakkan 'adalah (keadilan) saja. Jadi seluruh perhatian ahli fiqih, adalah menyangkut dengan dunia, yang dengan dunia itu, ada perbaikan jalan akhirat. Bila sekiranya ia memperkatakan sesuatu dari sifat- sifat hati dan hukum akhirat, adalah termasuk ke dalam percakapannya itu secara sambil lalu. Sebagaimana kadang-kadang termasuk ke dalam percakapannya, persoalan kedokteran, berhitung, ilmu bin tang dan ilmu kalam. Dan sebagaimana termasuknya ilmu falsa¬fah ke dalam tata- bahasa dan pantun.

Sufyan Ats-Tsuri, seorang pemuka ilmu dhahir berkata :
"Sesung¬guhnya mempelajari ini (ilmu fiqih), tidaklah termasuk perbekalan akhirat". Bagaimana? Telah sepakat para ahli bahwa kemuliaan pada ilmu itu, ialah pelaksanaannya. Maka bagaimana ia menyangka, dia mengajar hukum dhihar (menyerupakan isteri dengan punggung ibu) hukum al-li'an (mengutuk isteri), hukum as-salam (beijual beli benda yang belum dilihat si pembeli, hanya diterangkan sifat-sifat- nya saja oleh si penjual), sewa-menyewa dan tukar-menukar uang. Dan orang yang mempelajari hal-hal tersebut, untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, adalah gila.

Sesungguhnya perbuatan itu adalah dengan hati dan anggota tubuh pada segala amal ta'at. Dan kemuliaan, ialah amalan-amalan itu.

Kalau anda bertanya, mengapa tidak aku samakan antara ilmu fiqih dan ilmu kedokteran, karena ilmu kedokteran juga berhubungan dengan dunia, yaitu kesehatan badan. Dan itu berhubung pula dengan kebaikan agama. Dan penyamaan ini menyalahi dengan ijma' ummat Islam?

Ketahuilah! Bahwa penyamaan itu tidaklah suatu keharusan, bah- kan terdapat perbedaan antara keduanya. Ilmu fiqih itu lebih mulia dari ilmu kedokteran dari tiga segi :
Pertama : fiqih itu ilmu syari'ah, karena dia diperoleh dari kenabian. Lain halnya dengan ilmu kedokteran. Dia itu tidaklah termasuk ilmu syari'ah.
Kedua : ilmu fiqih itu tidak dapat melepaskan diri sekali-kali, oleh seseorang yang menuju ke jalan akhirat, baik dia sehat atau sakit. Sedang ilmu kedokteran tidak diperlukan selain oleh orang sakit. Dan orang sakit itu sedikit.
Ketiga : ilmu fiqih itu berdampingan dengan ilmu jalan akhirat. Karena dia memandang pada amal perbuatan anggota tubuh. Sumber dan tempat terjadinya amal perbuatan anggota tubuh itu, adalah peri laku hati (jiwa). Yang terpuji dari pada amal perbu¬atan itu, adalah yang timbul dari budi pekerti yang terpuji, yang melepaskan diri dari bahaya di akhirat. Yang tercela adalah timbul dari budi pekerti yang tercela. Dan tidak tersembunyi lagi akan hubungan antara anggota tubuh dengan hati (jiwa) itu.
Adapun sehat dan sakit, maka tempat terjadinya, adalah bersih pada sifat badan dan percampuran. Dan itu adalah dari sifat- sifat tubuh, tidak dari sifat-sifat hati. Maka manakala dihubung- kan ilmu fiqih kepada ilmu kedokteran, niscaya tampaklah kemu¬liaan ilmu fiqih itu. Dan apabila dihubungkan ilmu jalan ke akhirat kepada ilmu fiqih, maka tampaklah pula kelebihan ilmu jalan keakhirat.
Jika anda menyatakan : "Uraikanlah kepadaku dengan jelas, ilmu jalan ke akhirat itu, yang menunjukkan isi serta tujuannya, meski pun tidak sampai terperinci benar!".
Maka ketahuilah, bahwa ilmu jalan ke akhirat itu adalah dua macam,
ilmu mukasyafah dan ilmu mu'amalah.

Yang pertama : ilmu mukasyafah itu ialah ilmu bathin. Dan itulah, kesudahan segala ilmu. Telah berkata setengah arifin (ahli ilmu ma'rifah yaitu ilmu mengenai Allah Ta'ala) : "Orang yang tidak mempunyai bahagian dari ilmu mukasyafah ini, aku takut akan buruk kesudahannya (tidak memperoleh husnul-khatimah). Sekurang-kurang bahagian dari padanya, ialah membenarkan ilmu itu dan tunduk kepada ahlinya".

Berkata yang lain : "Orang yang ada padanya dua perkara, tidak akan terbuka baginya sedikitpun dari ilmu ini, yaitu, berbuat bid'ah atau takabur".
Ada lagi yang mengatakan : "Barang siapa mencintai dunia atau selalu memperturutkan hawa nafsu, niscaya ia tidak akan yakin kepada ilmu ini dan mungkin ia yakin kepada ilmu-ilmu yang lain. Sekurang-kurangnya penyiksaan terhadap orang yang meng- ingkarinya, ialah tidak merasakan sedikitpun kelezatan ilmu ini". Ahli yang berkata tadi lalu bermadah :

"Relalah terhadap orang yang telah hilang dari engkau,
Oleh kehilangannya.
Maka itu dosa,
Ada siksaan padanya ".

Itulah ilmu orang-orang shiddiqin dan muqarrabin. Yakni ilmu mukasyafah. Yaitu : ibarat cahaya yang lahir dalam hati ketika penyucian dan pembersihannya dari sifat-sifat yang tercela. Dari cahaya itu, tersingkaplah beberapa banyak keadaan, yang tadinya namanya pernah didengar. Maka diragukan pengertiannya yang tidak terurai, lagi tidak jelas. Lalu jelaslah ketika itu, sehingga berhasillah ma'rifat yang hakiki dengan Dzat Allah swt. dan sifatNya yang kekal sempurna, perbuatanNya dan hukumNya pada kejadian dunia dan akhirat. Cara penyusunanNya melebihkan akhirat dari dunia, mengenai arti kenabian dan Nabi, arti Wahyu, arti setan, arti kata-kata Malaikat dan setan-setan, cara permusuhan setan dengan manusia, bagaimana kedatangan malaikat kepada Nabi-nabi, bagaimana sampai wahyu itu kepada Nabi-nabi,mengenal alam malakut langit dan bumi, mengenai hati dan betapa benterokan antara bala tentara malaikat dan setan di dalam hati, mengenai perbedaan antara langkah malaikat dan langkah setan, mengenai akhirat, sorga dan neraka, azab kubur, titian, timbangan, hitungan amal dan maksud dari firman Allah Ta'ala :

(Iqra' kitaabaka kafaa binafsikal yauma 'alaika hasiiban). Artinya:
"Bacalah kitabmu! Cukuplah pada hari ini, engkau membuat perhitungan atas dirimu sendiri". (S. Al-Isra', ayat 14).
dan maksud firman Allah Ta'ala :

(Wa innad daaral aakhirata lahiyal hayawaanu lau-kaanuu yaTa- muim).
Artinya:
"Dan bahwa kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka mengetahui". (S. AI-Ankabut, ayat 64).
dan arti berjumpa dengan Allah Ta'ala dan memandang kepada wajahNya Yang Maha Mulia,
arti dekat dengan Allah dan bertempat disampingNya,
arti memperoleh kebahagiaan dengan menemani alam arwah, Malaikat dan Nabi-nabi.
arti berlebih-kurangnya pang¬kat ahli Sorga, sehingga mereka melihat satu sama lain, seumpama menampak bintang bersinar dilembaian langit dan lain-lainnya yang panjang kalau dibentangkan. Karena manusia, mengenai pengertian hal-hal yang tersebut di atas sesudah membenarkan pokok-pokok- nya, mempunyai bermacam-macam tingkat. Sebagian mereka berpendapat, bahwa semuanya itu adalah contoh-contoh. Dan yang disediakan oleh Allah untuk hambaNya yang sholih, ialah : sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan ter lintas di dalam hati manusia. Dan tak adalah serta makhluk itu Sorga, selain dari sifat-sifat dan nama-nama.

Setengah berpendapat bahwa sebahagian adalah contoh-contoh dan sebahagian lagi bersesuaian dengan hakikat yang sebenarnya yang dipahami dari kata-katanya. Demikian juga, sebahagian mereka berpendapat, bahwa kesudahan mengenal Allah Ta'ala ialah mengakui kelemahan diri dari pada mengenalNya. Sebahagian lagi mendakwakan beberapa hal yang agung, tentang mengenal Allah Ta'ala. Ada lagi yang mengatakan, bahwa batas mengenal Allah Ta'ala itu, ialah apa yang sampai kepada aqidah orang kebanyakan. Yaitu beriman ; bahwa Allah Ta'ala itu ada, maha mengetahui, maha kuasa, mendengar, melihat dan berkata-kata.

Kami maksudkan dengan ilmu mukasyafah itu ialah bahwa terangkat tutup yang menutupi sehingga jelaslah kenyataan kebenaran Allah pada semuanya itu, dengan sejelas-jelasnya, laksana mata memandang, yang tak diragukan lagi.

Hal yang demikian itu mungkin pada diri (jauhar) manusia, sekiranya tidak cermin hatinya telah tebal dengan karat dan kotor de¬ngan kotoran dunia.

Sesungguhnya kami maksudkan dengan ilmu jalan ke akhirat, ialah ilmu mengenai cara menggosok cermin tersebut, dari kotoran- kotoran tadi, yang menjadi dinding (hijab) dari pada Allah Ta'ala, daripada mengenai sifat-sifat dan af'alNya. Membersihkan dan mensucikannya ialah dengan mencegah diri dari menuruti hawa nafsu dan berpegang teguh dalam segala hal, kepada ajaran Nabi-Nabi as.

Maka menurut apa yang cemerlang dari hati dan berbetulan kearah kebenaran, niscaya bergemilanglah hakikatnya. Dan jalan untuk itu, tak lain dari latihan yang akan datang perinciannya nanti pada tempatnya dam dengan ilmu dan mengajarinya.
Inilah ilmu yang tidak dituliskan dalam kitab-kitab dan tidak diperkatakan oleh orang-orang yang telah dianugerahi oleh Allah Ta'ala dengan sesuatu dari ilmu ini, selain bersama ahlinya. Yaitu dengan bersama-sama bertukar-pikiran dan dengan cara rahasia.
Inilah ilmu tersembunyi yang dimaksudkan oleh Nabi saw. dengan sabdanya :

(Iaha minal 'ilmi kahaiatil maknuuni laa ya'lamuhu illaa ahlul ma'rifati billaahi ta'aalaa. Fa-idzaa nathaquu bihii lam yajhalhu illaa ahlul ightiraari billaahi ta'aalaa. Falaa tahqiruu 'aaliman aataa¬hullaahu ta'aalaa 'ilman minhu, fa-innallaaha 'azza wa jalla lam yah- qirhu idz-aataahu iyyaah).
Artinya :"Sesungguhnya sebahagian dari ilmu itu seakan-akan seperti keadaan tertutup yang tidak diketahui, selain oleh ahli yang mengenal(ma'rifat) akan Allah Ta'ala. Apabila mereka mempercakapkannya, maka tidak ada yang tak mengerti. selain dari orang-orang yang telah tertipu, jauh dari Allah Ta'ala. Dari itu janganlah kamu hinakan seorang yang berilmu, yang dianugerahi oleh Allah Ta'ala ilmu tsb. Karena Allah Ta'ala sendiri tidak menghinakannya karena telah menganugerahinya ilmu tadi". (1).

Yang kedua : ilmu mu'amalah, ialah ilmu perihal hati (jiwa). Apa yang terpuji dari padanya, seperti sabar, syukur, takut, harap, rela, zuhud, taqwa, sederhana, pemurah, mengenai nikmat Allah Ta'ala dalam segala keadaan, ihsan, baik sangka, baik budi, bagus pergaulan, benar&ikhlas. Maka mengetahui hakikat hal keadaan ini, batas-batasnya dan sebab-sebabnya yang diusahakan,hasil, tanda dan cara mengobati yang lemah dari padanya, sehingga menjadi kuat dan yang hilang sehingga kembali, adalah termasuk sebahagi¬an dari ilmu akhirat.

Adapun yang tercela yaitu : takut miskin, marah kepada taqdir, menokoh, dengki, busuk hati, menipu, mau tinggi, suka di puji, mencintai lama hidup di dunia untuk bersenang-senang, takabur, riak marah, keras kepala, suka bermusuhan. amarah, loba, kikir, gembira tidak pada tempatnya, angkuh, congkak, bangga dengan kekayaan ditangannya, menghormati orang kaya, menghina orang miskin, gila hormat dan pangkat, suka berlomba secara tidak jujur, menyombong diri menerima kebenaran ; suka campur soal yang tidak penting, suka banyak bicara, memuji diri, menghias-hiasi budi pekerti, berminyak air, ujub, asyik memperkatakan kekurang- an orang melupakan kekurangan diri sendiri, hilang perasaan gun- dah dan takut dari hati, sangat menekan perasaan jiwa apabila tersinggung, lemah hati mencari kebenaran, mengambil teman dha¬hir dari musuh bathin, merasa aman dari kemurkaan Allah Ta'ala, pada menarik apa saja dari pemberianNya, bersandar kepada ta'at, murka, khianat, tokoh-menokoh, panjang angan-angan, kesat dan kasar hati, gembira dengan dunia dan berduka cita atas hilangnya, berjinak hati dengan makhluk dan merasa sepi bercerai dengan me¬reka, kaku, ceroboh, tergopoh-gopoh, kurang malu dan kurang belas kasihan.

Inilah dan yang seumpama dengan ini, dari sifat-sifat hati (jiwa), menjadi sumber perbuatan keji dan tempat tumbuh perbuatan terla-
(1) Dirawikan Abu Abdirrahman As-Salami dari Abu Hurairah, isnad dla'if.

-rang. Lawannya adalah budi pekerti yang terpuji, tempat memancar ta'at dan pendekatan diri kepada Allah Ta'ala.

Maka mengetahui batas-batas hal ini, hakikat, sebab, hasil dan pengobatannya adalah ilmu akhirat dan fardlu 'aiti menurut fatwa ulama-ulama akhirat. Orang yang membuang muka dari ilmu tersebut, adalah binasa dengan kekuasaan Raja-diraja di akhirat, sebagaimana orang yang membuang muka dari segala pekerjaan dhahir, adalah binasa dengan kekuasaan pedang raja-raja dunia, berdasarkan fatwa ahli fiqih dunia.

Maka pandangan ulama fiqih mengenai fardlu 'ain itu, adalah bersandarkan kepada kepentingan dunia, sedang ini, bersandar- kan kepada kepentingan akhirat. Bila ditanyakan kepada seorang ahli fiqih, tentang arti dari arti-arti ini, umpamanya tentang ikhlas atau tentang tawakkal atau tentang menjaga diri dari sifat ria, ma¬ka ia akan tertegun, sedangkan karena fardlu 'ainnya, bila diabai- kan akan mendatangkan kebinasaannya di akhirat. Tetapi coba tanyakan tentang li'an,dhihar,berlomba kuda dan memanah, nisca¬ya akan diletakkannya dihadapanmu berjilid-jilid buku dengan terperinci yang mendalam, yang menelan banyak waktu, pada hal sedikitpun tidak diperlukan. Kalaupun ada yang diperlukan, nisca¬ya tidaklah kosong negeri, dari orang yang menyanggupinya. Dan cukuplah letih dan payah padanya, lalu senantiasa ia berpayah-payah padanya, malam dan siang, pada menghafal dan mempelajari- nya. Dan melupakan dari apa yang penting dalam agama.

Apabila didesak, maka ahli fiqih itu menjawab : "Aku menghabiskan waktu mempelajarinya karena fiqih itu ilmu agama dan fardlu kifayah". Ia mengelabui dirinya dan orang lain pada mempelajarinya.
Orang cerdik itu tahu bahwa kalau adalah maksudnya melaksanakan perintah pada fardlu kifayah, tentu didahulukannya fardlu 'ain. Bahkan juga akan didahulukannya banyak dari fardlu-fardlu kifayah yang Iain dari ilmu fiqih itu.

Berapa banyak negeri yang tidak berdokter, selain dari orang zimmi (orang kafir yang Adilindungi pemerintah Islam). Orang zimmi itu menurut hukum fiqih, tidak dapat diterima menjadi saksi me¬ngenai hal yang menyangkut dengan kedokteran.

Kemudian, tidak seorangpun dari orang Islam, kami lihat bekerja dalam lapangan kedokteran. Mereka berlomba-lomba kepa¬da ilmu fiqih, lebih-lebih masalah khilafiah dan perdebatan. Negeri
penuh dengan ulama fiqih, yang bekerja mengeluarkan fatwa dan memberi penjawaban dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Wahai kiranya, bagaimana ahli-ahli fiqih agama, memurahkan waktunya mengeijakan fardlu kifayah yang telah dikerjakan oleh suatu golong- an. Dan mengabaikan yang tak ada orang bangun mengerjakannya. Adakah ini mempunyai sebab tertentu? Hanya pengetahuan ke-dokteran itu, tidak mudah menjadi pengurus harta wakaf, harta wasiat, pengawas harta anak yatim, menjadi hakim dan pemerintah, terkemuka dari teman sejawat dan berkuasa menghantam lawan.

Benarlah kiranya, telah terinjak-injak ilmu agama dengan tingkah laku ulama jahat. Maka Allah Ta'ala tempat bermohon pertolongan. KepadaNya tempat berlindung, kiranya 'dilindungiNya kita dari penipuan ini, yang membawa kepada amarahNya dan menertawa- kan setan.

Ahli wara' dari ulama dhahir, mengaku kelebihan ulama bathin dan yang mempunyai mata hati. Imam Asy-Syafi'i ra. pernah duduk dihadapan Syaiban Pengembala, seperti duduknya seorang anak kecil di maktab,seraya bertanya: "Bagaimana membuat itu dan itu?"

Maka dikatakan kepada Imam Asy-Syafi'i : "Seperti engkau berta¬nya pada Badui ini?". Maka menjawab Imam Syafi'i : "Sesungguh¬nya ini sesuai dengan apa yang kami lupakan".

Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan Yahya bin Mu'in selalu pergi menjumpai Ma'ruf Al-Karkhi, padahal dalam ilmu dhahir tak adalah orang lain yang setingkat dengan keduanya. Imam Ahmad dan Yahya menanyakan : "Bagaimana?". Sedang Rasulullah saw. pernah bersabda, ketika ditanyakan : "Apa yang kami perbuat, apabila datang kepada kami suatu persoalan, yang kami tidak peroleh dalam Kitab dan Sunnah?".
Maka Nabi saw. menjawab :

(Salush shaalihiina waj-'aluuhu syuuraa bainahum).
Artinya :
"Tanyakunlah kepada orang-orang sholih dan selesaikanlah dengan jalan bermusyawarah dengan mereka". (1)Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas, dipandang lemah oleh kebanyakan ahli hadits.

Karena itulah, dikatakan bahwa ulama dhahir itu adalah hiasan bumi dan kerajaan. Dan ulama bathin adalah hiasan langit dan alam malakut. Berkata Al-Junaid ra. : "Bertanya As-Sirri guruku- kepadaku pada suatu hari : "Apabila engkau berpindah daripadaku, maka dengan siapa engkau bercakap-cakap?". Lalu aku jawab : "Dengan Al-Muhasibi". Maka ia berkata : "Ya, betul! Ambillah dari ilmunya dan adab kesopanannya! Tinggalkanlah dari engkau pemecahannya ilmu kalam dan serahkan itu kepada para ulama ilmu kalam sendiri (ulama mutakallimin)! '. Kemudian tatkala aku berpisah, aku mendengar dia mengatakan : "Kiranya Allah menjadikan engkau seorang ahli hadits yang sufi. Tidak dija dikan-Nya engkau, seorang sufi yang ahli hadits". Diisyaratkan oleh As-Sirri, bahwa orang yang memperoleh hadits dan ilmu, kemudian bertasawwuf, maka akan memperoleh kemenangan. Dan orang yang bertasawwuf sebelum berilmu maka akan membahayakan bagi dirinya.



salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Sun Oct 10, 2010 2:49 am

Kalau anda bertanya : "Mengapa anda tidak membentangkan ilmu kalam dan falsafah dalam bermacam-macam ilmu itu dan anda terangkan bahwa keduanya itu tercela atau terpuji?".

Ketahuilah, bahwa hasil yang dilengkapi padanya ilmu kalam, ialah dalil-dalil yang bermanfa'at. Maka Al-Qur-an dan hadits itu meleng¬kapi padanya. Yang di luar dari Al-Quran dan Sunnah, maka adaka¬lanya pertengkaran yang tercela dan ini termasuk perbuatan bid'ah, yang akan dijelaskan nanti. Dan adakalanya permusuhan yang menyangkut dengan partai-partai yang berlawanan. Dan merentang panjang dengan mengambil kata-kata, yang kebanyakannya batil dan keliru, dipandang buruk oleh pribadi yang baik dan ditolak oleh telinga yang sehat. Dan sebahagiannya lagi campuran pada yang tak ada hubungannya dengan agama. Bahkan tak dikenal pada masa pertama dari agama.

Dan adalah turut campur padanya dengan keseluruhan termasuk bid'ah. Tetapi sekarang, hukumnya telah berubah. Kare¬na telah muncul bid'ah yang menyeleweng dari kehendak Al-Qur-an dan Sunnah. Dan telah tampil suatu golongan yang mencampuradukkan barang yang tak jelas. Lalu mereka menyusun kata-kata yang tersusun, sehingga yang ditakuti itu, memperoleh keizinan karena terpaksa. Bahkan telah menjadi se bagian dari fardlu kifayah.

Yaitu kadar yang dihadapi oleh pembuat bid'ah, apabila bermaksud menyerukan orang kepada bid'ah.Dan yang demikian kepada batas yang tertentu, akan kami sebutkan nanti pada bab yang akan datang, insya Allah Ta'ala.

Adapun falsafah, maka tidaklah ia suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi terdiri dari empat bahagian :
Pertama ilmu ukur dan ilmu berhitung. Keduanya mubah (diboleh- kan) sebagaimana telah diterangkan. Dan tidak dilarang kedua ilmu itu, kecuali orang yang ditakuti akan melampaui kepada ilmu yang tercela. Kebanyakan orang yang bergiat dalam lapangan ilmu yang dua tadi, lalu keluar kepada bid 'ah. Dari itu orang yang lemah, harus dijaga dari kedua ilmu tadi, bukan karena'ain (diri) keduanya, seba¬gaimana dijaga anak kecil dari tepi sungai, karena takut jatuh ke da¬lam sungai. Dan sebagaimana dijaga orang baru masuk Islam,daripada bercampur-baur dengan orang-orang kafir. Karena ditakuti mem- bahayakan kepadanya. Sedang orang yang kuat, tak akan tertarik kepada bercampur dengan mereka.

Kedua ilmu mantiq (ilmu logika), yaitu membahas cara membuat dalil dan syarat-syaratnya, membuat batas dalil dan syaratnya. Dan keduanya itu masuk dalam ilmu kalam.

Ketiga ilmu keTuhanan. Yaitu membahas tentang dzat Allah Ta'ala dan sifatNya. Ini termasuk juga dalam ilmu kalam.

Para filosuf tidak menyendiri mengenai ilmu keTuhanan de¬ngan bentuk suatu ilmu yang lain. Tetapi mereka menyendiri dengan bentuk aliran-aliran (madzhab-madzhab). Sebahagian dari padanya adalah kufur dan sebahagian lagi adalah bid'ah. Sebagai¬mana aliran Mu'tazilahpun tidaklah merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi penganut-penganutnya adalah suatu golongan dari ulama mutakallimin (ulama ilmu kalam). Dan ahli pembahasan dan penyelidikan itu, menyendiri dengan madzhab-madz¬hab yang batil. Maka seperti itu pulalah filosuf-filosuf.

Keempat ilmu alam. Sebahagian daripadanya menyalahi syara' dan agama benar. Itu adalah kebodohan, bukan ilmu pengetahuan, sehingga dimasukkan dalam bahagian-bahagian ilmu.
Sebahagian lagi pembahasan, tentang sifat-sifat jizim (benda yang bertubuh) dan kegunaannya, cara berubah dan bertukar bentuknya.

Dan itu menyerupai dengan pandangan para dokter. Bedanya, dokter itu memperhatikan pada tubuh manusia khususnya, dari segi ia sakit dan sehat. Sedang para ahli ilmu alam itu memperhati¬kan pada seluruh benda yang bertubuh (al-ajsam), dari segi ia beru¬bah dan bergerak.

Tetapi ilmu kedokteran mempunyai kelebihan dari, ilmu alam. Yaitu ilmu alam itu memerlukan kepada ilmu kedokteran. Dan ilmu para ahli ilmu alam itu, tidak diperlukan kepadanya.

Jadi, ilmu kalam itu termasuk dalam jumlah usaha yang wajib secara kifayah, untuk menjaga hati orang awwam, dari peng- khayalan ahli bid'ah. Yang demikian itu terjadi, dengan terjadinya bid'ah, sebagaimana datangnya keperluan manusia menyewa pengawal dalam perjalanan hajji, dengan adanya kedzaliman dan perampokan di jalan yang dilakukan orang Arab. Kalau orang Arab itu telah meninggalkan permusuhan, maka tidaklah menyewa pengawal itu menjadi syarat dalam perjalanan hajji.

Maka karena itulah, kalau tukang bid'ah itu telah meninggalkan perkataan yang sia-sia, maka tak perlu lagi menambah dari apa yang ada pada masa shahabat Nabi ra.

Maka ahli ilmu kalam hendaklah mengetahui akan batasnya dalam agama. Dan kedudukan ilmu kalam dalam agama, seba- gai kedudukan pengawal dalam perjalanan hajji. Apabila penga¬wal itu tidak melakukan pengawalan, niscaya dia tidak termasuk dalam jumlah orang hajji. Dan ahli ilmu kalam apabila tidak mela¬kukan tugasnya untuk berdebat & mempertahankan pendirian, ti¬dak menjalani jalan akhirat dan tidak bekerja mendidik dan mem- perbaiki hati, maka tidaklah sekali-kali dia tergolong dalam jumlah ulama agama. Dan tidaklah pada ahli ilmu kalam itu agama, selain aqidah yang bersekutu padanya, orang kebanyakan yang lain. 'Aqidah itu termasuk dalam golongan amal perbuatan dhahir dari hati dan lisan. Dan bedanya ahli ilmu kalam dari orang awwam, ialah dengan perbuatan berdebat dan penjagaan.

Adapun mengenai Allah Ta'ala, sifat dan af'al-Nya serta seka- lian yang telah kami isyaratkan dalam ilmu mukasyafah, ma¬ka tidaklah diperoleh dari ilmu kalam. Malah hampir adalah ilmu kalam itu menjadi hijab dan penghalang. Dan sesungguhnya, sam- pai kepadanya, ialah dengan mujahadah (bersungguh-sungguh hati) yang dijadikan oleh Allah sebagai mukaddimah bagi petunjuk, de¬ngan firman-Nya :
(Wal ladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa wa innal laaha lama'al muhsiniin).
Artinya :"Mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami, maka akan Kami tunjuki mereka akan jalan Kami dan sesungguhnya Allah beserta orang yang berbuat baik ". (S. Al-Ankabut, ayat 69).

Jika anda berkata, bahwa aku telah berulang kali mengatakan akan batas tugas ahli ilmu kalam, kepada menjaga 'aqidah orang awwam dari gangguan pembuat bid'ah sebagaimana batas tugas pengawal, ialah menjaga pakaian jama'ah hajji dari gangguan orang Arab dan berulang-kali aku mengatakan akan batas tugas ahli fiqih, ialah menjaga undang-undang (qanun), yang dapat mencegah penguasa, kejahatan sebahagian musuh dari sebahagian yang lain.

Ini dua tingkat yang menurun, dengan menyandarkan kepada ilmu agama. Dan ulama ummat yang terkenal dengan keutamaan, adalah mereka, para ulama fiqih dan ulama kalam. Merekalah makhluk yang utama pada sisi Allah Ta'ala. Maka bagaimanakah menurun- nya derajat mereka kepada kedudukan yang rendah itu, dengan menyandarkan kepada ilmu agama?

Maka ketahuilah, bahwa orang yang mengenai kebenaran dengan orang-orang adalah orang yang heran dalam keheranan kesesatan. Dari itu kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan mengenai ahli kebenaran itu, kalau engkau berjalan menuju jalan kebenaran. Jika engkau padakan dengan taqlid dan melihat kepada yang termasyhur dari tingkat-tingkat keutamaan diantara manusia, maka janganlah engkau melupakan para shahabat Nabi saw. dan ketinggian kedudukannya. Telah sepakat mereka, yang telah aku bentangkan, dengan menyebutkan mereka dari para ulama fiqih dan ilmu kalam, atas terkemukanya para shahabat itu. Dan sesung¬guhnya tidak terdapat tujuan pribadi mereka pada agama. Dan tidak dihancurkan debu jejak mereka. Dan tidaklah terkemuka mereka dengan ilmu kalam dan fiqih, akan tetapi dengan ilmu akhirat dan jalan menuju kepadanya. Tidaklah Abu Bakar ra. melebihi manusia lain lantaran banyak puasa, shalat, banyak meriwayatkan hadits, fatwa dan kata-kata. Tetapi kelebihannya adalah karena sesuatu yang mulia di dalam dadanya, sebagaimana diakui oleh Nabi saw. Sendiri(1)
(1) Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Bakar bin Abdullah Al-Maini dan kata Al-lraqi, aku tidak mendapatinya marfu'.

Dari itu hendaklah engkau berusaha mencari rahasia itu! Itulah jauhar yang bemilai dan mutiara yang tersimpan rapi. Tinggalkan- lah akan apa yang bersesuaian engkau dengan kebanyakan manusia terhadap hal itu, terhadap pengagungan dan penghormatannya. Karena sebab-sebab dan penarik-penarik, yang akan panjang perinciannya.

Rasulullah saw. telah berpulang dengan meninggalkan beribu-ribu orang shahabat ra. Semuanya ulama billah. Mereka dipuji oleh Rasulullah saw. Tak ada seorangpun dari mereka yang tahu dengan baik tentang ilmu kalam. Dan tidak menegakkan dirinya menjadi juru fatwa, kecuali beberapa belas orang saja. Diantaranya ialah : Ibnu Umar ra.

Apabila Ibnu Umar ra. dimintakan fatwanya, lalu ia menjawab ke¬pada peminta itu : "Pergilah kepada amir Anu yang bertanggung jawab segala urusan manusia dan letakkanlah dipundaknya". Kata- kata itu menunjukkan bahwa mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan dan hukum-hukum, adalah termasuk mengikuti kekuasaan dan pemerintahan.

Ketika Umar ra. wafat, maka berkata Ibnu Mas'ud : "Telah meninggal sembilan persepuluh (9/10) ilmu".
Lalu orang bertanya kepadanya : "Mengapakah anda berkata demi¬kian, padahal di tengah-tengah kita masih banyak shahabat?" Ibnu Mas'ud menjawab : "Aku tidak maksudkan ilmu fatwa dan hukum. Sesungguhnya aku maksudkan ilmu tentang Allah Ta'ala. Adakah anda berpendapat bahwa maksud Ibnu Mas'ud itu il¬mu kalam dan ilmu berdebat? Kalau begitu mengapa anda tidak berlomba-lomba mempelajari ilmu tadi yang hilang sembilan per¬sepuluh dari padanya, dengan wafatnya Umar ra. ? Dan Umarlah yang menutup pintu ilmu kalam dan pertengkaran dan memukul Shabigh bin 'Isl dengan cemeti, tatkala memajukan suatu pertanya- an kepadanya tentang bertentangan dua ayat dalam Kitabullah (Al-Qur-an) dan membekotinya serta menyuruh orang'banyak membekotinya (tidak bercakap-cakap dengan dia).

Adapun kata anda bahwa yang termasyhur dari ahli ilmu, ialah ahli ilmu fiqih dan ahli ilmu kalam, maka ketahuilah bahwa kelebih¬an yang diperoleh mereka pada sisi Allah itu adalah satu hal. Dan kemasyhuran yang diperolehnya pada manusia itu satu hal yang lain.

Sesungguhnya kemasyhuran Abu Bakar ra. adalah karena dia khafilah. Sedang kelebihan yang diperolehnya adalah karena suatu sirr (rahasia) yang mulia di dalam hatinya.
Kemasyhuran Umar ra. adalah disebabkan siasah (politik). Dan kelebihannya adalah disebabkan ilmu mengenai Allah, yang mati sembilan persepuluh dari padanya, dengan kematiannya. Dan disebabkan mak¬sudnya mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dalam pemerintah- an,keadilan dan kasihsayangnya kepada makhluk Allah.

Dan itu adalah keadaan bathin dalam rahasia dirinya. Adapun segala perbuatan dhahiriahnya yang lain, maka tergambar timbulnya dari mencari kemegahan, nama, ingin terkenal dan gemar pada kemashuran itu. Maka adalah kemasyhuran itu, pada yang membinasakan. Dan kelebihan itu, mengenai hal rahasia yang tidak dilihat oleh seorang manusiapun.
Maka para ahli ilmu fiqih dan ilmu kalam, adalah seperti kha¬lifah, kadli (hakim) dan ulama. Mereka itu terbagi-bagi. Ada diantaranya yang dikehendaki oleh Allah ta'ala dengan ilmunya, fatwanya dan pertahanannya akan Sunnah Nabi. Dan ia tidak men¬cari dengan yang demikian itu, keriaan dan kemasyhuran nama. Merekalah yang memperoleh kerelaan Allah. Dan kelebihan mereka pada sisiNya, karena telah berbuat sepanjang ilmu mereka. Dan karena kehendak mereka akan wajah Allah dengan fatwa dan pan- dangannya.

Tiap-tiap ilmu ada amal perbuatannya. Yaitu perbuatan yang diusahakan. Dan tidaklah tiap-tiap amal perbuatan itu bernama ilmu. Seorang tabib (dokter) sanggup mendekatkan dirinya ke¬pada Allah Ta'ala dengan ilmunya. Maka ia memperoleh pahala atas ilmunya itu dari segi, bahwa ia berbuat karena Allah swt. Sultan (penguasa) menjadi perantaraan antara sesama makhluk Allah. Maka ia memperoleh kerelaan dan pahala daripada Allah swt. Tidak dari segi pertanggung-jawabannya dengan ilmu agama, akan tetapi dari segi ia mengikuti perbuatan, yang maksudnya, mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan ilmunya.

Bahagian-bahagian yang mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, tiga : ilmu semata-mata, yaitu ilmu mukasyafah. Amal semata-matu. yaitu seperti, keadilan bagi seorang raja dan perhati- annya akan kepentingan rakyat. Dan yang tersusun dari amal dan ilmu. Yaitu : ilmu jalan ke akhirat. Yang empunya ilmu tersebut , adalah sebagian dari ulama dan orang-orang yang beramal. Maka perhatikanlah kepada dirimu sendiri! Adakah engkau pada hari qiamat nanti, dalam golongan ulama Allah atau yang beramal pada jalan Allah atau dalam golongan kedua-duanya? Maka jadikanlah
bahagianmu bersama kedua golongan itu! Maka inilah yang lebih penting kepadamu daripada turut-turutan, untuk semata-mata kemasyhuran, seperti kata orang :
"Ambillah apa yang engkau lihat,
Tinggalkanlah sesuatu yang didengar.
Untuk mengetahui matahari terbit, engkau memerlukan bintang Zuhal".
Akan kami nukilkan dari riwayat hidup ulama-ulama fiqih terdahulu, di mana anda akan mengetahui nanti, bahwa orang-orang yang menganut madzhab mereka, telah berbuat dhalim terhadap mereka. Dan menjadi musuh terbesar dari ulama-ulama itu pada hari qiamat.

Para ulama yang terdahulu itu tak bermaksud dengan ilmunya, selain wajah Allah Ta'ala. Dari hal ikhwal mereka, dapat dipersaksikan, apa yang menjadi tanda-tanda ulama akhirat, seba¬gaimana akan diterangkan nanti pada Bab Tanda-tanda Ulama Akhirat. Mereka tidaklah semata-mata untuk ilmu fiqih, tetapi mereka berbuat dan memperhatikan akan ilmu yang berhubungan dengan hati. Bahkan mereka telah dipalingkan dari mengajar dan mengarang, oleh apa yang telah memalingkan para shahabat dahu- lu, dari mengarang dan mengajari fiqih. Padahal mereka itu adalah ulama fiqih yang berdiri sendiri dengan ilmu fatwa, Yang mema¬lingkan dan yang mengajak itu diyakini dan tak ada perlunya dise - butkan di sini.

Sekarang akan kami sebutkan kata-kata ulama fiqih Islam, di mana akan anda ketahui bahwa apa yang kami sebutkan itu, tidaklah mengecam mereka. Tetapi, adalah kecaman kepada orang- orang yang menyatakan dirinya mengikuti dan menganut madzhab mereka. Karena orang itu, menyalahi dalam perbuatan dan perja¬lanan dengan para ulama fiqih itu.

Adapun ulama fiqih yang menjadi pemimpin ilmu fiqih dan pahlawan ummat, yakni mereka yang banyak pengikutnya pada madzhab-madzhab itu, adalah lima, yaitu : Asy-Syafi'i, Malik, Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsuri Rahmat Allah kiranya kepada mereka sekalian. Masing-masing mereka ada¬lah 'abid (kuat beribadah), zahid (tidak terpengaruh oleh dunia), 'alim dengan semua ilmu akhirat, paham akan kepentingan ummat di dunia dan menghendaki dengan fiqihnya itu, akan wajah Allah Ta 'ala.

Ini lima perkara, di mana yang diikuti oleh ulama fiqih seka- rang dari keseluruhannya, hanya satu perkara saja. Yaitu : memberi tenaga dan bersangatan membuat fiqih itu bercabang-ca- bang. Karena yang empat perkara itu, tidaklah layak melainkan untuk akhirat. Dan yang satu perkara itu adalah untuk dunia dan akhirat. Jikalau dimaksudkan dengan dia itu akhirat, maka sedikit- lah kepentingannya untuk dunia.

Ulama-ulama fiqih itu memberi tenaga dan mendakwakan dirinya serupa dengan imam-imam besar itu. Alangkah janggalnya, mem- bandingkan malaikat dengan tukang-tukang besi'..
Marilah sekarang kami bentangkan hal-ikhwal mereka, yang menun- jukkan kepada empat perkara tadi. Karena pengetahuan mereka tentang fiiqh itu, terang.

Adapun Imam Asy-Syafi'i ra., maka yang menunjukkan ia seorang 'abid adalah riwayat yang menerangkan bahwa ia membagi malam, tiga bahagian : sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk ibadah dan sepertiga lagi untuk tidur.

Berkata Ar-Rabi' : "Adalah Imam Asy-Syafi'i ra. mengkhatamkan (menamatkan bacaan) Al-Qur-an dalam bulan Ramadlan, enam puluh kali. Semuanya itu dalam shalat.
Al-Buaithi salah seorang shahabatnya, mengkhatamkan Al-Qur-an dalam bulan Ramadlan, tiap-tiap hari sekali.

Berkata AI-Hasan Al-Karabisi : "Aku bermalam bersama Imam Asy-Syafi'i bukan satu malam. Dia melakukan shalat hampir sepertiga malam. Tidak aku lihat dia melebihkan dari lima puluh ayat. Apabila dia perbanyak maka sampai seratus ayat. Apabila ia membaca ayat rahmat lalu berdo'a kepada Allah Ta'ala untuk diri¬nya sendiri dan untuk sekalian kaum muslimin dan mu'minin. Dan apabila ia membaca ayat 'azab, lalu memohonkan perlindung- an dan kelepasan daripadanya untuk dirinya dan untuk orang mu'¬min. Seakan-akan ia mengumpulkan harap dan bersama dengan ta¬kut.
Lihatlah, betapa dibuktikan oleh kependekan bacaannya atas 50 ayat, kepada melaut dan mendalam pemahamannya akan rahasia yang terkandung di dalam Al-Qur-an.

Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata : "Aku tidak pernah kenyang selama 16 tahun. Karena kekenyangan itu memberatkan tubuh, mengesatkan hati, menghilangkan cerdik, menarikkan tidur dan melemahkan orang yang kenyang itu dari beribadah".

Maka lihatlah kepada hikmahnya pada menyebutkan bahaya-bahaya kekenyangan! Kemudian mengenai kesungguhannya beribadah, karena ia meninggalkan kekenyangan itu karena ibadah. Dan pundak beribadah itu, ialah menyedikitkan makan.

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. lagi : "Tidak pernah aku bersumpah dengan nama Allah, baik dalam hal yang benar apalagi bohong".

Lihatlah betapa hormat dan tunduknya kepada Allah Ta'ala dan dibuktikan oleh demikian atas pengetahuannya dengan kebesaran Allah swt.!.

Ditanyakan Imam Asy-Syafi'i ra. tentang suatu masalah, maka ia diam. Ketika ditanyakan lagi". Mengapa tuan tidak menjawab? Kiranya Allah merahmati tuan". Maka beliau menjawab : "Aku berpikir, sehingga aku mengetahui, mana yang lebih baik, pada diamku atau jawabku". Lihatlah, betapa diawasinya lidahnya, sedang lidah itu adalah anggota badan yang paling berkuasa bagi ulama fiqih dan paling payah mengekang dan menundukkannya. Dengan itu, jelaslah bahwa ia tidak berkata atau diam kecuali untuk memperoleh keutamaan dan pahala.

Berkata Ahmad bin Yahya bin A1 Wazir: "Pada suatu hari keluarlah Imam Asy-Syafi'i ra. pergi ke pasar lampu, lalu kami ikuti dia dari belakang. Tiba-tiba ada orang yang membodohkan seorang ahli ilmu. Maka Imam Asy-Syafi'i menoleh kepada kami seraya berkata : "Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengar kata-kata keji seperti kamu membersihkan lidahmu dari mengucapkannya. Sesungguhnya si pendengar adalah sekutu dari yang berkata. Orang yang lemah pikiran, melihat kepada barang yang sangat buruk di dalam wadahnya. Maka ia berusaha menuangkannya ke dalam wadahmu. Kalau ditolak perkataan orang yang lemah pikir¬an itu, maka akan berbahagialah yang menolaknya, sebagaimana akan celakalah yang mengatakannya".

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra.: "Seorang filosuf menulis surat kepa¬da seorang filosuf. Diantara isinya yaitu : "Engkau telah mendapat ilmu, maka janganlah engkau kotorkan ilmumu itu dengan kegelapan dosa. Nanti engkau akan tinggal dalam kegelapan, pada hari, di mana ahli ilmu bekerja dengan nur ilmunya".

Adapun zuhudnya maka berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Barangsiapa mendakwakan bahwa ia mengum pulkan antara cinta kepada dunia dan cinta kepada pencipta dunia dalam hati nuraninya, maka dia itu bohong".

Berkata Al-Humaidi : "Imam Asy-Syafi'i ra. pergi ke Yaman bersama beberapa orang pembesar negeri. Lalu ia berangkat ke Makkah dengan membawa uang sepuluh ribu dirham. Di luar kota Makkah dibangunnya suatu tempat tinggal. Maka berdatanganlah manusia berkunjung kepadanya. Dia terus menetap di tempat itu sampai uang itu habis dibagibagikannya".

Pada suatu kali, Imam Asy-Syafi'i ra. keluar dari kamar mandi umum, lalu diberikannya uang yang banyak kepada penjaga kamar mandi itu. Pada suatu kali tongkatnya jatuh dari tangannya, lalu tongkat itu diserahkan orang kepadanya. Maka untuk berteri- ma kasih kepada orang itu, lalu Imam Asy-Syafi'i ra. memberikan uang 50 dinar.

Kemurahan hati Imam Asy-Syafi'i ra. adalah lebih terkenal dari apa yang diceriterakan. Pangkal zuhud ialah kemurahan hati. Karena orang yang mencintai sesuatu benda, akan memegangnya erat-erat. Tidak ingin berpisah daripadanya. Maka tidak mau berpisah dari harta, selain orang yang telah kecillah dunia pada pandangannya. Dan itulah arti zuhud.

Betapa kuat zuhudnya dan sangat takutnya kepada Allah Ta'ala serta kesungguhan kemauannya dengan akhirat, adalah dibuk- tikan oleh apa yang diriwayatkan bahwa sesungguhnya Sufyan bin 'Uyaynah meriwayatkan suatu hadits tentang sifat yang halus- halus, lalu pingsanlah Asy-Syafi'i ra. Maka orang mengatakan kepa¬danya : Imam Asy-Syafi'i telah wafat. Lalu Sufyan menjawab : "Jika benarlah ia telah wafat maka telah wafatlah orang yang pa¬ling utama bagi zamannya". Dan apa yang diriwayatkan Abdullah bin Muhammad Al-Balawi dengan katanya : "Adalah aku & Umar hin Nabatah duduk memperkatakan tentang orang 'abid dan orang zahid. Maka berkata Umar kepadaku : "Belum pernah aku melihat orang yang lebih wara' dan lancar berbicara dari Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i ra. Aku, Imam Asy-Syafi'i dan Al-Harits bin Lu- baid pergi ke bukit Shafa. Al-Harits adalah murid Ash*ShaIih Al-Marri. Ia memulai membaca Al-Qur-an. Adalah dia mempunyai suara merdu, lalu membaca ayat ini :

(Haadzaa yaumu laa yanthiquun. Wa laa yu'-dzanu lahum faya'ta- dziruun).
Artinya :"Inilah hari yang dikala itu mereka tiada dapat berbicara.Dan kepa¬da mereka tiada diberikan keizinan, sehingga mereka dapat mema- jukan keberatan (pembelaan)". (S. Al-Mursalat, ayat 35 - 36).

Maka aku lihat Imam Asy-Syafi'i ra. berubah warna mukanya, berkerut kulit keningnya, badannya gemetar lalu jatuh tersungkur. Ketika ia sadar kembali, maka ia berkata : "Aku berlindung dengan Engkau ya Allah dari tempat berdirinya orang-orang dusta dan penyelewengan orang-orang lengah. Ya Allah, kepadaMu jua tunduk hati orang-orang 'arifin (orang yang mengenai Allah) dan membungkuk merendahkan diri orang-orang yang rindu kepada Engkau'. Tuhanku! Anugerahilah kepadaku limpah karuniaMul Muliakanlah aku dengan KndunganMu! Ma'afkanlah keteledoran- ku dengan kemurahanMu!".

Abdullah bin Muhammad Al-Balawi menerangkan : "Kemudian ia pergi dan kamipun pergi. Tatkala aku masuk Bagdad dan Asy- Syafi'i ra. masih di Irak. Maka aku duduk di tepi sungai, mengam- bil wudlu untuk bershalat. Tiba-tiba lewat disampingku seorang laki-laki, seraya berkata kepadaku : "Ya, saudara! Berwudlulah de¬ngan baik, niscaya Allah memberikan kebaikan kepadamu di dunia dan di akhirat". Lalu aku menoleh, maka tiba-tiba aku dengan orang yang diikuti oleh orang ramai. Maka bergegas-gegaslah aku berwudlu dan mengikutinya dari belakang. Maka ia memandang kepadaku seraya bertanya : "Adakah bagimu keperluan ?".
"Ada!", jawabku. "Ajarilah aku sedikit dari pengetahuan yang dianugerahi Allah kepadamu!".

Maka ia menjawab : "Ketahuilah! Orang yang membenarkan Allah, niscaya terlepas dari bahaya. Orang yang sayang kepada agamaNya, niscaya selamat dari kehinaan. Orang yang zuhud pada dunia, niscaya tetaplah dua matanya memandang pahala dari pada Allah Ta'ala pada hari esok. Apakah aku tambahkan lagi ?".
"Ya!", jawabku.
Lalu ia menyambung : "Orang yang ada padanya tiga perkara, maka sempurnalah imannya : orang yang menegakkan amar ma'ruf terhadap orang lain dan terhadap dirinya, orang yang men-
jalankan nahi mungkar terhadap orang Iain dan terhadap dirinya dan orang yang menjaga batas-batas yang ditentukan Allah Ta'ala. Apakah aku tambahkan lagi?". "Ya!", jawabku.
Maka ia menyambung : "Hendaklah kamu zuhud di dunia dan gemar ke akhirat. Dan benarkanlah akan Allah Ta'ala dalam segala pekeijaanmu, niscaya engkau terlepas serta orang-orang, yang terlepas dari segala marabahaya". Kemudian ia pergi lalu aku tanyakan, siapakah orang itu ? Maka menjawab orang banyak : "Itulah Imam Asy-Syafi'i".
Lihatlah Imam Asy-Syafi'i ra. jatuh tersungkur, kemudian perhati- kanlah kepada pengajarannya, betapa membuktikan yang demikian itu, kepada kezuhudan dan sangat ketakutannya kepada Allah Ta'a¬la. Ketakutan dan kezuhudan ini tidak datang selain karena menge¬nai Allah 'Azza wa Jalla.
Allah berfirman :

(Innamaa yakhsyallaaha min 'ibaadihil 'ulamaa-u)
(S. Fathir, ayat 28).Artinya :"Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hambaNya ialah ulama ". (S. Fathir, ayat 28).

Maka Imam Asy-Syafi'i ra. tidaklah memperoleh ketakutan dan kezuhudan itu, dari ilmu kitab berjual-beli dan sewa-menyewa dan lain-lain kitab fiqih. Tetapi diperolehnya dari ilmu akhirat yang bersumber dari Al-Qur-an dan Hadits. Karena hukum dari orang- orang terdahulu dan yang kemudian, tersimpan pada keduanya.
Adapun tentang ke'alimannya, mengetahui segala rahasia hati dan ilmu-ilmu akhirat, maka anda dapat mengetahuinya dari kata-kata hikmah yang berasal daripadanya.
Menurut riwayat, pernah orang bertanya kepada Imam Asy- Syafi'i ra. tentang ria, maka ia menjawab dengan tegas : "Ria adalah suatu fitnah yang diikatkan oleh hawa nafsu untuk mendindingi penglihatan mata hati ulama-ulama. Lalu mereka melihat kepada ria itu, dengan jahatnya pilihan jiwa. Maka binasalah segala amalannya".
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Apabila engkau takuti timbul 'ujub pada amalanmu, maka pandanglah kepada rela Tuhan yang engkau cari, pada pahala yang engkau gemari, pada siksa manapun yang engkau takuti, pada sehat yang engkau syukuri dan pada bala yang engkau ingati. Apabila engkau renungkan salah satu dari perkara-perkara tadi maka kecillah rasanya pada matamu amalanmu itu".
Lihatlah bagaimana Imam Asy-Syafi'i ra. menerangkan hakikat ria dan cara mengobati 'ujub. Keduanya itu adalah bahaya besar bagi hati.

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : ''Barangsiapa tiada menjaga dirinya maka tak bergunalah ilmunya".
Katanya lagi : "Barangsiapa ta'at kepada Allah Ta'ala dengan ilmu, maka bermanfa'atlah bathinnya". Katanya lagi: "Tiada seorangpun melainkan mempunyai yang dikasihi dan yang dimarahi. Apabila ada seperti demikian, maka hendaklah engkau bersama golongan orang yang ta'at kepada Allah Ta'ala".

Diceriterakan bahwa Abdul Kadir bin Abdul Aziz adalah seorang salih yang wara'. Dan ia bertanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. tentang masalah wara' itu. Dan Imam Asy-Syafi'i amat suka me- nerima kedatangannya karena wara'nya. Maka pada suatu hari bertanyalah ia kepada Imam Asy-Syafi'i ra. "Manakah yang lebih utama : sabar atau diuji atau diberi keteguhan hati?".

Maka menjawab Imam Asy-Syafi'i ra. : "Diberi keteguhan hati adalah derajat Nabi-Nabi. Dan tak ada keteguhan hati itu sela¬in sesudah diuji. Apabila diuji maka bersabar. Apabila sudah bersa- bar maka teguhlah hati. Tidaklah engkau lihat, bahwa Allah Ta'ala menguji Nabi Ibrahim as., kemudian la memberikannya ketetapan hati? Ia menguji Nabi Musa as., kemudian Ia memberikannya kete¬tapan hati. Ia menguji Nabi Ayub as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati. Dan ia menguji Nabi Sulkaiman as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati dan menganugerahinya kerajaan. Maka ketetapan hati itu adalah derajat yang paling utama?
Berfirman Allah Ta'ala :

(Wa kadzaalika makkannaa li-yuusufa fil ardli).
Artinya:"Dan begitulah Kami teguhkan kedudukan Yusufdimuka bumi".
(S. Yusuf, ayat 21).
Nabi Ayub as. sesudah menghadapi ujian besar, barulah diberi keteguhan hati.
Berfirman Allah Ta'ala : '

(Wa aatainaahu ahlahuu wa mitslahum ma'ahum.).
Artinya :"Kami berikan kepadanyapengikut-pengikutnya dan tambahannya lagi sebanyak itu pula". (S. Al-Ambiya', ayat 84).

Kata-kata tersebut dari Imam Asy-Syafi'i ra. menunjukkan betapa melaut pahamnya akan rahasia yang terkandung dalam Al-Qur-an dan penglihatannya tentang kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allah Ta'ala, baik Nabi-Nabi atau Wali-Wali. Semuanya itu adalah dari ilmu akhirat.

Ditanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. : "Bilakah seorang itu dipandang 'alim?".
Ia menjawab : "Apabila ia yakin pada sesuatu ilmu lalu diajarinya ilmu itu. Kemudian ia menempuh ilmu-ilmu yang lain, maka dilihat- nya, mana yang belum diperolehnya. Ketika itu, barulah dia seo¬rang 'alim".
Pernah ditanyakan orang kepada Jalinus : "Sesungguhnya tuan menyuruh buat bermacam-macam obat untuk satu penyakit".
Menjawab Jalinus : "Yang dimaksudkan dari obat-obat itu adalah satu. Dan dimasukkan yang lain ke dalamnya, adalah supaya tetap ketajamannya, karena kalau masing-masing sendiriannya itu membu nuh".

Contoh tadi dan lain-lainnya yang tidak terkira banyaknya, menun¬jukkan ketinggian derajat Imam Asy-Syafi'i tentang mengenai Allah Ta'ala dan ilmu akhirat.

Adapun maksudnya dengan ilmu fiqih dan perdebatan di dalamnya, adalah semata-mata wajah Allah Ta'ala. Dalil untuk itu adalah riwa- yat yang menerangkan bahwa Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata:

"Aku ingin manusia mengambil manfa'at dari ilmu ini dan ilmu-ilmu Iain yang ada padaku, meskipun sedikit".
Maka lihatlah betapa Imam Asy-Syafi'i ra. memperhatikan kepada bahaya ilmu dan mencari nama baginya. Dan bagaimana ia membersihkan hati dari pada berpaling kepadanya, yang semata-mata niatnya adalah karena wajah Allah Ta'ala. Asy-Syafi'i ra, berkata : "Tidaklah sekali-kali aku bertukar pikiran dengan seseorang, dengan tujuan bahwa aku lebih suka ia salah". Katanya lagi : "Tidaklah sekali-kali aku berkata dengan seseorang, selain aku menyukai supaya dia mendapat taufiq dan kebenaran, pertolongan dan pimpinan daripada Allah Ta'ala serta pemeliharaan. Dan tidak¬lah sekali-kali aku berbicara dengan seseorang, selain perhatian ku supaya kebenaran diterangkan Allah dengan lidahku atau lidahnya"

Berkata lagi Imam Asy-Syafi'i ra. : "Tidaklah aku kemukakan kebenaran dan keterangan kepada seseorang, lalu diterimanya daripadaku, melainkan aku takut kepadanya dan aku percaya akan kasih sayangnya. Sebaliknya, kalau orang menyombong diri dengan aku terhadap kebenaran dan menolak keterangan maka jatuhlah orang itu dari pandanganku dan aku menolak berhadapan dengan dia".

Inilah tanda-tanda, yang menunjukkan atas kehendak Allah Ta'ala dengan ilmu fiqih dan perdebatan (munadlarah) itu. Maka lihatlah betapa Imam Asy-Syafi'i ra. dituruti orang dari jumlah perkara yang lima itu, kepada satu perkara saja. Kemudian, bagaimana pula orang-orang itu menyalahinya dalam satu perkara tadi. Dan karena inilah berkata Abu Tsaur ra. :
"Tak pernah aku dan orang- orang lain melihat seperti Imam Asy-Syafi'i ra.". Berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra. : "Tak perah aku melakukan shalat selama empat puluh tahun, yang tidak aku berdo'a kepada Imam Asy-Sya¬fi'i ra.".

Lihatlah betapa adanya keinsyafan dari orang yang mendo'a dan betapa pula derajat orang yang dido'akan. Cobalah bandingkan dengan Imam Asy-Syafi'i ra. akan teman-teman dan tokoh-tokoh ulama pada masa ini. Dan apa yang terjadi dikalangan mereka yang merupakan pendendaman dan permusuhan. Supaya engkau tahu keteledoran mereka mengakui mengikuti ulama-ulama besar itu.

Karena banyaknya do'a Imam Ahmad bin Hanbal kepada Imam Asy-Syafi'i ra. lalu bertanyalah anaknya : "Orang mana Asy-Syafi'i itu sampai ayah mendo'a semua do'a ini?".

Maka menjawab Ahmad bin Hanbal : "Hai anakku! Imam Asy-Sya¬fi'i itu adalah seumpama matahari bagi dunia dan kesehatan bagi manusia".

Lihatlah, adakah bagi dua perumpamaan tadi, orang yang dapat menggantikannya?
Imam Ahmad pernah berkata : "Tiada seorangpun menyentuh bo- tol tinta dengan tangannya, melainkan ada jasa Imam Asy-Syafi'i padanya".

Berkata Yahya bin Sa'id Al-Qattan "Tidak pernah aku bershalat selama empat puluh tahun, yang tidak aku berdo'a di dalamnya kepada Imam Asy-Syafi'i.-Karena Allah 'Azza wa Jalla telah membuka ilmu baginya dan memberinya taufiq kepada jalan yang benar".

Kiranya kita cukupkan sekian mengenai hal-ikhwal Imam Asy- Syafi'i itu, karena banyaknya tidak terhingga. Sebahagian besar dr. perjalanan hidup Imam Asy-Syafi'i ini, kami salin dari kitab biogra- finya, karangan Syekh Nasar bin Ibrahim Al-Muqaddasi ra. Kiranya Allah merelai Imam Asy-Syafi'i dan seluruh kaUm muslim!.
Adapun Imam Malik ra. maka beliaupun berpakaian dengan yang lima perkara itu. Pernah orang bertanya kepadanya tentang menuntut ilmu :
"Apakah yang hendak tuan katakan tentang me¬nuntut ilmu?". Lalu menjawab Imam Malik ra. : "Bagus, baik! Tetapi perhatikanlah apa yang harus engkau kerjakan dari pagl sam¬pai petang, maka perlukanlah pekerjaan itu!".

Imam Malik ra. sangat memuliakan ilmu agama. Sehingga apabila ia bermaksud meriwayatkan hadits, maka lebih dahulu ia mengambil wudlu' dan duduk dihadapan tempat duduknya dan menyisirkan janggutnya, memakai bau-bauan serta duduk dengan tenang dan bersikap. Maka barulah beliau meriwayatkan hadits itu".
Karena caranya yang demikian, maka orang bertanya kepadanya, lalu ia menjawab : "Aku suka membesarkan hadits Rasulullah saw."

Berkata Imam Malik ra. : "Ilmu itu nur, yang diberikan oleh Allah menurut kehendakNya. Dan tidaklah ilmu itu dengan banyak cerita"

Kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Imam Malik itu, menun- jukkan kepada ketinggian mutu pengetahuannya tentang kebesaran Allah Ta'ala,

Tentang tujuan Imam Malik ra. dengan ilmunya itu akan wajah Allah Ta'ala, dibuktikan oleh ucapannya : "Bertengkar dalam agama, tiada gunanya sama sekali". Dan dibuktikan lagi dengan ucapan Imam Asy-Syafi'i ra. : "Saya melihat Imam Malik ra . ketika dimajukan kepadanya empat puluh delapan masalah, maka ia menjawab mengenai tiga puluh dua dari masalah -masalah itu .- "Saya tidak tahu".

Orang yang bertujuan dengan ilmunya bukan wajah Allah Ta'ala, tentu tidak bersedia mengaku tidak tahu. Dari itu, berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Apabila disebut nama ulama, maka Malik adalah bintangnya yang cemerlang. Dan tidak ada seorangpun yang lebih banyak jasanya kepadaku, dari Imam Malik".

Menurut riwayat, Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur melarang Imam Malik daripada meriwayatkan hadits mengenai talak dari orang yang dipaksakan. Kemudian Abu Ja'far mengancam orang yang menanyakan itu pada Imam Malik. Lalu Imam Malik menyam- but ancaman tadi dengan meriwayatkan di muka umum hadits Na¬bi saw. yang menerangkan bahwa tidak jatuh talak orang yang di¬paksakan.

Maka khalifah menyuruh pukul Imam Malik dengan cemeti. Tetapi beliau terus meriwayatkan hadits itu.
Imam Malik ra. berkata : "Tiadalah seseorang yang benar dalam pembicaraannya dan tidak membohong, melainkan akal pikirannya mendapat hiasan dan tidak akan kena bencana dan pi kiran-pikiran khurafat pada hari tuanya".

Tentang zuhudnya Imam Malik menghadapi dunia, dibuktikan oleh riwayat bahwa khalifah Al-Mahdi bertanya kepada Imam Malik: "Adakah tuan mempunyai rumah?".

"Tidak ada", jawab Imam Malik. "Tetapi dapat aku terangkan bah¬wa pernah mendengar Rabi'ah bin Abi Abdir Rahman berkata : "Bangsa seseorang ditunjukkan oleh rumahnya".
Khalifah Harunur Rasyid bertanya kepada Imam Malik : "Adakah tuan mempunyai rumah?".
"Tidak ada!", jawabnya.
"Lalu Harunur Rasyid menganugerahkan uang tiga ribu dinar kepada Imam Malik, seraya mengatakan : "Belilah rumah dengan uang ini!".

Imam Malik mengambil uang itu, tetapi tidak dibelinya rumah.
Ketika Harunur Rasyid ingin bertambah terkenal, lalu menga¬takan kepada Imam Malik ra. "Seyogialah tuan pergi bersa¬ma kami. Aku bercita-cita membawa perhatian manusia kepada kitab "Al-Muaththa' " (nama kitab yang dikarang Imam Malik), sebagaimana khalifah Utsman ra. membawa perhatian manusia ke¬pada Al-Qur-an.
Menjawab Imam Malik : "Adapun membawa manusia kepa¬da Kitab Al-Muaththa', maka tiada jalan kepadanya. Karena para shahabat Rasulullah saw. sudah bersebar kesegenap negeri sesudah wafatnya. Lalu mereka memperkatakan hadits. Maka pada tiap-tiap penduduk negeri ada ilmunya. Nabi saw. pernah mengatakan :

(Ikhtilaafu ummatii rahmah). Artinya :
"Perbedaan pendapat ummatku itu adalah suatu rahmat". (1)
Adapun keluar bersama tuan, maka tiada jalan kepadanya. Nabi saw. pernah bersabda :

(Al-madiinatu khairun lahum Iau kaanuu yalamuun).
Artinya :"Madinah ini lebih baik bagi mereka kalau mereka mengetahuinya '.'(2)
Dan lagi Nabi saw. bersabda :
(Al-madiinatu tanfii khabatsahaa kamaa yanfil kiiru khabatsal ha- diid).
Artinya :"Madinah itu menghilangkan kotorannya seperti penempaan meng hilangkan kotoran besi". (3)
1.Hadits ini dirawikan At-Baihaqi dari Ibnu Abbas dan isnadnya dla'if.
2.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Sufyan bin Abi Zuhair.
3.Dirawikan Al-Bukharl dan Muslim dari Abi Hurairah
.

Inilah dinarmu, seperti adanya! Kalau kamu mau, maka ambilkanlah! Dan kalau kamu tak mau, maka tinggalkanlah! Yakni sekira- nya engkau memaksakan aku supaya berpisah dengan kota Madi- nah, maka tidak dapat engkau berbuat demikian kepadaku. Aku tidak dapat memilih dunia dari Madinah Rasulullah saw.".

Begitulah zuhudnya Imam Malik ra. pada dunia! Sewaktu dibawa kepadanya harta yang banyak dari beberapa sudut dunia untuk perkembangan ilmunya dan teman-temannya, maka dibagi- bagikannya uang itu pada jalan kebajikan. Kemurahan hatinya menunjukkan kepada zuhudnya dan sedikit cintanya kepada dunia. Zuhud sebetulnya bukan ketiadaan harta, tetapi zuhud ialah ko- songnya hati dari harta itu. Nabi Sulaiman pun salah seorang yang zuhud dalam pemerintahannya.

Dibuktikan betapa hina pandangan Imam Malik kepada dunia, oleh suatu riwayat dari Imam Asy-Syafi'i, bahwa Imam Asy- Syafi'i menerangkan : "Aku melihat pada pintu tempat tinggal Imam Malik seekor kuda Khurasan, namanya "Misr". Aku belum pernah melihat kuda secantik itu. Lalu aku mengatakan kepada¬nya : "Alangkah cantiknya kuda ini!".
Maka beliau menjawab : "Kuda ini hadiahku kepadamu, hai ayah
Abdullah!".
Maka aku menjawab : "Biarlah kuda ini untuk tuan hamba, menja¬di kuda tunggangan tuan hamba sendiri".
Menyambung Imam Malik : "Aku malu kepada Allah Ta'ala memi- jakkan tanah dengan kuku kuda, di mana di dalamnya dikuburkan Nabi Allah saw.".
Lihatlah betapa kemurahan hati Imam Malik dengan menyerahkan semuanya itu sekaligus dan betapa penghormatannya kepada tanah Madinah!.
Dibuktikan kepada kehendaknya dengan ilmu itu, akan wajah Allah Ta'ala dan tentang hina pandangannya kepada dunia, oleh riwayat yang menerangkan bahwa Imam Malik pernah berka¬ta : "Aku pernah datang ke tempat Harunur Rasyid. Lalu berkata¬lah Harunur Rasyid kepadaku : "Wahai Ayah Abdullah! Sayogialah tuan selalu datang kepada kami, sehingga anak-anak kita mende- ngar kitab Al-Muaththa' langsung dari tuan sendiri". Imam Malik berkata : "Lalu jawabku : "Kiranya Allah menambahkan kemuliaan Amir penghulu kami. Sesungguhnya ilmu itu adalah seumpama uang keluar dari padamu. Jikalau engkau muliakan, maka mulialah dia dan jika engkau hinakan maka hinalah dia. Ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi (Al-'ilmu yu'ta walaa ya'ti)".
Maka menyambung Harunur Rasyid : "Benar tuan! Keluarlah ke masjid supaya tuan mendengar bersama manusia ramai!".

Adapun Imam Abu Hanifah ra. juga seorang 'abid, zahid, 'arif billah, amat takut kepadaNya dan menghendaki wajah Allah dengan ilmu¬nya.

Adapun dia itu 'abid, maka dapat diketahui dengan riwayat dari Ibnul Mubarak yang mengatakan : "Imam Abu Hanifah ra. adalah seorang yang berperikemanusiaan dan banyak mengerjakan shalat". Menurut ceritera Hamrnad bin Abi Sulaiman, adalah Imam Abu Hanifah menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah. Menurut riwayat yang lain, ia menghidupkan setengah malam de¬ngan ibadah.
Pada suatu hari, Imam Abu Hanifah lalu di jalan besar. Lalu orang menunjukkan kepadanya dan ia sedang berjalan kaki, dengan me¬ngatakan kepada orang lain : "Itulah dia, orang yang menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah".
Maka senantiasalah sesudah itu, ia menghidupkan seluruh malam¬nya dengan ibadah dan mengatakan : "Aku malu kepada Allah swt. disebutkan tentang ibadahku yang tidak sebenarnya".

Mengenai zuhudnya, diriwayatkan dari Ar-Rabi' bin 'Ashim, yang mengatakan : "Aku diutus oleh Yazid bin Umar bin Hubairah. Maka aku datang menjumpai Abu Hanifah. Yazid mau mengangkat Abu Hanifah menjadi pengurus "baitalmal". Dan ia menolak

Lihatlah bagaimana ia lari dari pangkat dan bersedia menanggung 'azab sengsara.
Berkata Al-Hakam bin Hisyam At-Tsaqafi "Orang menceriterakan kepadaku di negeri Syam, suatu ceritera tentang Abu Hanifah, bahwa beliau adalah seorang manusia pemegang amanah yang terbesar. Sultan mau mengangkatnya menjadi pemegang kun ci gudang kekayaan negara atau memukulnya kalau menolak.

Maka Abu Hanifah memilih siksaan mereka daripada siksaan Allah Ta'ala".
Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah disebutkan namanya pada Ibnul Mubarak, lalu Ibnul mubarak menjawab : "Adakah kamu sebutkan seorang laki-laki, yang diberikan kepadanya dunia dengan segala kemewahannya, lalu ia lari daripada kemewahan itu?".

Diriwayatkan dari Muhammad bin Syujja', berasal dari setengah shahabat Abu Hanifah, bahwa ada orang mengatakan kepada Abu Hanifah : "Amirul-mu'minin Abu Ja'far Al-Manshur memerintah- kan untuk dianugerahkan kepada tuan, uangsebanyak sepuluh ribu dirham".
Muhammad bin Syujja' mengatakan, bahwa Abu Hanifah tidak bersedia menerima pemberian tersebut. Muhammad bin Syujja' mengatakan : "Ketika sampai pada hari yang diduga uang itu akan diantarkan kepada Abu Hanifah, maka ia mengerjakan shalat shubuh. Kemudian ia menutup badannya dan tidak berkata- kata sepatah katapun".

Maka datanglah utusan Al-Hasan bin Quhthubah membawa uang, lalu masuk ke tempat Abu Hanifah. Dan Abu Hanifah tidak berbi- cara dengan dia. Lalu berkata sebahagian orang yang hadlir : "Beliau itu tidak berbicara dengan kita, kecuali sepatah demi sepa¬tah. Artinya, itulah kebiasaan beliau".
Kemudian, maka berkatalah Imam Abu Hanifah : "Letakkanlah uang itu dalam tas kulit ini dan bawalah ke sudut rumah!".

Kemudian, sesudah itu, Abu Hanifah meninggalkan wasiat mengenai harta benda di rumahnya. Dia mengatakan kepada anak- nya : "Apabila aku mati kelak dan aku telah kamu kuburkan maka ambillah dirham yang puluhan ribu ini. Dan bawalah kepada Al- Hasan bin Quhthubah dan katakanlah kepadanya : "Ambillah barang simpanan engkau yang engkau simpan pada Abu Hanifah!".
Berkata anak Abu Hanifah : "Maka aku laksanakan wasiat itu". Lalu berkata Al-Hasan : "Rahmat Allah kepada ayahmu. Sesungguh¬nya dia adalah orang yang tidak mau sedikitpun mengulur tentang agamanya".

Diriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah dipanggil untuk diangkat menjadi kadli (hakim), lalu ia menjawab : "Aku tidak layak untuk jabatan itu!".
Lalu orang bertanya kepadanya : "Mengapa?".
Abu Hanifah menjawab : "Kalau aku benar, maka aku tak layak
untuk itu. Kalau aku bohong, maka pembohong tak layak menjadi kadli!".
Adapun ilmunya dengan jalan akhirat dan jalan urusan agama serta pengetahuannya tentang Allah 'Azza wa Jalla, maka di- buktikan oleh kesangatan takutnya kepada Allah Ta'ala dan zuhud- nya terhadap dunia. Berkata Ibnu Juraij : "Telah sampai kepadaku tentang orang negeri Kufahmu yakni Nu'man bin Tsabit (Abu Hanifah) itu, bahwa ia seorang yang sangat takut kepada Allah Ta'ala".
Berkata Syuraik An-Nakha'i "Adalah Abu Hanifah seorang pendiam, selalu berpikir dan sedikit berbicara dengan manusia".

Inilah diantara tanda-tanda yang tegas, dari ilmu bathin dan bekerja untuk kepentingan agama. Barangsiapa bersifat pendiam dan zuhud, maka telah memperoleh semua ilmu pengetahuan.

Demikianlah sekelumit dari perikehidupan tiga imam besar itu.
Adapun Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan Sufyan Ats-Tsuri ra. maka pengikut keduanya adalah kurang, bila dibandingkan de¬ngan pengikut imam yang tiga itu. Pengikut Sufyan, adalah kurang bila dibandingkan dengan pengikut Imam Ahmad. Tetapi kemasy¬huran dua imam ini, dengan wara' dan zuhud, adalah lebih menonjol. Seluruh isi kitab ini, penuh dengan ceritera-ceritera mengenai perbuatan dan perkataan keduanya. Dari itu tidak perlu lagi diperinci sekarang.

Maka lihatlah sekarang tentang perjalanan hidup imam tiga itu!. Dan perhatikanlah bahwa segala keadaan tersebut, perkataan dan perbuatan mereka itu, tentang berpaling dari dunia dan menumpah- kan. seluruh perhatian kepada Allah Ta'ala, adakah dihasilkan oleh semata-mata pengetahuan dengan cabang-cabang fiqih, dari penge¬tahuan berjual beli, menyewa, dhihar, ila' dan li'an atau dihasilkan oleh sesuatu pengetahuan lain yang lebih tinggi dan lebih mulia dari ilmu fiqih itu? Dan lihatlah kepada mereka yang mendakwakan dirinya pengikut imam-imam itu, apakah mereka benar pada pen- dakwaannya atau tidak?
Bab ketiga : Ilmu yang dianggap ofeh orang awwam, terpuji dan sebenarnya tidak. Padanya penjelasan segi yang menyebab kan sebahagian ilmu itu menjadi tercela dan penjelasan penggantian nama-nama ilmu, yaitu : Fiqih, Ilmu, Tauhid, Tadzkir dan Hikmah. Dan penjelasan batas ter¬puji dan batas tercela dari ilmu-ilmu sya¬ri'at.
salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Thu Oct 14, 2010 2:03 am

PENJELASAN SEBAB TERCELANYA ILMU YANG TERCELA

Mudah-mudahan anda mengatakan bahwa ilmu, ialah mengetahui sesuatu, menurut yang sebenarnya. Dan ilmu itu adalah salah satu daripada sifat Allah Ta'ala. Maka bagaimanakah sesuatu itu menjadi ilmu dan bagaimanakah ia menjadi ilmu yang tercela?

Ketahuilah kiranya, bahwa ilmu itu tidaklah tercela karena ilmu itu sendiri. Tetapi tercelanya adalah pada hak manusia, karena salah satu dari tiga sebab :

Sebab Pertama :
Adalah ilmu itu membawa kepada sesuatu kemelaratan. Baik bagi yang mempunyai ilmu itu sendiri atau bagi orang lain seumpama tercelanya ilmu sihir dan mantera-mantera.

Itu memang sebenarnya, karena diakui oleh Al-Qur-an yang demikian. Dan ilmu itu menjadi sebab yang membawa kepada perceraian diantara suami isteri. Rasulullah saw. telah pernah disihir orang dan sampai sakit karenanya (1). Maka malaikat Jibril as. datang menyampaikan peristiwa itu kepada Nabi saw. dan mengambil benda sihir itu dari bawah batu pada dasar sumur.

Sihir itu adalah semacam keadaan, yang diambil dari pengetahuan dengan khasiat benda-benda, disertai dengan hitungan tentang terbit bintang-bintang. Dari benda-benda itu diperbuat suatu boneka menurut bentuk orang yang disihirkan. Dan diintip suatu
(1) Hadits tentang Rasulullah saw. disihir orang, dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah ra.
waktu tertentu dari terbit bintang-bintang dan disertai pembacaan kalimat-kalimat yang berasal dari kufur dan keji, yang menyalahi syari'at. Dan dengan kalimat-kalimat itu, sampai kepada meminta tolong kepada setan-setan.

Dari keseluruhan itu, dengan hukum kehendak Allah Ta'ala di luar kebiasaan, terjadilah hal-hal yang luar biasa pada diri orang yang disihirkan.
Dan mengetahui sebab-sebab tersebut dari segi dia itu pengetahuan, tidaklah tercela. Tetapi tidaklah dia itu membawa kebaikan, selain daripada mendatangkan kemelaratan kepada makhluk Tuhan.

Jalan kepada kejahatan adalah kejahatan. Maka itulah sebabnya, ilmu sihir itu menjadi ilmu yang tercela. Bahkan orang yang mengikuti seorang aulia Allah untuk dibunuhnya, di mana aulia itu sudah bersembunyi daripadanya, pada suatu tempat yang terjamin, apabila orang dzalim menanyakan tempat aulia itu, maka tidak boleh memberitahukannya tetapi wajib berdusta.
Menerangkan tempat persembunyian aulia itu, adalah menunjuk dan memfaedahkan pengetahuan tentang sesuatu, menurut yang sebenarnya. Tetapi itu tercela, sebab membawa kepada kemelaratan.

Sebab Kedua :
Bahwa ilmu itu menurut kebiasaan, memberi melarat kepada yang empunya ilmu itu sendiri, seperti ilmu nujum.


Ilmu nujum itu sendiri tidak tercela, sebab dia terbagi dua :
1. Bahagian hisab. Al-Qur-an sudah menerangkan bahwa perjalanan matahari dan bulan itu dengan hisab. Berfirman Allah Ta'ala :

(Asy-syamsu wal qamaru bihusbaan). (S. Ar-Rahmaan, ayat 5).
Artinya :
"Matahari dan bulan itu beredar menurut hisab (perhitungan).
(S. Ar-Rahman, ayat 5)

Dan firman Allah Ta'ala :
       
(Wal qamara qaddarnaahu manaazila hattaa 'aada kal-'urjuunil qadiim). (S. Yaasiin, ayat 39).
Artinya :"Kami tentukan bulan itu beberapa tempat tertentu sampai kembali dia seperti mayang yang sudah tua ". (S. Yaasiin, ayat 39).

2. Hukum-hukum dan hasilnya kembali kepada membuat dalil atas segala kejadian dengan sebab-musababnya. Yaitu, menyerupai dengan cara dokter membuat dalil dengan detakan jantung kepada apa yang akan terjadi dari penyakit. Yakni mengetahui tempat berlakunya sunnah Allah dan adat kebiasaanNya pada makhlukNya.

Tetapi ilmu tadi dicela agama. Bersabda Nabi saw. :
(Idzaa dzukiral qadaru fa-amsikuu wa idzaa dzukiratin nujuumu fa-amsikuu wa idzaa dzukira ashhaabii fa-amsikuu).
Artinya :"Apabila disebut taqdir, maka peganglah! Apabila disebut bintang maka peganglah Dan apabila disebut shahabatku, maka peganglah!". (1)
(1) Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Mas'ud, dengan isnad baik.

Dan bersabda Nabi saw. :
(Akhaafu 'alaa ummatii ba'dii tsalaatsan : haiful a-immati wal iimaanu binnujuumi wat-takdziibu bil qadari).
Artinya :
"Aku takut atas ummatku sesudahku tiga perkara : kedhaliman imam-imam, percaya kepada bintang-bintang dan pendustaan kepada taqdir. (1)

Berkata Umar bin Al-Khathtbab ra. :
"Pelajarilah dari bintang-bintang itu, apa yang dapat menunjukkan jalan kepadamu didarat dan dilaut, kemudian berpeganglah kepada pengetahuan itu!".

Dilarang pengetahuan tersebut dari tiga segi:

1: Bahwa ilmu itu memberi melarat kepada kebanyakan orang. Sebab apabila diterangkan kepada mereka bahwa hal-hal itu terjadi adalah akibat perjalanan bintang-bintang, lalu tumbuhlah anggapan dalam hati mereka bahwa bintang-bintang itu dapat memberi bekas. Dan bahwa bintang-bintang itu Tuhan-Tuhan penga- tur, karena dia itu dzat mulia di langit. Dan besarlah kesannya dalam hati, lalu kekallah hati menoleh kepadanya. Dan hati itu melihat kebaikan dan kejahatan itu dilarang atau diharap dari pihak bintang-bintang itu. Lalu terputuslah dari hati ingatan kepada Allah Ta'ala. Orang yang lemah imannya menunjukkan pandangannya kepada perantara-perantara. Seorang berilmu yang mendalam, memandang bahwa matahari, bulan dan bintang itu menuruti perin- tah Allah Ta'ala.

Pandangan seorang yang lemah iman, kepada adanya cahaya matahari sesudah terbit, adalah seumpama semut, jika dijadikan baginya akal dan dia berada di atas secarik kertas, lalu memandang kepada kehitaman tulisan yang terus membarai, maka dia beri'tikad bahwa itu perbuatan pena dan tidak meningkat pandangannya kepada memperhatikan anak jari. Kemudian dari jari, kepada tangan, kemudian kepada kemauan yang menggerakkan tangan itu. Kemudian dari tangan kepada penulis itu sendiri yang bertenaga dan berkemauan. Kemudian dari penulis itu kepada Yang Menjadikan tangan, kemampuan dan kemauan.

Kebanyakan pandangan manusia terbatas pada sebab-sebab yang dekat, yang di bawah, terputus dari peningkatan kepada yang menyebabkan sebab-sebab itu.
Inilah salah satu sebab pejarangan ilmu nujum.
1.Dirawikan Ibnu Abdil-Barr dari Abi Muhjan, isnad dla'if.

Bahwa keputusan-keputusan ilmu nujum itu, adalah terkaan semata-mata. Tidaklah diketahui mengenai hak diri seseorang baik secara yakin atau berat dugaan. Maka keputusan dari nujum itu, adalah keputusan dengan kebodohan.
Maka adalah tercelanya di atas dasar ini, dari segi bahwa ilmu nujum itu kebodohan. Tiada ia suatu ilmu pengetahuan.

Adalah yang demikian itu suatu mu'jizat bagi Nabi Idris as. menurut yang diriwayatkan. Ilmu nujum itu telah lenyap, tersapu dan terhapus.

Apa yang kebetulan benar terjadi dari ahli nujum itu secara luar biasa, maka itu adalah suatu kebetulan. Karena kadang-kadang muncul di atas sebagian sebab-sebab. Dan tidak. terjadi akibat di belakang sebab-sebab tadi, melainkan sesudah memenuhi banyak syarat-syarat, yang tidak sanggup tenaga manusia mengetahui hakikatnya. Jika sesuai, bahwa Allah Ta'ala mentakdirkan sebab-sebab yang masih ada, maka terjadilah yang benar. Jika tidak ditakdirkan oleh Allah Ta'ala, maka salahlah dia.

Yang demikian itu, adalah seperti terkaan orang bahwa langit akan menurunkan hujan tatkala dilihatnya awan tebal berkumpul dan berarak dari gunung-gunung. Lalu keraslah dugaannya. bahwa hujan akan turun. Dan kadang-kadang siang akan panas dengan matahari dan mendung itu hilang.

Kadang-kadang terjadi sebaliknya. Semata-mata mendung belum cukup untuk mendatangkan hujan. Dan sebab-sebab yang masih ada, tidak diketahui.

Begitu pula terkaan nakhoda bahwa kapal akan selamat, berpegang kepada apa yang diketahuinya dari kebiasaan tentang angin. Dan angin itu mempunyai banyak sebab yang tersembunyi, yang tidak diketahuinya. Sekali ia betul pada terkaannya dan lain kali ia salah. Dan karena sebab inilah, dilarang orang yang kuat imannya dari ilmu nujum.

Bahwa tak ada faedahnya ilmu nujum itu. Sekurang-kurang keadaannya, ialah terperosok ke dalam perbuatan yang sia-sia, yang tak perlu dan membuang-buang umur yang amat berharga bagi manusia, pada yang tak berfaedah. Itulah suatu kerugian yang tak berkesudahan.

Rasulullah saw. lalu dekat seorang laki-laki dan orang banyak berkumpul padanya.
Maka bertanya Nabi saw. : "Siapa orang ini?". Menjawab orang banyak : "Orang yang amat 'alim". "Tentang apa?", tanya Nabi saw.
"Tentang sya'ir dan keturunan orang-orang Arab", sahut mereka.
Maka sahut Nabi saw. : "Ilmu yang tak bermanfa'at dan bodoh yang tak memberi melarat". (1).
Bersabda Nabi saw. :
(Innamal 'ilmu aayatun muhkamatun au sunnatun qaaimatun au fariidlatun 'aadilah).
Artinya :"Sesungguhnya ilmu itu adalah ayat yang kokoh, atau sunnah yang tegak atau fardlu yang adil". (1)
Jadi, turut campur dalam ilmu nujum dan yang serupa dengan ilmu nujum, adalah menghadang bahaya dan terperosok ke dalam kebodohan, yang tak ada gunanya. Apa yang ditaqdirkan, itulah yang terjadi. Menjaga diri dari padanya, adalah tidak mungkin. Kecuali ilmu kedokteran, maka ilmu ini diperlukan. Kebanyakan dalil-dalilnya, dapat diselidiki. Dan kecuali juga ilmu men- ta'birkan mimpi, maka walaupun dia merupakan terkaan, tetapi adalah sebahagian dari empat puluh enam bahagian dari kenabian dan tak ada bahaya padanya.

Sebab Ketiga :Terjun ke dalam ilmu, yang tidak memberi faedah kepada orang itu dari ilmunya. Ilmu yang semacam itu adalah tercela terhadap orang itu, seperti dipelajarinya ilmu yang halus-halus sebelum yang kasar-kasar, dipelajarinya ilmu yang tersembunyi sebelum ilmu yang terang dan seperti diperbincangkannya tentang rahasia keTu hanan (al-asroril-ilahiyah).
Karena para filosuf dan ulama ilmu kalam telah tampil pada ilmu- ilmu itu. Dan mereka tidak berdiri sendiri dalam hal itu. Hanya yang dapat berdiri sendiri, memperkatakan al-asroril-ilahiyah dan mengetahui jalan-jalan sebahagian daripadanya, ialah Nabi-Nabi dan aulia- aulia.
1. Dirawikan Ibnu Abdii-Barr dari Abi Hurairah dan dipandangnya hadits ini dla'if.
2. Dirawikan Abu Oaud dan Ibnu Majah dari Abdullah bin 'Amr.


Maka wajiblah dilarang orang banyak membahas tentang al-asroril- ilahiyah dan dikembalikan mereka kepada yang telah diucapkan oleh syari'at. Yang demikian itu mencukupilah untuk orang yang mendapat taufiq.
Berapa banyak orang yang terjun ke dalam ilmu pengetahuan dan memperoleh kemelaratan. Jikalau tidaklah ia terjun ke dalam ilmu pengetahuan itu, niscaya adalah halnya lebih baik dalam agama, daripada apa yang telah terjadi padanya.

Dan tak dapat dibantah, adanya ilmu yang mendatangkan melarat bagi sebahagian manusia, seumpama melaratnya daging burung dan beberapa macam kuweh yang enak rasanya, kepada bayi yangmasih menyusu. Bahkan banyak orang, yang berguna baginya kebodohan dalam beberapa hai.
Menurut ceritera, bahwa sebahagian orang mengadukan halnya kepada seorang tabib akan kemandulan isterinya. Wanita itu tidak beranak. Maka tabib itu memeriksa denyut uratnadi. Lalu berkata : "Tak ada gunanya engkau diberikan obat beranak. Sebab engkau akan mati, sampai empat puluh hari ini. Denyut urat nadimu menunjukkan yang demikian".

Maka gemetarlah wanita itu dengan ketakutan yang sangat dan susahlah kehidupannya. Dikeluarkannyalah hartanya, dibagi- bagikan dan diwasiatkan. Tinggallah ia tidak makan dan tidak mi- num, sehingga berlalulah masa itu. Dan wanita itu tidak mati. Maka datanglah suaminya kepada tabib dan menanyakan, mengapa isterinya tidak mati. Maka menjawab tabib : "Aku sudah tahu yang demikian. Sekarang bersetubuhlah!. Ia akan beranak".
"Mengapa begitu?", tanya si suami.
Menjawab tabib : "Aku lihat dia sangat gemuk, lemak telah menutupi mulut rahimnya. Aku tahu, bahwa dia tidak akan kurus, selain dengan takut kepada mati. Maka aku takutkan dia dengan demikian, sehingga dia kurus. Dan hilanglah halangan dari beranak".
Maka ini memberitahukan engkau kepada merasakan bahaya sebahagian pengetahuan. Dan memberi pemahaman kepada engkau pengertian, sabda Nabi saw. :

(Na uudzu billaahi min 'ilmin laa yanfa').
Artinya :"Kita berlindung dengan Allah Ta'ala dari ilmu yang tidak berman fa'at". (1)

Maka ambillah ibarat dengan ceritera ini! Janganlah kiranya anda menjadi penyelidik dari ilmu yang dicela Agama dan dilarang daripadanya! Dan haruslah mengikuti para shahabat Nabi saw. dan ber- peganglah kepada Sunnah! Keselamatan adalah dengan mengikuti jejak Nabi. Dan bahaya adalah dalam membahas beberapa perkara dan berdiri sendiri dalam hal itu.

Janganlah diperbanyak membanggakan diri dengan pendapat sendiri, akal pikiran sendiri, dalil sendiri dan keterangan sendiri dengan mendakwakan : "Bahwa aku mengadakan pembahasan tentang hal-hal itu, untuk aku ketahui yang sebenarnya".

Manapun kemelaratan yang timbul dalam pemikiran mengenai ilmu pengetahuan, maka kemelaratannya yang kembali kepadamu adalah lebih besar. Berapa banyak hal yang engkau perhatikan, lalu menimbulkan kemelaratan oleh perhatian itu, yang hampir mencelakakan kamu di akhirat, kalau tidaklah rahmat Tuhan datang membelainya.

Ketahuilah! Sebagaimana seorang tabib yang ahli, mengetahui segala pengobatan, di mana menjauhkan diri daripadanya, orang yang tak mengetahuinya, maka demikian pula para Nabi, tabib hati dan para ulama, yang tahu sebab-sebab hidup keakhiratan. Dari itu, janganlah terlalu berpegang teguh kepada sunnah mereka, dengan akal pikiranmu, maka kamu akan binasa! Berapa banyak orang yang terkena suatu halangan pada anak jari tangannya. Lalu akal pikirannya menghendaki untuk memijit anak jari itu. Sehingga diberitahukan oleh tabib yang ahli, bahwa obatnya adalah tapak tangan itu dipijit dari bahagian lain dari badan. Orang itu tidak mau menerimanya, karena ia tidak mengetahui percabangan urat dan pertumbuhannya serta cara perlipatannya pada tubuh.

Maka begitu juga urusan pada jalan akhirat, pada yang halus-halus dari sunnah agama dan adab-adabnya. Dan mengenai aqidahnya yang menjadi ibadah manusia, mengandung rahasia dan isi yang halus-halus, yang tak sanggup keluasan akal manusia dan kekuatannya mengetahuinya. Sebagaimana pada khasiat batu-batu ada hal-hal yang ajaib, yang tak sampai ilmu tukangnya ke sana. Sehingga tidak ada orang yang mengetahui sebab, maka besi berani itu menarik besi biasa.
(1) Dirawikan Ibnu Abdil-Barr dari Yabir dengan sanad baik.

Maka keheranan dan keganjilan pada aqidah dan amal, dan menggunakannya untuk menjernihkan, membersihkan, mensucikan, mengadakan perbaikan bagi hati (jiwa) untuk meningkat tinggi di samping Allah Ta'ala dan membawanya bagi anugerah kemurahan Nya, adalah lebih banyak dan lebih besar dari apa yang pada obat- obat dan jamu-jamu.

Sebagaimana tak sampai akal manusia, mengetahui keguna- an obat-obatan, serta percobaan adalah jalan kepadanya, maka akal manusiapun tak sampai untuk mengetahui apa yang bermanfa'at pada hidup akhirat, sedang percobaan tak ada jalan ke sana. Hanya adalah percobaan berjalan ke akhirat, kalau pulanglah kepada kita beberapa orang yang telah mati.Lalu menerangkan kepada kita, amal perbuatan yang diterima, yang bermanfa'at, yang mendekatkan kepada Allah Ta'ala di sisiNya dan dari amal yang menjauh- kan daripadaNya.

Begitu pula, mengenai aqidah. Dan yang demikian itu, termasuk yang tak usah diharapkan. Dari itu, cukuplah kiranya bagi anda dari kegunaan akal, untuk dapat menunjukkan anda, kepada mem- benarkan Nabi saw. dan memahamkan anda segala sumber isyarat- nya.

Kemudian, singkirkanlah akal itu dari penggunaannya dan tetaplah mengikuti Nabi, di mana anda akan selamat dengan jalan itu.

Yang dimaklumi, bahwa ilmu itu tidaklah kebodohan, tetapi ilmu itu membekas akan pembekasan kebodohan, pada mendatangkan kemelaratan.

Maka Nabi saw. bersabda pula :
(Qaliilun minat taufiiqi khairun min katsiirin minal 'ilmi). Artinya :
"Sedikit taufiq Tuhan adalah lebih baik dari banyak ilmu". (1)

Nabi Isa as. pernah berkata :
"Alangkah banyaknya pohon kayu dan tidaklah semuanya berbuah. Alangkah banyaknya buah-buahan dan tidaklah semuanya baik dan alangkah banyaknya ilmu pengetahuan dan tidaklah semuanya berguna ".

Penjelasan : Apa yang digantikan dari kata-kata ilmu.
Ketahuilah! Bahwa sumber yang menimbulkan keserupaan ilmu yang tercela dengan ilmu syari'at ialah penyelewengan nama-nama yang terpuji, penggantiannya dan pemindahannya, dengan maksud- maksud yang merusakkan kepada pengertian-pengertian yang tidak dikehendaki oleh orang-orang shaleh terdahulu dan abad pertama.

Yaitu lima perkataan : fiqih, ilmu, tauhid, tadzkir dan hikmah. Inilah nama-nama yang terpuji. Orang-orang yang bersifat dengan nama-nama tadi, adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi dalam agama. Tetapi sekarang nama-nama itu sudah dialihkan kepada pengertian-pengertian yang tercela. Sehingga hati, lari dari celaan orang-orang yang bersifat dengan pengertian-pengertian itu, karena terkenalnya pemakaian nama-nama itu kepada mereka.

Perkataan Pertama : FIQIH. Telah diselewengkan pemakaiannya secara tertentu. Tidak dengan dipindahkan dan diputarkan. Karena mereka telah menentukan nya pemakaian fiqih itu, kepada pengetahuan furu' (cabang) agama, yang ganjil mengenai fatwa, mengetahui sebab-sebab yang mendalam dari fatwa itu, memperbanyak pembicaraan padanya, menghafal kata-kata yang berhubungan dengan fatwa itu.

Maka orang yang amat mendalaminya dan banyak berbuat kepadanya, disebut "al-afqah " (yang terahli dalam ilmu fiqih).Pada masa pertama dahulu, adalah nama fiqih itu ditujukan
1. Menurut Al-lraqi, dia tidak pernah menjumpai hadits ini.

kepada pengetahuan jalan akhirat, kepada mengenai penyakit jiwa yang halus-halus dan yang merusakkan amal, teguh pendirian dengan pandangan hina kepada dunia, sangat menuju perhatian kepada nikmat akhirat dan menekankan ketakutan kepada hati.


(Liyatafaqqahuu fid diini wa liyundziruu qaumahum idzaa raja'uu ilaihim).
Artinya :"untuk mempelajari (berfiqih) dalam agama dan memberi peringa an kepada kaumnya apabila telah kembali (dari menuntut ilmu) kepada mereka".

Ilmu yang menghasilkan peringatan dan penakutan, itulah FIQIH namanya. Bukanlah fiqih itu mencabang-cabang soal talak, soal pembebasan perbudakan, li'an, pesanan barang dan sewa-menyewa. Yang demikian itu, tidaklah membuahkan peringatan dan penakutan. Bahkan bila terus menerus bergelimang dengan itu, membawa kepada hati kasar, mencabut ketakutan dari hati, sebagaimana kita saksikan sekarang pada orang-orang yang menjurus demikian.
Berfirman Allah Ta'ala :
       
Lahum quluubun laa yafqahuuna bihaa). (S. Al-'A'raaf, ayat 179).
Artinya :"Bagi mereka hati yang tidak memahami (berfiqih) dengan hati itu'(S. Al-A'raf, ayat 179).

Dimaksudkan dengan fiqih ialah, pengertian-pengertian keimanan, bukan mengeluarkan fatwa.
Demi umurku, bahwa kata-kata "al-fiqh" dan "al-fahm" menurut bahasa adalah dua nama (ism) dengan satu arti. Dan dipergunakan demikian, menurut kebiasaan pemakaian, baik dahulu atau sekarang.
          
(La-antum asyaddu rahbatan fii shuduurihim minallaah). Artinya :
"Kamu sangat ditakuti dalam hati mereka, lebih dari Tuhan".(S. Al-Hasyr, ayat 13).

Maka dibawa oleh kurang takutnya kepada Allah dan besar penghormatannya akan kekuasaan makhluk, sehingga menjadi kurangnya faham (fiqih).
Lihatlah, adalah itu natijah tidak menghafal pencabangan fatwa- fatwa atau natijah ketiadaan ilmu yang kami terangkan itu. Bersabda Nabi saw. : "Ulama, hukama, dan fuqaha (para ahli fiqih)", kepada mereka yang diutuskan kepadanya. (1)

Ditanyakan Sa'ad bin Ibrahim Az-Zuhri ra. : "Siapakah diantara penduduk Madinah yang lebih paham (fiqih)?". Beliau menjawab : "Yang lebih kuat taqwanya kepada Allah Ta'ala". Seakan-akan beliau memberi isyarat kepada hasil dari paham (fiqih). Dan taqwa adalah hasil dari ilmu bathin. Bukan hasil dari fatwa dan hukum.
Bersabda Nabi saw. :
"Apakah aku terangkan kepadamu orang ahli paham (fiqih) yang sebenarnya?".
"Ya!", jawab mereka.
Maka bersabda Nabi saw. :
"Orang yang tidak memutus-asakan manusia dari rahmat Tuhan, yang tidak menyatakan mereka aman dari kutuk Tuhan, yang tiada memutuskan-asa mereka dari kasih-sayang Tuhan, yang tidak meninggalkan Al-Qur-an lantaran gemar kepada yang lain". (2)
1.Dirawikan Abu Na'im dan Al-Baihaqi dari Suwaid bin Al-Harits, dengan isnad dla'if.
2.Dirawikan Abu Bakar bin Lai dan Abu Bakar bin As-Sunni dan Ibnu Abdil-Barr dari Ali ra.

Se waktu Anas bin Malik meriwayatkan sabda Nabi saw. :

(La-an aq'uda ma'a qaumin yadzkuruunallaah ta'aalaa min ghud- watin ilaa thuluu'isy-syamsi ahabbu ilayya min an a'tiqa arba'a riqaabin).
Artinya :"Sesungguhnya aku lebih suka duduk bersama kaum yang mengingati (berdzikir) Allah Ta'ala dari pagi sampai terbit matahari besok, daripada membebaskan empat orang budak". (1)

Berkata pengarang kitab Al-Quut : "Maka berpalinglah Anas kepada Zaid Ar-Raqqasyi dan Ziyad An-Numairi, seraya berkata :

"Tidaklah majlis mengingati Tuhan (berdzikir) itu seperti majlis ini, di mana salah seorang dari kamu menceriterakan pengajarannya kepada teman-temannya dan membaca hadits-hadits. Sesungguhnya kami duduk lalu mengingati iman, memahami Al-Qur-an dan berpaham (berfiqih) dalam agama serta menghitung ni'mat Allah Ta'ala kepada kami, dengan penuh pemahaman (fiqih)".
Di sini dinamakan pemahaman AI-Qur-an dan penghitungan nikmat itu berfiqih (tafaqquh).

Dirawikan pula suatu hadits mauquf pada Abid Darda' ra. dengan katanya : "Kemudian ia menghadapkan kepada dirinya sendiri lalu mengecamnya pula secara lebih hebat lagi".
1.Dirawikan Abu Daud dengan isnad baik.

Bertanya Farqad As-Sabakhi kepada Alhassan mengenai suatu hal. Maka menjawab Al-Hasan, lalu berkata Farqad : "Kaum fuqaha (ahli fiqih) itu berselisih pendapat dengan kamu". Kemudian Al-Hasan ra. berkata : "Wahai Farqad yang dikasihi! Adakah kamu melihat seorang ahli fiqih itu dengan matamu sendiri? Bahwa seorang ahli fiqih itu adalah zuhud di dunia, gemar ke akhirat, bermata hati kepada agama, kekal beribadah kepada Tuhannya, Wara' mencegah dirinya dari mempercakapkan kehormatan orang muslimin, yang memelihara dirinya dari harta mereka dan yang menasehati jama'ah mereka".

Dalam keseluruhannya tadi, Al-Hasan tidak menyebut penghafal furu'-furu' fatwa. Dan saya tidak mengatakan bahwa nama "fiqih" itu tidaklah pokok bahasa dan tidaklah untuk fatwa mengenai hukum-hukum dhahir. Tetapi ada, secara umum dan keseluruhan atau secara diikut-sertakan. Maka adalah pemakaian mereka kata- kata "fiqih" kepada ilmu akhirat itu, lebih banyak.

Maka nyatalah dari pengkhususan tersebut, meragukan kebangkitan manusia untuk memakai perkataan "fiqih" semata-mata kepada yang tadi dan berpaling dari ilmu akhirat dan perihal hati. Dan mereka mendapat untuk yang demikian penolong dari tabiat manusia. Karena ilmu bathin itu tidak terang dan mengerjakannya sukar. Dan memperoleh kedudukan dalam pemerintahan, kehakiman, kemegahan dan kekayaan itu sulit dengan ilmu bathin. Maka setan memperoleh jalan untuk membaikkan yang tersebut, di dalam hati dengan jalan mengkhususkan nama "fiqih", yang menjadi nama terpuji itu pada syari'at.

Perkataan Kedua : ILMU.Perkataan ini dipakai untuk pengetahuan mengenai dzat, ayat- ayat dan perbuatan Allah Ta'ala, terhadap hamba dan makhlukNya. Sehingga ketika Umar ra. wafat, maka berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Sesungguhnya telah mati sembilan persepuluh ilmu".

Perkataan "ilmu" itu dijadikan isim ma'rifah dengan Alif dan Lam, menjadi "al-ilmu". Lalu diberi penafsiran, "mengetahui tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala". Kemudian diputarkan pula oleh mereka perkataan "al-ilmu" itu dengan pengkhususan. Sehingga dalam banyak hal, diperkenalkannya orang berilmu, ialah orang yang asyik berdebat melawan musuh dalam masalah-masalah fiqih dan lainnya. Lalu dikatakan orang itu alim yang sebenarnya. Diaseorang tokoh ilmu pengetahuan. Orang-orang yang tidak berbuat demikian dan tidak menghabiskan waktunya untuk itu, dihitung orang lemah dan tidak dihitung dalam bilangan ahli ilmu.

Ini juga, suatu tindakan dengan pengkhususan. Akan tetapi apa yang tersebut tentang kelebihan ilmu dan ulama, adalah keba- nyakannya ditujukankepada ulama yang tahu akan Allah, hukum Nya, perbuatan dan sifat-sifatNya. Dan sekarang, secara mutlak dipakai, kepada orang yang tidak tahu sedikitpun ilmu agama, selain dari pertemuan-pertemuan perdebatan dalam masalah-masalah khilafiah. Dengan itu, lalu dia terhitung termasuk ulama besar, serta bodohnya mengenai tafsir, hadits, ilmu madzhab dan lainnya. Dan yang demikian itu, menjadi sebab, yang membinasakan orang banyak dari penuntut-penuntut ilmu.

Perkataan Ketiga : TAUHID.
Perkataan ini sekarang dipakai untuk menyusun kata-kata, mengetahui cara bertengkar, mengetahui jalan menjatuhkan lawan, sanggup mendesaknya dengan membanyakkan pertanyaan-pertanyaan, dapat membangkitkan keragu-raguan dan dapat menyusun dalil-dalil yang pasti, sehingga oleh golongan-golongannya sendiri, membe- rinya gelar, ahli adil dan ahli tauhid.

Para ahli iimu kalam, disebut ulama tauhid, padahal selu- ruh apa yang khusus perbuatan ini, tidak terkenal sedikitpun pada masa pertama dari agama Islam. Bahkan sebahagian mereka, adalah sangat menentang terhadap orang yang membuka pintu perteng- karan dan perdebatan.

Adapun isi Al-Qur-an, dari dalil-dalil yang terang, mudah ditangkap oleh pikiran demi mendengarnya, maka adalah semua orang mengetahuinya. Pengetahuan dengan Al-Qur-an adalah merupakan ilmu pengetahuan seluruhnya.
Tauhid pada mereka adalah ibarat suatu hal yang tidak dipahami oleh kebanyakan ahli ilmu kalam. Kalaupun dipahami- nya, tetapi mereka tidak bersifat dengan dia.Yaitu melihat urusan seluruhnya, adalah daripada Allah Ta'ala, penglihatan tanpa menoleh kepada sebab dan perantara. Maka ia tidak melihat kebajikan dan kejahatan seluruhnya, melainkan dari pada Allah Yang Maha Mulia.

Maka inilah tingkat yang mulia. Salah satu buahnya, ialah tawakkal, sebagaimana akan diterangkan nantfpaaa KitabTawakkal.
Diantara buahnya juga, ialah meninggalkan pengaduan kepada makhluk, meninggalkan kemarahan kepada mereka, rela dan menye- rah kepada hukum Allah Ta'ala.
Dan adalah salah satu buahnya, ialah ucapan Saidina Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., ketika ditanyakan waktu sakitnya : "Apakah kami carikan tabib untuk tuan?". Lalu Abu Bakar menjawab : "Tabib itu membawa saya sakit".
Ucapan lain lagi dari Abu Bakar ra. ketika sakitnya, waktu ia ditanyakan : "Apakah kata tabib tentang penyakit tuan?".
Abu Bakar ra. menjawab : "Katanya : bahwa saya berbuat sekehendak saya".
Akan datang pada Kitab Tawakkal dan Kitab Tauhid dalil-dalil untuk itu.
Tauhid adalah suatu mutiara yang bernilai tinggi, mempunyai dua kulit. Yang satu lebih jauh dari isinya daripada yang lain. Lalu orang mengkhususkan, nama tauhid itu kepada kulit dan membuat penjagaan kepada kulit itu, serta menyia-nyiakan ISI secara keseluruhan.

KULIT PERTAMA :
yaitu anda mengucapkan dengan lisan LAA ILAAHA ILLALLAAH.
Ini dinamakan tauhid melawan tatslits (kepercayaan tiga tuhan oknum), yang ditegaskan oleh orang Nasrani. Tetapi ucapan tersebut kadang-kadang datang dari orang munafiq, yang berlawanan bathinnya dengan lahirnya.
KULIT KEDUA ; yaitu tak ada di dalam hati, yang menyalahi dan berlawanan dengan pengertian ucapan tadi. Bahkan yang dhahir dari hati, melengkapi kepada aqidahnya. Dan demikian juga mem- benarkannya. Yaitu tauhid orang awwam. Dan para ahli ilmu kalam sebagaimana diterangkan dahulu adalah penjaga kulit ini dari gangguan golongan bid'ah.

YANG KETIGA :

Iaitu ISI. Bahwa ia melihat keadaan seluruhnya daripada Allah Ta'ala dengan tidak menoleh kepada perantaraan. Dan ia beribadah kepadaNya, dengan ibadah yang tunggal kepada- Nya. Tidak ia beribadah (menyembah) yang lain.
Dan keluarlah dari tauhid ini, orang-orang yang menuruti haiva nafsu. Maka tiap-tiap orang yang menuruti hawa nafsunya, dia telah mengambil hawa nasfunya, menjadi Tuhannya.
Berfirman Allah Ta'ala :
     
(Afara-aita manit takhadza ilaahahuu hawaah).
Artinya :"Adakah engkau melihat, orang yang mengambil hawa nafsunya, menjadi Tuhannya?".
(S. Al-Jatsiyah, ayat 23).
Bersabda Nabi saw. :

(Abghadlu ilaahin 'ubida fil ardli 'indallaahi ta'aalaa, huwal hawaa).
Artinya :"Tuhan yang disembah di bumi, yang sangat dimarahi Allah Ta'ala ialah hawa nafsu". (1)
(1) Dirawikan Ath-Thabrani dari Abi Arnanah, dengan isnad dla'if.

Dan di atas yang sebenarnya, barang siapa memperhatikan tentu mengerti bahwa penyembah berhala sebetulnya tidaklah ia menyembah berhala. Tetapi ia menyembah hawa nafsunya, karena nafsunya itu condong kepada agama nenek moyangnya. Lalu ia mengikuti kecondongan itu. Dan kecondongan nafsu kepada ke- biasaan-kebiasaan, adalah saiah satu pengertian yang diibaratkan dengan hawa nafsu itu.

Dan keluarlah dari tauhid ini, menaruh kemarahan kepada makhluk dan berpaling kepada mereka. Maka orang yang melihat seluruhnya berasal dari Allah Ta'ala, bagaimana akan marah kepada orang lain? Dari itu, tauhid adalah ibarat dari tingkat ini. Yaitu tingkat orang- orang Shiddiq
(orang yang mempunyai kepercayaan penuh kepada Tuhan).

Dari itu, perhatikanlah, ke mana diputarkan arti tauhid dan kulit mana yang dirasa puas. Maka bagaimana mereka, membuat ini, menjadi pegangan, pada pemujian dan pembanggaan, dengan apa yang namanya terpuji, serta kosong dari pengertian yang berhak akan pujian yang hakiki? Hal itu seumpama kosongnya orang yang pagi-pagi benar sudah menghadap qiblat dan membaca
"Wajjahtu wajhia lilladzii fathara' samaawaati wal ardla haniifa". (Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi karena aku memeluk agama yang benar. Dan itu adalah permulaan kedustaan, dia menghadap Allah tiap-tiap hari, sekiranya wajah hatinya tidak menghadap Allah Ta'ala, secara khusus.

Sesungguhnya, jika maksudnya dengan "wajah" itu wajah secara dhahir, maka adalah tujuan wajahnya ke Ka'bah dan tidak menuju ke lain jurusan.

Ka'bah tidaklah menjadi pihak bagi Allah yang menjadikan langit dan bumi, sehingga orang yang menghadap ke Ka'bah berarti menghadap kepada Allah Ta'ala. Maha Suci Allah dari berpihak dan berberdaerah!.
Sekiranya, maksudnya dengan wajah itu "wajah hati" dan memang itulah yang dimaksud oleh tiap-tiap orang yang beribadah, maka bagaimanakah dapat dibenarkan ucapannya sedangkan hatinya bulak-balik pada kepentingan dan keperluan duniawiyahnya? Dan mencari daya upaya mengumpulkan harta, kemegahan dan memperbanyak sebab-sebab dan perhatian seluruhnya untuk yang demikian.
Maka bilakah ia menghadapkan wajahnya kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi?.
Perkataan ini, adalah menerangkan hakikat tauhid. Seorang yang bertauhid, ia tidak melihat melainkan YANG ESA dan tidak menghadapkan wajahnya, melainkan kepada YANG ESA itu.
Yaitu mengikuti firman Allah Ta'ala :
          

(Qulillaahu tsumma dzarhum fii khaudlihim yal'abuun). Artinya :
"Katakanlah! Allah. Kemudian biarkanlah mereka main-main dengan percakapan kosongnya". (S. Al-An'am, ayat 91).
Tidaklah dimaksudkan dengan "katakanlah" itu "perkataan" dengan lisan. Karena lisan itu merupakan "penterjemah" (pengalih bahasa dari dalam), sekali dia benar dan sekali dia bohong.
Maka tempat untuk melihat Allah yang diterjemahkan oleh lisan itu, ialah hati. Hatinya tambang tauhid dan sumbernya.
salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Thu Oct 14, 2010 2:06 am

Perkataan keempat : DZIKIR DAN TADZKIR. Berfirman Allah Ta'ala :
 •    
(Wa dzakkir fainnadzdzikraa tanfa'ul mu'miniin).
Artinya :"Berilah mereka peringatan (tadzkir), karena peringatan itu berguna untuk orang-orang yang beriman". (S. Adz-Dzariyat, ayat 55).

Banyaklah hadits Nabi saw. yang memuji majlis dzikir itu, seperti sabdanya : "Apabila kamu melewati kebun Sorga, maka bersenang- senanglah di dalamnya!".
"Manakah kebun Sorga ilu?", tanya yang hadlir. "Majlis-majlis berdzikir", sahut Nabi saw. (1)
1.Dirawikan At-Tirmidzi dari Anas dan dipandangnya hasan.

Dalam satu hadits tersebut : "Allah Ta'ala mempunyai banyak malaikat yang mengembara di dalam dunia selain dari para malaikat rang ada hubungannya dengan makhluk. Apabila mereka melihat majlis dzikir, lalu mereka panggil-memanggil satu sama lain, dengan mengatakan : "Pergilah kepada kesayanganmu masing- masing!". Lalu pergilah mereka, mengelilingi dan mendengar. Dan itu, berdzikirlah kepada Allah dan peringatilah dirirnu sendiri!". (2).
2.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.

Oleh kebanyakan juru nasehat pada masa sekarang kita melihat, mengambil yang demikian itu, lalu membiasakan dengan : ceritera- ceritera, sya'ir-sya'ir, do'a-do'a dan kata-kata yang tidak dipahami (syathah) dan pernutaran perkataan-perkataan agama (thammat).
Adapun ceritera-ceritera (al-kisah), maka itu bid'ah. Telah datang dari ulama-ulama yang terdahulu, larangan duduk mengelilingi tukang-tukang ceritera itu. Mereka mengatakan, bahwa tak ada yang demikian pada masa Rasulullah saw. (1) Dan tidak ada pada masa Abu Bakar ra. dan Umar ra. Sehingga lahirlah fitnah dan timbullah tukang-tukang ceritera.
(1) Dirawikan Ibnu Majah dari Umar, dengan isnad Hasan.

Diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar ra. keluar dari masjid, seraya mengatakan : "Aku dikeluarkan oleh tukang ceritera itu. Kalau tidaklah dia maka aku tidak keluar".
Berkata Dlamrah : "Aku bertanya kepada Sufyan Ats-Tsuri : "Kita terimakah tukang ceritera itu dengan gembira?".

Menjawab Sufyan : "Balikkanlah tukang bid'ah itu ke belakangmu!" Berkata Ibnu 'Aun : "Aku datang pada Ibnu Sirin, maka ia bertanya : "Hari ini tidak ada kabar?".

Lalu aku jawab : "Amir sudah melarang tukang-tukang ceritera itu berceritera".

Maka menyambung Ibnu Sirin : "Dia sudah mendapat taufiq ke jalan yang benar".
Al-A'masy masuk ke masjid jami' Basrah. Maka dilihatnya seorang tukang ceritera sedang berceritera dan mengatakan : "Diterangkan hadits kepada kami oleh Al-A'masy". Maka Al-A'masypun masuk ke tengah-tengah rombongan itu, sambil mencabut buluketiaknya.

Maka berkata tukang ceritera itu : "Tuan! Apakah tidak malu Sahut Al-A'masy : "Mengapa? Bukanlah saya berbuat sunnah dan saudara berbuat bohong? Saya ini Al-A'masy dan tidak pernah menceriterakan hadits kepada saudara".

Berkata Ahmad bin Hanbal ra. : "Yang paling banyak berdusta, diantara manusia, ialah tukang ceritera dan peminta-minta".

Ali ra. mengusir tukang ceritera dari masjid jami' Basrah. Tatkala didengarnya yang berceritera al-Hasan Al-Bashri maka tak diusirnya. Karena Al-Hasan memperkatakan tentang ilmu akhirat dan berpikir kepada mati, memperingatkan kepada kekurangan diri, bahaya amal, gurisan setan dan cara menjaga diri padanya. Ia meng- ingatkan kepada segala rahmat Allah dan nikmatNya, kepada keteledoran hamba pada mensyukuriNya. Ia memperkenalkan kehinaan dunia, kekurangan, kehancuran dan kepalsuan janjinya, bahaya akhirat dan huru-haranya.

Maka inilah tadzkir (peringatan) yang terpuji pada agama, yang meriwayatkan dorongan kepadanya pada hadits yang dirawikan Abu Zar, seperti berikut : "Mengunjungi majelis dzikir, adalah lebih utama daripada mengerjakan shalat seribu raka'at. Mengunjungi majelis ilmu, adalah lebih utama daripada mengunjungi seribu orang sakit. Mengunjungi majelis ilmu adalah lebih utama daripada berta'ziah seribu jenazah".
Lalu ditanyakan : "Wahai Rasulullah! Dan dari membaca Al-Qur an?". Maka Nabi saw. menjawab : "Adakah bermanfa'at membaca Al-Qur-an selain dengan ilmu?". (1)
(1) Dirawikan Ibnul Jauri dan Ubaidah As-Salmani dari Umar.
Berkata 'Atha' ra. : "Majelis dzikir itu menutupkan tujuh puluh majelis yang sia-sia (tempat tontonan)".
Hadits-hadits di atas telah dipergunakan oleh orang-orang yang kotor, untuk alasan kepada membersihkan diri dan mengalihkan nama "tadzkir" kepada khurafat yang dibuat mereka. Mereka lupakan cara dzikir yang terpuji dan menyibukkan diri dengan ceritera-ceritera yang membawa kepada perselisihan, kepada menambah dan mengurangi. Dan berlawanan dengan ceritera yang ada di dalam Al-Qur-an dan menambahkan kepadanya.

Di antara ceritera-ceritera itu, ada yang bermanfa'at mendengarnya dan ada yang melarat meskipun benar. Orang yang membuka pintu itu kepada dirinya, maka bercampurlah antara benar dan bohong, yang bermanfa'at dan yang melarat. Dari itu maka dilarang daripadanya.

Karena demikianlah, maka berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra. : "Alangkah berhajatnya manusia kepada tukang ceritera yang benar" Jika ceritera itu termasuk ceritera Nabi-Nabi as. yang berhubungan dengan urusan agama dan tukang ceriteranya itu benar dan ceritera- nya tidak salah, maka menurut saya, diperbolehkan.

Dari itu jagalah dari kedustaan, dari ceritera-ceritera keadaan, yang menunjukkan kepada banyak kesalahan atau keteledoran, yang menghambat pemahaman orang awam dari mengetahui mak- sudnya. Atau menghambatnya dari mengetahui adanya kesalahan, yang jarang terjadi, yang diikuti dengan yang menutupinya, yang dapat diketahui kebaikan-kebaikan yang ditutupkan itu. Orang awam berpegang dengan yang demikian itu, pada segala keteledoran dan kesalahannya. Dan menganggap dirinya dapat dima'afkan. Dia berasalan, bahwa hai itu telah diceriterakan yang demikian, dari beberapa syekh terkemuka dan ulama terkenal. Semua kita terhadap perbuatan ma'syiat, maka tak ragu lagi, jikalau kita telah berbuat ma'syiat kepada Allah, maka orang-orang yang lebih besar dari kita telah berbuat ma'syiat.

Hal yang tersebut tadi menunjukkan keberaniannya menghadapi Allah Ta'ala dengan tidak sadar.
Maka sesudah menjaga diri dari dua hai yang ditakuti, maka tidak mengapa dengan demikian. Dan ketika itu, kembali kepada ceritera- ceritera yang terpuji dan kepada yang terdapat dalam Al-Qur-an dan kitab-kitab hadits yang shahih.

Sebahagian orang membolehkan membuat ceritera-ceritera yang menyukakan kepada perbuatan ta'at. Dan mendakwakan bahwa tujuannya mengajak manusia kepada kebenaran.
Itu sebetulnya bisikan setan karena dalam kebenaran, berkembang kedustaan. Dan mengenai dzikir kepada Allah Ta'ala dan RasulNya, tidak menciptakan nasehat yang tidak mempunyai dasar kebenaran.

Betapa tidak! Membuat sajakpun tidak disukai dan dipandang yang demikian membuat-buat. Berkata Sa'ad bin Abi Waqqas ra. kepada anaknya Umqr, ketika mendengar ia bersajak : "Inilah yang membawa aku maraQtenadamu. Tidak akan aku penuhi ke- perluanmu selama-lamanya sebelum engkau bertobat". Sedang Umar sebenarnya ada keperluan maka ia datang kepada ayahnya itu. Nabi saw. telah bersabda kepada Abdullah bin Rawahah, mengenai sajak yang terdiri dari tiga kata :

(lyyaaka was-saj'a yabna rawaahah). Artinya :
"Awaslah bersajak hai anak Rawahah!". (1)
Dengan hadits ini, seolah-olah sajak yang harus diawasi, ialah yang lebih dari dua kata. Karena itu, tatkala seorang lelaki mengatakan mengenai diat (2) bayi dalam kandungan :
1.Menurut Ai-lraqi, ra tidak memperoleh bunyi yang demikian, tetapi dengan bunyi lain, yang sama maksudnya.
2.Diat : harta yang dibayar karena membunuh, yaitu unta atau harganya.

"Bagaimana-kah membayar diat orang yang tidak minum, tidak makan, tidak berteriak dan tidak memekik? Samakah itu dengan halal darahnya" lalu Nabi bersabda :
"Adakah sajak seperti sajak orang-orang Badui Arab!". (1) Adapun sya'ir, maka dicela membanyakkannya dalam pengajaran. Berfirman Allah Ta'ala :


(Asy syu'araau yattabi'uhumul ghaawuun. Alam tara-armahum fii kulli waadin yahiimuun).
(S. Asy-Syu'ara, ayat 224-225).
Artinya :
"Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang jahat. Ttdakkah engkau lihat bahwa mereka mengembara disetiap lembah dengan tak tentu tujuan?".
(S. Asy-Syu'ara, ayat 224-225).
Dan berfirman lagi :

(Wa maa 'allamnaahusy syi'ra wa maa yanbaghiilah). Artinya :
"Dan kami tiada mengajarkan sya 'ir kepadanya (Muhammad) dan sya'ir itu tiada patut baginya".
(S. Yaasiin, ayat 69).
Kebanyakan sya'ir yang dibiasakan oleh juru-juru nasehat, ialah apa yang menyangkut dengan penyifatan pada kerinduan, keelokan yang dirindukan, senangnya ada hubungan dan pedihnya berpisah.
Majlis itu, dikunjungi oleh rakyat banyak yang bodoh-bodoh. Perutnya penuh dengan hawa nafsu, hatinya tidak terlepas dari pada menoleh kepada rupa yang manis. Dari itu, sya'irnya tidak bergerak dari jiwanya, kecuali ia terpaut padanya. Maka berkobarlah api hawa nafsu padanya. Lalu mereka berteriak dan menari-nari.
(1) Dirawikan Muslim dari Al-Mughirah.

Kebanyakan yang demikian atau seluruhnya, membawa kepada semacam kerusakan. Dari itu, tidaklah seyogianya dipakai sya'ir kecuali ada padanya pengajaran atau hikmah untuk jalan petunjuk dan pelunakan hati.
Bersabda Nabi saw. :

(Inna minasy syi'ri lahikmah). Artinya :
"Sesungguhnya sebahagian dari sya ir itu mengadung hikmah!".(1)
(1) Dirawikan Al-Bukhari dari Ubai bin Ka'ab.

Jika majlis itu dihadliri orang-orang tertentu yang mempunyai perhatian kepada ketenggelaman hati dengan cinta kepada Allah Ta'ala dan tak ada golongan lain dalam majlis tersebut, maka bagi mereka tak ada melaratnya sya'ir itu, yang dhahiriyahnya menunjukkan kepada hubungan sesama makhluk. Karena pendengamya dapat menempatkan apa yang didengarnya menurut panggilan hatinya, sebagaimana akan diterangkan nanti pada "Kitab Pendengaran". Dan karena itulah Al-Junaid ra. berbicara kepada lebih kurang sepuluh orang. Kalau mereka sudah banyak, ia tidak berbicara. Dan tidaklah pernah sekali-kali yang menghadliri majlisnya sampai dua puluh orang.

Tentang datang serombongan orang banyak ke pintu rumah Ibnu Salim, lalu dikatakan kepadanya : "Berbicaralah! Telah datang teman-teman tuan".
Ibnu Salim menjawab : "Tidak! Mereka bukan temanku. Mereka adalah teman-teman majlis. Sesungguhnya teman-temanku, ialah orang-orang tertentu (orang-orang al-khawash).
Adapun asy-syathah (do'a-do'a dan kata-kata yang tidak dipahami), maka yang kami maksudkan, ialah dua jenis perkataan, yang diadakan oleh sebahagian kaum shufi.

Yang pertama, ialah do'a-do'a yang panjang yang berbentang tentang keasyikan (kerinduan) bersama Allah Ta'ala dan hubungan yang tidak memerlukan kepada amal dzahiriyah. Sehingga golongan itu berkesudahan kepada mendakwakan al-ittihad (bersatu dengan Allah), terangkat hijab, penyaksian dengan melihat Tuhan dan bercakap-cakap dengan pembicaraan. Lalu mereka mengatakan : "Dikatakan kepada kami demikian. Dan kami mengatakan demikian".

Mereka menyerupakan pada yang demikian itu, dengan Husain bin Mansur Al-Hallaj yang telah dihukum gantung, lantaran diucapkannya kata-kata yang sejenis dengan itu. Dan mereka mem- buktikan yang demikian dengan ucapan Al-Hallaj : 'Anal-haqq" (akulah al-haqq, yakni : yang maha benar, salah satu dari nama Allah Ta'ala).

Dan dengan apa yang diceriterakan dari Abi Yazid Al-Bustami, bahwa Abi Yazid mengatakan : "Subhani-subhani (maha suci aku maha suci aku)".
Ini adalah semacam perkataan, yang amat besar bahayanya pada orang awwam. Sehingga segolongan dari kaum tani meninggalkan pertaniannya dan melahirkan dakwaan seperti yang tersebut.

Sesungguhnya perkataan itu dirasakan enak oleh tabiat manusia. Karena padanya membatalkan amal (tak usah amal lagi), serta mensucikan diri (jiwa) dengan memperoleh maqam-maqam (derajat-derajat) tinggi dan hal ikhwal yang baik. Maka orang-orang bodoh tidak lemah dari pada mendakwakan yang demikian bagi diri mereka dan dari pada menerima kata-kata yang tak berketentuan, yang penuh dengan hiasan kata-kata.

Manakala mereka ditantang dari yang demikian, maka mereka tidak merasa lemah untuk mengatakan : "Ini adalah tantangan, yang sumbernya ilmu dan pertengkaran. Ilmu itu dinding dan pertengkeran itu perbuatan diri. Dan pembicaraan ini tidak mengisyarat kan, selain dari bathin dengan terbukanya nur kebenaran".

Maka hal yang tersebut dan yang seperti dengan yang tersebut itu, daripada yang telah beterbangan kejahatannya dalam negeri dan besar melaratnya pada orang awwam, sehingga orang yang menuturkan dengan sedikit dari padanya, maka membunuhnya adalah lebih baik pada agama Allah, dari pada menghidupkan sepuluh dari padanya.

Mengenai Abi Yazid Al-Bustami ra. yang tersebut di atas, maka tak benar mengenai apa yang diceriterakan terhadap dirinya.Sekiranya benar ucapan tersebut pernah terdengar daripadanya, maka adalah itu, ia menceriterakan dari Allah 'Azza wa Jalla tentang perkataan yang diulang-ulangiNya pada diriNya. Seumpama bila terdengar ia mengatakan : "Innanii anallaah, laa ilaaha illaa ana fa'budnii". (Sesungguhnya aku adalah aku itu Allah, tiada yang disembah selain aku, maka sembahlah aku) (S. Thaha, ayat 14), maka perkataan tersebut hendaklah dipahamkan, tidak lain daripada pembacaan dari firman Allah Ta'ala.

Yang kedua : dimaksudkan dari perkataan syathah itu, kata-kata yang tidak dipahami, tampaknya menarik, dengan susunan yang mengagumkan. Sedang dibalik itu tak ada faedahnya sama sekali.
Tidak dapat dipahami itu, adakalanya oleh yang mengucapkannya sendiri, karena timbulnya dari gangguan pikiran dan kekacau-balauan khayalan, disebabkan kurang mendalami maksud kata-kata yang menarik perhatiannya itu. Dan inilah yang terbanyak!.

Dan adakalanya dapat dipahami,tetapi tidak sanggup memahaminya dan mendatangkannya dengan kata-kata yang menunjukkan isi hatinya. Karena kurang berpengetahuan dan tidak mempelajari cara melahirkan sesuatu maksud dengan susunan kata yang menarik.
Perkataan yang semacam inipun tak ada faedahnya, selain daripada mengacabalaukan jiwa, mengganggu pikiran dan membawa keraguan hati Ataupun dipahaminya menurut maksud yang sebenar- nya,tetapi pemahaman itu didorong oleh hawa nafsu dan kepenting an diri sendiri.

Bersabda Nabi saw. :

(Maa haddatsa ahadukum qauman bihadiitsiin laa yafqahuunahu illaa kaana fitnatan 'alaihim).
Artinya :"Tidaklah seseorang daripada kamu, menerangkan sesuatu hadits (sesuatu persoalan) kepada segolongan manusia yang tiada memahaminya, selain daripada mendatangkan fitnah kepada mereka itu '.(1)
(1) Dirawikan Al-'Uqaili dan Abu Na'im dari Ibnu Abbas, dengan isnad dla'if.

Dan bersabda Nabi saw. :

(Kallimunnaasa bimaa ya'rifuuna wa da'uu maa yankiruuna aturii- duuna an yakdziballaahu wa rasuuluh).
Artinya :
"Berbicaralah dengan orang banyak dengan kata-kata yang dapat dipahaminya dan tinggalkanlah persoalan yang ditantang mereka. Adakah kamu bermaksud bahwa berdusta Allah dan RasulNya?.".(1)
(1) Dirawikan Ai-Bukhari mauquf (terhenti) sampai kepada Ali.

Ini mengenai yang dapat dipahami oleh yang mengucapkannya sendiri. Tetapi tidak sampai dapat dipahami oleh otak yang mendengarnya. Maka betapa pula yang tidak dipahami oleh yang mengucapkannya sendiri?.
Jikalau dipahami oleh yang mengucapkannya tetapi tidak oleh yang mendengarnya, maka tidak boleh diucapkan.
Berkata Nabi Isa as. : "Janganlah kamu letakkan ilmu hikmah pada bukan ahlinya maka kamu berbuat aniaya kepada ilmu hikmah itu. Dan janganlah kamu larang pada ahlinya maka kamu berbuat aniaya kepada ahlinya itu. Hendaklah kamu seperti seorang tabib yang penuh kasih sayang, yang meletakkan obat pada tem- patnya penyakit!".

Menurut susunan yang lain, sabda Nabi Isa itu berbunyi : "Barang siapa meletakkan ilmu hikmah pada bukan ahlinya, maka dia itu orang bodoh. Dan barang siapa melarang pada ahlinya maka dia itu berbuat aniaya. Ilmu hikmah itu mempunyai hak dan ahlinya. Dari itu berilah kepada semua yang berhak akan haknya".

Adapun thammat (pemutaran perkataan-perkataan agama), maka termasuk di dalamnya apa yang kami sebutkan mengenai syathah. Dan suatu hal lain yang khusus dengan thammat itu, yaitu pemutaran perkataan-perkataan agama dari dhahirnya yang mudah dipahami, kepada urusan bathin yang tidak ada padanya menonjol faedahnya. Seumpama kebiasaan golongan kebathinan memutar- balikkan maksud.

Ini juga haram dan melaratnya besar. Karena perkataan-perkataan itu apabila diputar dari tujuan dhahiriahnya, tanpa berpegang teguh padanya, menurut yang dinukilkan dari Nabi saw. dan tanpa suatu kepentingan yang diperlukan sepanjang petunjuk akal pikiran, maka yang demikian itu, membawa hilang kepercayaan kepada perkataan itu sendiri. Dan lenyaplah kegunaan kalam Allah Ta'ala dan kalam RasulNya saw. Lalu apa yang segera terbawa kepada pema- haman, tidaklah dapat dipercayai lagi dan yang bathin itu tak ada ketentuan baginya. Tetapi timbullah pertentangan dalam hati dan memungkinkan penempatan perkataan itu ke dalam beberapa corak.

Ini juga termasuk ke dalam bid'ah yang telah berkembang dan besar kerugiannya.

Sesungguhnya tujuan dari orang-orang pembuat thammat itu ialah menciptakan yang ganjil. Karena jiwa manusia, adalah condong kepada yang ganjil dan merasa enak memperoleh yang ganjil.
Dengan cara yang tersebut, sampailah kaum kebathinan itu meruntuhkan semua syari'at, dengan penta'wilan dhahiriahnya dan menempatkannya menurut pendapat mereka itu sendiri, sebagaimana telfe kami ceriterakan mengenai madzhab-madzhab kaum kebathnan itu dalam kitab"Al-Mustadhhari" yang dikarang untuk menolak golongan tersebut.

Contoh pemutar-balikan (penta'wilan) golongan thammat itu, di antara lain, kata setengah mereka, tentang penta'wilan firman Allah Ta'ala :

(Idzhab ilaa fir'auna innahuu thaghaa) (S. Thaha, ayat 24). Artinya :
"Pergilah kepada Fir'aun itu, sesungguhnya dia itu durhaka".(S. Thaha, ayat 24).

Bahwa itu adalah isyarat kepada hatinya. Dan mengatakan bahwa hatilah yang dimaksud dengan Fir'aun itu. Dan hatilah yang durhaka pada tiap-tiap manusia.
Dan pada firman Allah Ta'ala :

(Wa-an alqi 'ashaaka) (S. Al-Qashash, ayat 31). Artinya :
"Dan campaklah tongkatmu". (S. Al-Qashash, ayat 31).
Lalu perkataan tongkat itu diputar kepada tiap-tiap sesuatu tempat bersandar dan berpegang selain dari Allah Ta'ala. Itulah yang harus dicampakkan dan dibuang jauh.
Dan pada sabda Nabi saw. :

(Tasahharuu fa-inna fis suhuuri barakatan).
Artinya :"Bersahurlah kamu! Karena pada sahur itu ada berkatnya".
Lalu diputarkan kepada meminta ampun kepada Tuhan pada waktu sahur, bukan lagi maksudnya makan sahur itu sendiri (1).
Dan contoh-contoh yang lain, di mana mereka memutar-balikkan Al-Qur-an dari awalnya sampai akhirnya, dari artinya yang dhahir dan dari penafsirannya, yang diterima dari Ibnu Abbas dan ulama- ulama besar lainnya.

Setengah dari pemutar-bali kan itu,dapat diketahui batilnya dengan terang seumpama meletakkan arti Fir'aun kepada hati. Karena Fir'aun itu adalah seorang manusia yang bisa dilihat, yang mutawa tir sejarah menyatakan adanya, di mana Nabi Musa as. menyerukannya kepada agama seperti Nabi Muhammad saw. menyerukan Abu Jahal dan Abu Lahab serta kafir-kafir Iain kepada agama Islam.

Dan tidaklah Fir'aun itu sejenis setan atau malaikat yang tidak bisa dilihat dengan pancaindra, sehingga memerlukan pemutaran pada kata-katanya. Dan demikian pula membawa makan sahur kepada meminta ampun pada Tuhan karena Nabi saw. sendiri makan sahur. (2)

1.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Anas
2.Hadits Nabi saw. makan sahur, dirawikan Al-bukhari dari Anas.


Dan bersabda :"Bersahurlah!". Dan "Marilah kita kepada makanan yang mengandung berkat ini!"(1)
Semuanya itu, dapat diketahui dengan berita yang mutawatir dan dapat dipersaksikan kebatilannya. Sebahagian dapat diketahui dengan berat dugaan. Yaitu yang tidak dapat dipersaksikan oleh pancaindra.
Semua yang diterangkan tadi adalah haram hukumnya, menyesatkan dan merusakkan agama rakyat. Tiada satupun daripadanya diterima dari shahabat, dari tabi'in dan dari Al-Hasan Al-Bashri, yang bertekun melaksanakan da'wah dan pengajaran kepada rakyat banyak. Maka bagi sabda Nabi saw. :

(Man fassaral Qur-aana bira'yihi faiyatabawwa' maq'adahu minan naar).
Artinya "Barangsiapa menafsirkan Al-Qur-an menurut pendapatnya sendiri maka disediakan untuknya suatu tempat dari api neraka". (2)

tiada jelas pengertiannya selain dari cara inilah! Yaitu maksud dan pendapatnya, adalah menetapkan dan membuktikan sesuatu, lalu menarik penyaksian Al-Qur-an kepadanya serta membawa Kitab Suci di luar petunjuk kata-kata, baik menurut bahasanya atau menurut yang dinukilkan (naqliah).

Tiada seyogialah dipahamkan dari penjelasan di atas tadi, bahwa Al-Qur-an tidak boleh ditafsirkan, dengan menggunakan pemahaman yang mendalam dan pemikiran. Karena diantara ayat-ayat suci yang diterima dari para shahabat dan ulama tafsir itu, ada yang mempunyai lima, enam dan sampai tujuh pengertian. Dan semuanya itu tidaklah didengar dari Nabi saw. Kadang-kadang ada yang berla- wanan, yang tidak dapat menerima pengumpulan (disatukan maksud).
Maka, dipakailah pemikiran dan pemahaman dengan maksud yang baik dan mendalam. Dari itu berdo'alah Nabi saw. kepada Ibnu

1.Dirawikan Abu Dawud, An-Nasa'i dan ibnu Hibban dari Al-'lrbadl bin Sariyah.
2.Dirawikan At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas dan dipandangnya hasan (baik).

Abbas ra. : "Ya Allah Tuhanku! Berilah kepadanya (Ibnu Abbas) paham dalam agama dan ajarilah dia penta'wilan (penafsiran)". (1)

Barang siapa membolehkan dari golongan thammat, menggunakan pemutar-balikan seperti itu serta diketahuinya bahwa yang demikian tidaklah yang dimaksud dengan perkataan-perkataan itu dan mendakwakan bahwa tujuannya ialah mengajak manusia kepada Tuhan, maka sikap yang demikian itu, samalah halnya dengan orang yang membolehkan membuat-buat dan mengada-adakan sesuatu terhadap Nabi saw. karena berdasarkan kebenaran tetapi tidak diucapkan oleh agama, seperti orang yang mengadaadakan hadits Nabi saw. dalam suatu persoalan yang dipandangnya benar..
Tindakan yang seperti itu, adalah suatu kedhaliman dan kesesatan serta termasuk ke dalam peringatan Nabi saw. yang dipahami dari sabdanya :

(Man kadzaba 'alayya muta'ammidan fal yatabawwa' maq'adahu minannaar).
Artinya :"Barang siapa berbuat dusta kepadaku dengan sengaja maka ia telah menyediakan tempatnya dari api neraka". (2)

Bahkan adalah amat besar kejahatan dengan memutar-balikkan kata-kata itu. Sebab menghilangkan kepercayaan kepada kata-kata itu sendiri dan melenyapkan jalar. untuk memperoleh faedah dan pemahaman dari Al-Qur-an keseluruhannya.

Maka tahulah kita betapa setan itu memutar-balikkan alat-alat da'wah dari ilmu yang terpuji kepada yang tercela. Semuanya itu adalah perbuatan ulama-uiama jahat dengan menggantikan maksud kata-kata itu.

Jika anda mengikuti mereka karena bepegang kepada nama yang termasyhur itu, tanpa memperhatikan kepada apa yang diketahui pada masa pertama dari Islam, maka adalah anda seumpama orang yang ingin memperoleh kemuliaan dengan ilmu hikmah, lalu mengikuti siapa saja yang bernama ahli hikmah. Sedang nama ahli hikmah dipakai untuk tabib, penyair dan ahli nujum pada masa sekarang. Dan itu adalah disebabkan kelengahan, dari penukaran kata-kata itu.

1.Dirawikan Al-Bukhari dari Ibnu Abbas.
2.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah, Ali dan Anas.

Perkataan kelima : HIKMAH.
Nama ahli hikmah (al-hakim) ditujukan kepada tabib, penyair dan ahli nujum, sehingga juga kepada orang yang memutar-mutarkan undian pada tangan di tepi jalan besar.
Hikmah ialah suatu hal yang dipuji Allah Ta'ala dengan firmannya :

(Yu'til hikmata man yasyaa-u wa man yu'tal hikmata faqad uutiya khairan katsiira).
Artinya :
"DianugerahiNya Hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya dan barang siapa dianugerahi hikmah maka dia telah dianugerahi banyak kebajikan
(S A1_Baqarah> ayat 269).
Dan sabda Nabi saw. :

(Kalimatun minal hikmati yata'allamuharrajulu khairun minaddun yaa wa maa fiihaa).
Artinya :"Satu kalimat dari hikmah yang dipelajari oleh seseorang, adalah lebih baik baginya dari pada dunia serta isinya". (1).

Perhatikanlah, apakah yang diperkatakan tentang hikmah itu dan kemanakah ditujukan! Kemudian bandingkanlah dengan kata-kata yang lain! Dan jagalah diri dari tertipu dengan keraguraguan yang dibuat oleh ulama-ulama jahat! Karena kejahatan mereka kepada agama adalah lebih besar dari kejahatan setan. Sebab dengan perantaraan ulama-ulama jahat itu, setan beransur-ansur mencabut agama dari hati orang banyak.
1.Disebutkan hadits ini terhenti (mauquf) pada Al-Hasan Al-Bashari…

Maka tahulah sudah anda akan ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela serta yang meragukan diantara keduanya. Dan terserahlah kepada anda sendiri untuk memilih, demi kepentingan diri anda sendiri, mengikuti ulama terdahulu (ulama salaf) atau terpesona dengan penipuan lalu terpengaruh dengan ulama terkemudian (ulama khalaf).

Segala ilmu yang mendapat kerelaan dari ulama salaf, sudah tertimbun. Dan apa yang menjadi perpagangan manusia sekarang, sebahagian besar dari padanya adalah bid'ah yang diada-adakan. Benar lah kiranya sabda Nabi saw. :

(Bada-allslaamu ghariiban wa saya 'uudu ghariiban kamaa bada'a fa-thuubaa lilghurabaa-i).
Artinya :"Mulanya Islam itu adalah asing dan akan kembali asing seperti semula. Maka berbuat baiklah kepada orang-orang asing itu!". (2)

Maka ditanyakan kepada Nabi saw. : "Siapakah orang-orang asing itu?".
Nabi menjawab : "Mereka yang memperbaiki apa yang telah dirusakkan manusia dari sunnahku dan mereka yang menghidupkan apa yang telah dimatikan manusia dari sunnahku".
Pada hadits yang lain tersebut : "Orang-orang asing itu, berpegang teguh dengan apa yang kamu pegang sekarang".

Pada hadits lain lagi tersebut : "Orang-orang asing itu adalah manusia yang sedikit jumlahnya, orang-orang baik diantara manusia banyak. Yang memarahi mereka lebih banyak dari pada yang mencintainya". (2)
1.Dirawikan Muslim dari Abi Hurairah.
2.Dirawikan Ahmad dari Abdullah bin 'Amr.

Ilmu-ilmu itu telah menjadi asing. Orang yang mengingatinya dimaki. Karena itu, berkatalah Ats-Tsuri ra. : "Apabila engkau melihat orang 'alim itu banyak teman maka ketahuilah bahwa dia itu bercampur. Karena jika kebenaran yang dikemukakannya maka dia akan dimarahi".


Bersambung penjelasan ilmu yang terpuji……….156
salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Thu Oct 14, 2010 2:08 am

PENJELASAN : Kadar terpuji dari ilmu yang terpuji.

Ketahuilah bahwa dengan memandang yang di atas tadi maka ilmu itu tiga bahagian : satu bahagian yaitu yang tercela sedikitnya dan banyaknya : satu bahagian yaitu terpuji sedikitnya dan banyaknya. Semakin banyak semakin bertambah baik dan utama ; satu bahagian yang terpuji dari padanya sekedar kifayah (mencukupi) saja. Tidak terpuji yang berlebih dan yang mendalam dari padanya.

Yaitu seumpama keadaan tubuh manusia. Diantaranya ada yang terpuji sedikitnya dan banyaknya seperti kesehatan dan kecantik- an. Diantaranya ada yang tercela sedikitnya dan banyaknya seperti keburukan dan kejahatan budi. Dan diantarannya ada yang ter - puji kesederhanaan padanya seperti memberi harta. Kalau boros tidak terpuji walaupun ia memberi juga. Dan seperti berani. Kalau berani membabi buta tidak terpuji walaupun ia termasuk sebangsa berani juga. Maka seperti itu pulalah ilmu.

Maka bahagian yang tercela sedikitnya dan banyaknya, yaitu yang tak adalah faedah padanya, pada agama dan dunia. Karena kemela- ratannya mengalahkan kemanfa'atannya seperti ilmu sihir, mantera dan nujum. Sebahagiannyapun tak ada faedah padanya sekali- kali. Menyerahkan umur yang amat berharga yang dimiliki manusia kepada ilmu itu, adalah menyia-nyiakan. Dan menyia-nyiakan yang amat berharga itu, adalah tercela.

Diantara ilmu itu ada yang memberi melarat melebihi dari dugaan, akan memberi hasil untuk keperluan duniawi. Ilmu yang semacam itu tidak juga masuk hitungan, dibandingkan kepada kemelaratan yang timbul dari padanya.
Adapun ilmu yang terpuji setinggi-tingginya ialah ilmu mengenal Allah Ta'ala, sifatNya, af'alNya, sunnahNya dalam menjadikan makhlukNya dan hikmahNya pada tertibnya akhirat di atas dunia.

Inilah ilmu yang dicari karena ilmu itu sendiri dan karena dengan- nya tercapai kebahagiaan akhirat. Menyerahkan tenaga dengan setinggi-tingginya kesungguhan hati untuk ilmu tadi, adalah di luar batas kewajiban. Ilmu itu adalah laut yang tak diketahui dalamnya. Para perenang hanya dapat merenangi pantai dan tepinya saja sekedar yang mungkin ditempuhnya. Tak dapat menempuh segala tepinya, selain para nabi dan wali serta para ahli ilmu menurut tingkat masing-masing yang berbeda kesanggupan dan berlebih- kurang taqdir yang dianugerahi Allah Ta'ala.

Itulah ilmu maknun (ilmu yang tersembunyi) yang tidak ditulis di halaman kitab. Yang menolong untuk mengetahuinya ialah dengan jalan belajar dan menyaksikan perihal keadaan ulama akhirat, sebagaimana akan datang tanda-tanda mereka.
Ini adalah pada taraf permulaan!

Dan yang menolong kepadanya mengenai akhirat, ialah kesungguhan (mujahadah), latihan (riadlah), kebersihan hati, kebebasan hati dari segala ikatan duniawi dan mencontoh kepada nabi-nabi dan wali- wali, supaya jelas bagi tiap-tiap orang yang pergi mencarinya, sekedar rezeki yang dianugerahkan Tuhan. Tidak sekedar kesungguhan, walaupun kesungguhan itu harus ada.
Kesungguhan itu (mujahadah), adalah kunci petunjuk. Tak ada baginya kunci, selain dari kesungguhan itu.

Adapun ilmu, yang tidak terpuji melainkan sekedar yang tertentu saja daripadanya, ialah ilmu yang telah kami bentangkan dalam golongan ilmu fardlu kifayah.
Sesungguhnya pada tiap-tiap ilmu pengetahuan itu ada yang singkat, yaitu yang sekurang-kurangnya. Ada yang sedang yaitu di tengah- tengah dan ada yang lebih jauh lagi dari yang sedang itu. Itu tidak terselesai sampai akhir hayat.

Maka hendaklah anda, menjadi salah seorang dari dua, adakalanya berusaha untuk diri sendiri d?tn adakalanya berusaha untuk orang lain sesudah menyelesaikan yang untuk diri sendiri itu. Janganlah berusaha untuk orang lain sebelum siap, yang untuk diri sendiri.
Kalau berusaha untuk diri sendiri maka janganlah berusaha selain dengan ilmu yang diwajibkan kepada kita menurut keadaan kita dan yang berhubungan dengan amal dhahiriyah kita seperti mempelajari shalat, bersuci dan berpuasa.

Ilmu yang terpenting yang disia-siakan oleh semua orang, ialah ilmu sifat hati, yang terpuji dan yang tercela daripadanya. Karena tidak ada manusia yang terlepas dari sifat yang tercela seperti loba, dengki, ria, takabur, sombong dan sebagainya.

Semuanya itu membinasakan. Menyia-nyiakan kewajiban tadi serta mementingkan amal dhahiriyah, samalah halnya dengan melakukan perbuatan menggosok badan dhahir ketika menderita penyakit kudis dan bisul dan melupakan mengeluarkan benda penyakit dari tubuh dengan bekam dan cuci perut.

Ulama kosong, menunjukkan jalan kepada amal dhahiriyah, seperti tabib-tabib di jalanan (penjual koyok), menunjukkan jalan dengan menggosok badan dhahiriyah.
Ulama akhirat, tidak menunjukkan jalan selain dengan mensucikan bathin, mencabut benda-benda jahat yang merusakkan tanaman dan akar-akarnya dari hati.

Orang kebanyakan menempuh amal dhahiriyah, tidak amalan bathin, dengan mensucikan hati nurani, adalah disebabkan amal dhahiriyah itu mudah. Sedang amalan hati itu sukar seperti orang yang merasa payah meminum obat yang pahit lalu menempuh kepada menggosok badan dhahir. Maka terus-meneruslah ia payah menggosok dan bertambah pada benda-benda yang digosokkan, sedang panyakitnya terus bertambah juga.

Jika anda menghendaki akhirat, mencari kelepasan dan melarikan diri dari kebinasaan abadi maka berusahalah mempelajari ilmu penyakit bathin dan cara mengobatinya, menurut cara yang kami uraikan pada Bahagian Yang Membinasakan. Kemudian, sudah pasti, hal yang demikian itu membawa anda kepada tempat yang terpuji, yang tersebut nanti pada Bahagian Yang Melepaskan.

Sesungguhnya, hati apabila kosong dari sifat yang tercela, maka penuhlah dia dengan sifat yang terpuji. Dan bumi apabila telah bersih daripada rumput, maka tumbuhlah padanya bermacam-ma- cam tumbuh-tumbuhan dan bunga-bungaan. Jika tidak kosong dari rumput, maka tidaklah tumbuh yang tersebut tadi.
Maka janganlah anda menghabiskan waktu dengan fardlu kifayah, apalagi bila telah berdiri segolongan anggota masyarakat yang mengerjakannya. Orang yang mengorbankan dirinya sendiri untuk kebaikan orang lain, itu bodoh. Alangkah dungunya orang yang telah masuk ular dan kala ke bawah kain bajunya dan akan membu- nuhnya, lalu ia mencari alat pembunuh lalat untuk membunuh lalat itu pada orang lain, yang tidak akan menolong dan melepas- kannya dari ular dan kala itu.

Bila anda telah selesai dari urusan diri sendiri dan diri anda itu telah bersih dan sanggup meninggalkan dosa dhahir dan dosa bathin dan yang demikian itu telah menjadi darah daging dan kebiasaan yang mudah dikerjakan dan tidak akan ditinggalkan lagi, maka barulah anda bekerja dalam lapangan fardlu-kifayah dan peliharalah secara berangsur-angsur. Mulailah dengan Kitab Allah Ta'ala, kemudian dengan Sunnah Nabi saw., kemudian dengan ilmu tafsir dan lain-lain ilmu Al-Qur-an. Yaitu ilmu nasikh dan mansukhnya, mafshul, maushul, muhkam dan mutasyabihnya. Demikian juga dengan sunnah!.

Kemudian berusahalah dengan ilmu furu', yaitu ilmu mengenai madzhab dari ilmu fiqih, tanpa membicarakan masalah khilafiah. Kemudian berpindah kepada ilmu Ushul fiqih. Demikianlah terus sampai kepada ilmu-ilmu yang lain, selama nyawa masih dikandung badan dan selama waktu mengizinkan.

Janganlah anda menghabiskan umur pada suatu pengetahuan saja dari pengetahuan-pengetahuan itu, karena hendak mendalaminya benar-benar. Sebab ilmu itu banyak dan umur itu pendek. Dan ilmu pengetahuan itu adalah alat dan pengantar. Dia tidaklah menjadi tujuan yang sebenarnya, tetapi sebagai alat untuk menuju kepada yang lain.

Dan tiap-tiap yang dicari untuk tujuan yang lain, maka tidaklah layak tujuan yang sebenarnya itu dilupakan, lalu diperbanyakkan yang dicari itu.

Mengenai Ilmu Bahasa umpamanya, singkatkanlah sekedar dapat memahami dan bercakap-cakap dengan bahasa Arab itu. Dan dipelajari yang luar biasa dari ilmu bahasa itu untuk dapat dipahami yang luar biasa pula dari susunan Al-Qur-an dan Al-Hadits. Tinggal- kanlah berdalam-dalam padanya dan singkatkanlah dari ilmu tata- bahasa (ilmu nahwu) itu sekedar yang berhubungan dengan Kitab Suci dan Sunnah Nabi!.

Tidak ada satu ilmupun, melainkan mempunyai yang ringkas, yang sedang dan yang mendalam.
Kami tunjukkan tadi mengenai ilmu hadits, tafsir, fiqih dan ilmu kalam, untuk dapat diambil perbandingan kepada ilmu-ilmu yang lain.

Yang singkat tentang ilmu tafsir adalah, yang banyaknya duakali dari Kitab Suci Al-Qur-an sendiri, seumpama Tafsir yang disusun oleh 'Ali Al-Wahidi An-Naisaburi, yaitu "Al-Wajiz". Yang sedang , adalah sampai tiga kali dari Al-Qur-an sendiri seperti yang disusun oleh 'Ali Al-Wahidi yaitu "Al-Wasith". Dan di balik itu adalah secara mendalam yang tidak diperlukan benar dan tidak akan habis-ha- bisnya selama umur.

Adapun hadits, yang singkat padanya, adalah memperoleh apa yang ada dalam kitab "Shahih Al-Bukhari" dan "Shahih Muslim", dengan meminta pengesahan dari hadits yang dipelajari itu kepada seorang yang berilmu dengan matan (kata-kata) hadits itu.

Mengenai perawi-perawi dari hadits itu, maka anda cukupkan sajalah dengan perawi-perawi sebelum anda sendiri, dengan berpegang kepada kitab-kitab yang ditulis mereka. Tak perlulah kiranya anda menghafal seluruh hadits yang ada dalam kedua "Shahih" itu. Tetapi berusahalah, sehingga apabila memerlukan kepadanya, maka sanggup mencarinya dalam Kitab Hadits yang tersebut tadi.

Mengenai yang sedang pada Hadits ialah dengan menambah kepada kitab shahih yang dua di atas, hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab musnad yang shahih.

Adapun yang meluas dan mendalam ialah di balik yang tadi, sehingga melengkapi kepada seluruh hadits yang diterima, baik yang dl a'if, yang kuat, yang syah dan yang bercacat serta mengetahui pula cara-cara penerimaan hadits itu, keadaan orang-orang yang menjadi perawi hadits. namanya dan sifatnya.
Adapun fiqih, yang singkat padanya ialah apa yang terkandung dalam kitab "Mukhtashar" karangan Al-Mazani ra., kitab mana telah kami susun dalam "Khulashah Al-Mukhtashar".

Yang sedang pada fiqih ialah yang sampai tiga kali banyaknya dari Mukhtashar Al-Mazani, yaitu kira-kira sama dengan isi kitab "Al-Wasith minal madzhab" karangan kami.
Dan yang mendalam ialah melebihi dari apa yang kami muatkan. dalam "Al-Wasith" tadi dan seterusnya sampai kepada kitab yang besar-besar.

Adapun ilmu kalam, maka maksudnya ialah menjaga 'aqidah yang dinukilkan Ahlus sunnah dari ulama salaf yang shalih. Tak lain dari itu.

dan dibalik itu, ialah mempelajari untuk menyingkap hakikat dari segala sesuatu, tanpa cara tertentu.
Yang dimaksud dengan memelihara 'aqidah yang dinukilkan ahlussunnah itu, ialah mencapai tingkat yang ringkas dari padanya dengan 'aqidah yang ringkas. Yaitu sekedar yang kami muatkan dalam kitab "Kaidah-kaidah I'tikad", yang termasuk dalam jumlah Kitab besar ini.

Yang sedang pada ilmu kalam ialah yang sampai kira-kira seratus lembar buku, yaitu sekedar yang kami muatkan dalam kitab "Al- Iqtishad fil I'tiqad".

Pengetahuan sebanyak tadi diperlukan untuk melawan tukang bid'ah dan meri'entang bid'ah yang diada-adakan. Sebab merusakkan dan menghilangkan 'aqidah yang benar dari hati orang awwam.
Usaha tadi tidak ada gunanya, kecuali terhadap orang awwam yang belum fanatik benar.
Terhadap pembuat bid'ah itu sendiri apabila ia sudah mengerti berdebat meskipun sedikit, maka tak ada gunanya lagi berbicara dengan dia. Sebab, walaupun anda telah mematahkan semua keterangannya, dia tidak akan meninggalkan madzhab yang dianutnya. Tetapi dialihnya kepada alasan bahwa dia sendiri yang kekurangan keterangan, sedang pada orang lain dari golongannya, masih ada jawaban dan dalil yang cukup. Jadi, hanya anda saja yang berhadapan dengan dia, dengan kekuatan perdebatan yang cukup.

Adapun orang awwam, apabila telah berpaling dari kebenaran dengan menggunakan perdebatan, maka masih mungkin diajak kembali kepada kebenaran itu, sebelum bersangatan benar fanatiknya kepada hawa nafsunya. Kalau sudah, maka putuslah harapan mengembalikannya. Sebab fanatik adalah suatu unsur yang membawa kepercayaan itu melekat ke dalam jiwa. Dan fanatik itu adalah setengah dari penyakit ulama jahat. Karena ulama jahat itu, bersangatan benar fanatiknya kepada apa yang dianggapnya benar. Dan memandang kepada golongan yang berbeda paham dengan mereka, dengan pandangan menghina dan mengejek. Maka menonjollah sifat-sifat ingin -menentang dan berhadapan. Dan bangkitlah gerakan membela yang batil itu. Dan kokoh kuatlah maksud mereka untuk berpegang teguh kepada apa yang tersebut tadi.

Jikalau sekiranya mereka datang dari segi lemah-lembut dan kasih sayang serta nasehat-menasehati secara berbisik, tidak dalam ton tonan fanatik dan hina-menghina, niscaya mereka mendapat keme- nangan.
Tetapi tatkala kemegahan itu tidak tegak selain dengan mempunyai pengikut dan pengikut itu tidak mudah diperoleh seperti mudah- nya memperoleh fanatik, kutukan dan cacian terhadap lawan, lalu diambilnyalah fanatik menjadi adat kebiasaan dan alat perkakas bagi mereka. Dan disebutnyalah, "untuk mempertahankan aga - ma dan kehormatan kaum muslimin". Pada hal sebenarnya adalah membawa kebinasaan kepada ummat manusia dan menetapkan bid'ah di dalam jiwa.

Adapun masalah khilafiah yang timbul pada masa akhir-akhir ini dan diadakan dengan merupakan karangan, susunan dan perdebatan, yang tak pernah dikenal contohnya pada ulama-ulama terdahulu, maka janganlah anda dekati. Tetapi jauhilah seumpama menja- uhi diri dari racun yang membunuh. Sebab, itu adalah penyakit yang amat membahayakan.

Penyakit itulah yang membawa seluruh ulama fiqhi (fuqaha') suka berlomba-lombadan bermegah-megah, yang akan kami terangkan nanti, celaka dan bahayanya.
Mungkin terdengar orang mengatakan; ''Manusia itu musuh dari kebodohannya". Maka janganlah anda terpesona kepada kata-kata itu, nanti terperosok !

Dari itu, terimalah nasehat ini dari orang (maksudnya : beliau Al- Ghazali ra. sendiri peny.) yang sudah menghabiskan umurnya sekian lama dan menambahkan dari orang-orang terdahulu dengan karangan pembuktian, perdebatan dan penjelasan. Kemudian diilhami Allah dengan petunjuk dan diperlihatkanNya kepada kekurangan diri, lalu berhijrah dan bekerja dengan jiwa-raga.

Janganlah anda tertipu dengan perkataan orang yang mengatakan bahwa fatwa itu tiang syari'at dan tidak diketahui sebab-sebabnya melainkan dengan ilmu khilafiah.

Sebab-sebab dari madzhab adalah tersebut dalam madzhab itu sendiri. Dan penambahan dari padanya adalah merupakan perdebatan yang tidak dikenal oleh orang-orang terdahulu dan oleh para shahabat. Merekalah sebetulnya yang lebih mengetahui dengan sebab- sebab fatwa, dari orang-orang lain.
Bahkan perdebatan (irrujadalah)itu, di samping tak ada faedahnya dalam ilmu madzhab, adalah mendatangkan kemelaratan, yang merusakkan rasa-indah ilmu fiqih.
Orang yang menyaksikan terkaan seorang ahli fatwa (mufti) dalam memberikan fatwanya, apabila benar rasa indah perasaannya kepada fiqih, maka tak mungkinlah jalan pikirannya dalam banyak hal menyetujui syarat-syarat perdebatan itu.

Orang yang sifatnya sudah membiasakan perdebatan, maka hati nuraninya meyakini kepada tujuan perdebatan itu dan tidak berani lagi melahirkan perasaan indah ilmu fiqih.
Orang yang berbuat serupa itu adalah mencari kemasyhuran dan kemegahan, dengan mempertopengkan ingin mempelajari sebab- sebab dari madzhab. Kadang-kadang umurnya habis di situ saja dan tak beralih cita-citanya kepada ilmu pengetahuan madzhab itu.

Maka peliharalah dirimu dari setan jin. Dan waspadalah dari setan manusia. Karena setan manusia itu memberi kesempatan beristirahat bagi setan jin dari keletihan menipu dan menyesatkan.

Pendek kata, yang baik bagi orang yang berakal budi, ialah mengumpamakan dirinya di alam ini sendirian beserta Allah. Dihadap annya mati, bangkit, hisab amalan, sorga dan neraka.
Maka perhatikanlah apa yang engkau perlukan dihadapanmu kelak dan tinggalkanlah yang lainnya. Wassalam!.
Ada sebahagian syeikh tasawwuf memimpikan sebagian ulama dalam tidurnya, seraya menanyakan : "Apa kabar ilmu yang tuan perdebatkan dahulu dan pertengkarkan ?".

Ulama itu membuka tangannya dan menghembuskannya seraya berkata : "Semuanya menjadi abu yang beterbangan. Tak ada yang berguna selain dari dua raka'at shalat yang aku kerjakan dengan ikhlas di tengah malam sepi".

(Maa dlalla qaumun ba'da hudan kaanuu 'alaihi illaa uutul jadala).
Artinya :"Tak sesatlah sesuatu golongan sesudah ada petunjuk padanya selain orang-orang yang suka bertengkar". (1).(1) Dirawikan At-Tlrmidzl dan Ibnu Majah dari Abi Amamah. Kata At-Tirmidzt : Hasan shahih.
Pada hadits tersebut :
Kemudian Nabi saw. membaca :

(Maa dlarabuuhu laka illaa jadala. Bal hum qaumun khashimuun).
Artinya :"Mereka menimbulkan soal itu hanyalah untuk membantah saja. Sebenamya, mereka adalah kaum yang suka bertengkar".
(S. Az-Zukhruf, ayat 58).
Mengenai firman Allah Ta'ala :

(Fa ammalladziina fii quluubihim zaighim).
Artinya :
"Adapun orang-orang yang hatinya cenderung kepada kesalahan".
(S. Ali 'Imran, ayat 7).
maka tersebutlah dalam suatu hadits bahwa : "orang-orang itu ialah mereka yang suka bertengkar yang diperingati Allah dengan
FirmanNya :

(Fah dzarhuiqj (S. Al-Munafiqun, ayat 4). Artinya :
"Maka berhati-hatilah terhadap mereka itu".
(S. Al-Munafiqun, ayat 4).
Berkata sebahagian salaf : "Akan ada pada akhir zaman suatu kaum yang menguncikan pintu amal dan membukakan pintu pertengkaran".
Pada sebahagian hadits tersebut :

Artinya :
"Sesungguhnya kamu berada pada suatu zaman yang diilhami dengan amal dan akan datang suatu kaum yang diilhami dengan pertengkaran". (1)
Pada suatu hadits yang-terkenal tersebut :

(Abghadlul khalqi ilallaahi ta'aalal aladdul khashmu). Artinya :
"Manusia yang amat dimarahi Allah Ta'ala ialah yang suka bertengkar". (2)
Dan pada hadits lain :

(Maa uutiya qaumul manthiqa illaa muni'ul 'amala). Artinya :
"Tidak diberikan kepada suatu kaum akan bijak berkata-kata, kecuali mereka itu meninggalkan bekerja

1.Wallahu a'lam. (Allah Yang Maha Tahu).
2.Menurut Al-lraqi, bahwa ia tidak pernah menjumpai hadits ini.
3. Dirawikan Al-Sukhari dan Muslim dari 'Aisyah ra. Menurut Al-lraql, ia tidak pernah menjumpai hadits ini.
salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Sun Oct 17, 2010 5:47 am

B; Keempat: Mengenai Sebabnya manusia suka kepadaIlmu kilafiah. Penguraiah bahaya perdebatan dan pertengkaran. Syarat syarat pembolehannya.

Ketahuilah bahwa jabatan khalifah sesudah Nabi saw. dipegang oleh khulafa' rasyidin dengan petunjuk Allah (yaitu : Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali). Mereka adalah imam, ahli ilmu dan paham segala hukum Allah. Bebas mengeluarkan fatwa dan sanggup menyelesaikan segala peristiwa hukum. Tak usah meminta bantuan ahli-ahli hukum Islam (fuqaha'). Kalau pun ada maka amat jarang sekali, yaitu mengenai peristiwa-peristiwa yang harus dimusyawarahkan.

Dari itu, maka para alim ulama dapat menghadapkan perhatian dan segala kesungguhannya kepada ilmu akhirat. Menolak menge¬luarkan fatwa dan apa yang ada hubungannya dengan hukum duniawi. Mereka menghadapkan diri dengan kesungguhan yang maksi- mal kepada Allah Ta'ala, sebagaimana dapat dibaca dalam riwayat hidup park alim ulama itu sendiri.

Sewaktu jabatan khalifah jatuh ke tangan golongan-golongan sesu¬dah khulafa rasyidin itu, yang mengendalikan pemerintahan tanpa hak dan kesanggupan dengan ilmu yang berhubungan dengan fatwa dan hukum maka terpaksalah meminta tolong kepada para fuqaha* dan mengikut-sertakan mereka dalam segala hal untuk meminta fatwa waktu menjalankan hukum.

Dalam pada itu, masih ada juga diantara para ulama tabi'in, yang tetap dalam suasana yang lampau, berpegang teguh kepada tradisi agama, tidak melepaskan ciri-ciri ulama salaf (ulama terdahulu). Mereka ini bila diminta, lalu melarikan diri dan menolak. Sehingga terpaksalah para khalifah itu melakukan paksaan dalam pengangkatan anggota kehakiman dan pemerintahan.

Maka kelihatanlah kepada rakyat umum kebesaran ulama dan perhatian para pembesar dan wali negara kepada mereka. Sedang da¬ri pihak alim ulama itu sendiri, menolak dan menjauhkan diri. Lalu rakyat umum tampil menuntut ilmu pengetahuan, ingin mem Perolihi kemuliaan dan kemegahan dari para pembesar negeri. Mereka tekun mempelajari ilmu yang berhubung dengan fatwa dan hukum. Kemudian datang memperkenalkan diri kepada para wali negeri, memohonkah kedudukan dan jabatan.

Diantaranya ditolak dan ada juga yang diterima. Yang diterima tidak luput dari kehinaan meminta-minta dan mohon dikasihani. Maka jadilah para fuqaha itu meminta sesudah tadinya diminta. Hina dengan menyembah-nyembah kepada pembesar sesudah tadi¬nya mulia dengan berpaling dari penguasa-penguasa itu. Yang terlepas dari keadaan tersebut ialah orang-orang dari para ulama agama Allah yang memperoleh taufiq dari padaNya.

Amat besar perhatian pada masa itu kepada ilmu fatwa dan hukum karena sangat diperlukan, baik didaerah-daerah atau di pusat pe merintahan.

Sesudah itu lahirlah dari orang-orang terkemuka dan pembesar- pembesar golongan yang suka memperhatikan percakapan manusia tentang kaidah-kaidah kepercayaan dan tertarik hatinya mendengar dalil-dalil yang dikemukakan. Maka timbullah kegemaran bertukar- pikiran dan berdebat dalam ilmu kalam. Perhatian orang banyak- pun tertumpah kepada ilmu itu. Lalu diperbanyak karangan dan disusun cara berdebat. Dan dikeluarkanlah ulasan tentang mana kata-kata yang bertentangan.

Mereka mendakwakan bahwa tujuannya ialah mempertahankan agama Allah dan Sunnah Nabi saw. serta membasmi bid'ah sebagaimana orang-orang sebelum mereka ini, mendakwakan untuk agama dengan bekerja dalam lapangan fatwa dan mengurus peri hal hukum. Karena belas-kasihan kepada makhluk Tuhan dan un¬tuk pengajaran kepada mereka.

Sesudah itu muncul lagi, dari kalangan terkemuka orang-orang yang memang tidak benar terjun ke dalam ilmu kalam dan membuka pintu perdebatan didalamnya. Sebab telah menimbulkan kefanatikan yang keji dan permusuhan yang meluap luap, yang membawa kepada pertumpahan darah dan penghancuran negeri. Tetapi golongan ini tertarik kepada bertukar-pikiran tentang fiqih dan khusus memperbandingkan mana yang lebih utama diantara madzhab Syafi'i dan madzhab Abu Hanifah ra.

Maka manusia-pun meninggalkan ilmu kalam dan bahagian-bahagi- annya, terjun ke dalam masalah-masalah khilafiah antara aliran Syafi'i dan Abu Hanifah khususnya. Dan tidak begitu mementingKan tentang khilafiah yang terjadi antara malik,sufyan, atsuri dan Ahmad ra. serta ulama-ulama lainnya. Mereka mendakwakan bahwa maksudnya adalah mencari hukum agama secara mendalam, menetapkan alasan-alasan madzhab dan memberikan kata pengantar bagi pokok-pokok fatwa. Lalu diperbanyak karangan dan pemahaman hukum, disusun bermacam-macam cara berdebat dan mengarang.

Keadaan itu diteruskan mereka sampai sekarang. Kami tidak dapat meneka, apa yang akan ditaqdirkan Tuhan sesudah kami, pada masa-masa yang akan datang.

Maka inilah kiranya penggerak kepada orang sampai bertekun da¬lam masalah khilafiah dan perdebatan. Tidak lain!

Kalaulah condong hati penduduk dunia untuk berselisih dengan imam yang lain dari imam-imam tadi atau kepada ilmu yang lain dari bermacam-macam ilmu pengetahuan, maka golongan yang tersebut di atas akan tertarik juga dan tidak tinggal diam dengan alasan bahwa apa yang dikerjakannya itu adalah ilmu agama dan tujuannya tak lain dari pada mendekatkan diri kepada Tuhan seru se kalian alam.

PENJELASAN: Penipuan tentang samanya perdebatan itu dengan musyawarah para shahabat dan pertukar-pikiran ulama salaf.( kononnya perdebatan mereka itu sama dengan Musyawarah ulama salaf)
Ketahuilah bahwa golongan tersebut, kadang-kadang menjerumuskan manusia ke dalam pahamnya dengan mengatakan : "Bahwa maksud kami dari perdebatan itu mencari kebenaran supaya kebe¬naran itu nyata, karena kebenaranlah yang dicari. Bertolong-tolongan membahas ilmu dan melahirkan isi hati itu, ada faedah dan gunanya. Dan begitulah 'adat kebiasaan para shahabat ra. dalam bermusyawarah yang diadakan mereka seperti musyawarah menge¬nai masalah nenek Iaki-laki, saudara laki-laki (dalam soal warisan), hukuman minum khamar, kewajiban membayar atas imam (kepala pemerintahan) apabila ia bersalah. Seperti kejadian seorang wanita keguguran kandungannya karena takut kepada Umar ra. dan seperti masalah pusaka dan lainnya. Dan seperti persoalan-persoalan yang diterima dari Asy-Syafi’i, Ahmad, Muhammad bin Al-Hasan, Malik, Abu Yusuf dan lainnya dari para ulama. Kiranya dirahmati Allah mereka itu sekalian!".

Akan tampak kepada anda penipuan itu, dengan apa yang akan saya terangkan ini. Yaitu, benar bahwa bertolong-tolongan mencari kebenaran itu sebahagian dari agama. Tetapi mempunyai syarat dan tanda yang delapan macam :

PERTAMA : bahwa tidak bekerja mencari kebenaran yang termasuk dalam fardlu-kifayah itu, orang-orang yang belum lagi menyelesaikan fardlu 'am. Dan orang yang masih berkewajiban dengan sesuatu fardlu 'ain, lalu mengerjakan fardlu-kifayah dengan dakwaan bahwa maksudnya benar, adalah pendusta. Contohnya seumpama orang yang meninggalkan shalatnya sendiri, bekerja menyedia- kan kain dan menjahitkannya dengan mengatakan : "Bahwa maksudku hendak menutup aurat orang yang bershalat telanjang dan tidak memperoleh kain".

Penjawaban itu mungkin cocok dan bisa saja terjadi, seumpama apa yang didakwakan oleh ahli fiqih, bahwa kejadian hal-hal yang luar biasa, yang menjadi bahan pembahas dan perselisihan itu, bukan tidak mungkin.
Yang jelas, orang-orang yang 'asyik bertengkar itu, menyianyiakan urusan yang telah disepakati atas fardlu 'ainnya. Orang yang dihadapkan kepadanya untuk mengembalikan barang simpanan sekarang juga, lalu tegak berdiri bertakbir melakukan shalat suatu ibadah yang mendekatkan manusia kepada Tuhannya,adalah berdosa.


Jadi tidak cukup untuk menjadi seorang yang ta'at, sebab perbuatannya termasuk perbuatan ta'at, sebelum dijaga padanya waktu, syarat dan tata-tertib pada mengerjakannya.

KEDUA : bahwa tidak melihat fardlu-kifayah itu lebih penting dari perdebatan. Jika ia melihat ada sesuatu yang lebih penting, lalu mengerjakan yang lain maka berdosalah ia dengan sikapnya itu. Contohnya seumpama orang yang melihat serombongan orang ke- hausan yang hampir binasa dan tak ada yang menolongnya. Orang tadi sang'gup menolong dengan memberikan air minum. Tetapi dia pergi mempelajari berbekam dengan mendakwakan bahwa pelajaran berbekam itu termasuk fardlu-kifayah dan kalau kosong negeri dari pengetahuan berbekam maka akan binasalah manusia. Dan kalau dikatakan kepadanya bahwa dalam negeri banyak ahli bekam dan Lebih dari cukup lalu di jawabnya bahawa ia tidak dapat merobah pekerjaan berbekam menjadi tidak fardlu kifayah lagi. Maka peristiwa orang yang pergi mempelajari berbekam dan menyia-nyiakan nasib orang yang menghadapi bahaya kehausan itu, dari orang muslimin, samalah halnya dengan peristiwa orang yang 'asyik mengadakan perdebatan sedang dalam negeri terdapat banyak far¬dlu kifayah yang disia-siakan, tak ada yang mengerjakannya.

Mengenai fatwa maka telah bangun segolongan manusia melaksanakannya.
Tak ada satu negeripun yang didalamnya fardlu kifayah, yang tidak disia-siakan. Dan para ulama fiqih tidak menaruh perhatian kepadanya. Contoh yang paling dekat ialah ilmu kedokteran. Hampir seluruh negeri tidak didapati seorang dokter muslim yang boleh diperpegangi kesaksiannya mengenai sesuatu yang dipegang pada agama atas adpis dokter. Dan tak ada seorangpun dari pada ahli fiqih yang suka bekerja dalam lapangan kedokteran.

Begitu pula amar ma'ruf dan nahi munkar, termasuk dalam fardlu kifayah. Kadang-kadang seorang pendebat dalam majlis perdebatan melihat sutera dipakai dan dipasang pada tempat duduk. Dia tinggal berdiam diri dan terus berdebat dalam persoalan, yang sekalipun tak pernah terjadi. Kalaupun terjadi maka bangunlah serombongan fuqaha' menyelesaikannya. Kemudian mendakwakan bahwa mak- sudnya dengan fardlu kifayah tadi, ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.
Diriwayatkan Anas ra. bahwa orang bertanya kepada Nabi saw. :
(Mataa yutrakul amru bilma'ruufi wannahyu 'anil munkar) Artinya :
"Bilakah amar ma'ruf dan nahi munkar itu ditinggalkan orang?".
Maka menjawab Nabi saw. :

Artinya :"Apabila telah lahir sifat berminyak air dalam kalangan orang pilihan dari kamu dan perbuatan keji dalam kalangan orang jahat dari kamu dan berpindah pemerintahan dalam kalangan orang-orang kecil dari kamu dan fiqih (hukum) dalam kalangan orang-orang yang hina dari kamu (1). 1.Dirawlkan Ibnu Majah dengan isnad hasan.

KETIGA : bahwa adalah seorang pendebat itu mujtahid, berfatwa dengan pendapatnya sendiri, tidak dengan madzhab AsySyafi'i, Abi Hanifah dan lainnya. Sehingga apabila lahirlah kebenaran dari madzhab Abi Hanifah maka ditinggalkannya yang sesuai dengan pendapat Asy-Syafi'i dan berfatwalah dia menurut kebenaran itu seperti yang diperbuat para shahabat ra. dan para imam.

Adapun orang, yang tidak dalam tingkat ijtihad dan memang begitulah keadaan orang sekarang maka berfatwalah dia dalam persoalan yang ditanyakan kepadanya menurut madzhab yang dianutnya. Kalau ternyata lemah madzhabnya maka tak boleh ditinggalkannya.

Dari itu, apakah faedahnya ia mengadakan perdebatan, sedang madzhabnya sudah dikenal dan dia tak boleh berfatwa dengan yang lain?

Kalau ada yang sulit, dia harus mengatakan : "Semoga ada jawaban tentang ini pada yang empunya madzhabku. Karena aku tidak berdiri sendiri dengan berijtihad pada pokok-pokok agama".

Kalau ada pembahasannya mengenai persoalan yang mempunyai dua pendapat atau dua kata (qaul) dari yang empunya madzhab itu sendiri, maka dalam hal ini dapat meragukan baginya. Mungkin dia berfatwa dengan salah satu dari dua pendapat itu, karena sepanjang penyelidikannya, ia condong kepada yang satu itu. Maka tak adalah sekali-kali jalan untuk berdebat dalam hal tersebut.

Tetapi mungkin pula, ditinggalkannya persoalan yang mempunyai dua pendapat atau kata itu dan dicarinya persoalan yang ada perselisihan pendapat padanya sudah pasti.

KEEMPAT : bahwa tidak diperdebatkan selain dalam persoalan yang terjadi atau biasanya akan terjadi dalam masa dekat. Karena para shahabat ra. tidak mengadakan musyawarah selain dalam persoalan yang selalu terjadi atau biasanya terjadi seumpama persoalan warisan (faraid).

Tetapi, kami tidak melihat tukang berdebat itu mementingkan pengecaman dengan mengeluarkan fatwa tentang persoalan yang se¬ring terjadi. Akan tetapi mereka memukul tambur dengan suara nyaring, supaya lingkaran pertengkaran itu semakin meluas dengan tak memikirkan apa yang akan terjadi.
Kadang-kadang ditinggalkan mereka persoalan yang banyak terjadi itu dengan mengatakan : "Itu soal kabar angin atau soal yang diketepikan yang tak layak diperdengarkan".

Yang mengherankan, ialah tujuan mereka mencari kebenaran. Tetapi persoalan yang semacam itu ditinggalkan, beralasan kabar angin. Dan pada kabar angin tak dapat diperoleh kebenaran. Atau persoalan itu tak layak diketengahkan ke muka umum. Mengenai hal ini, tak usah kami perpanjang kalam. Menuju kepada kebenar¬an biarlah dengan kata yang ringkas, lekas menyampaikan kepada maksud, tidak berpanjang-panjang.

KELIMA : bahwa perdebatan itu lebih baik diadakan pada tempat yang sepi dari pada dihadapan orang ramai dan di muka para pem- besar dan penguasa-penguasa. Pada tempat yang sepi, pemikiran itu dapat dipusatkan dan lebih layak untuk memperoleh kejernihan hati, pikiran dan kebenaran.
Kalau di muka umum, dapat menggerakkan ria, mendorong masing- masing pihak untuk menjadi pemenang, benar dia atau salah.


Anda tahu bahwa orang suka ke tempat umum dan dihadapan orang banyak, tidaklah karena Allah Ta'ala. Kalau di tempat yang sepi, masing-masing mau memberikan kesempatan waktu kepada kawannya untuk berpikir dan berdiam diri. Kadang-kadang dimajukan sa ran dan dibiarkan tidak menjawab dengan cepat.Tetapi bila di muka umum atau dihadapan pertemuan besar, ma¬sing-masing pihak tidak mau meninggalkan kesempatan, sehingga mau dia saja yang berbicara.

KEENAM : bahwa dalam mencari kebenaran itu, tak ubahnya seperti orang mencari barang hilang. Tak berbeda antara diperolehnya sendiri atau orang lain yang menolongnya.Dia memandang temannya berdebat itu penolong,bukan musuh. Diucapkannya terima kasih, waktu diberitahukannya kesalahan dan
dilahirkannya kebenaran. Seumpama kalau dia mengambil jafem mencari barangnya yang hilang, lalu temannya memberitahukan bahwa barang yang hilang itu. berada pada jalan yang lain, Tentu akan diucapkannya terima kasih, bukan dimakinya. Tentu akan dimuliakannya dan disambutnya dengan gembira.

Demikianlah adanya musyawarah para shahabat Nabi saw. itu. Seorang wanita pernah membantah keterangan Umar ra. dan mene- rangkan kepadanya yang benar, di waktu Umar sedang berpidato dihadapan rakyat banyak.
Maka menjawab Umar : "Benar wanita itu dan salah laki-laki ini!".
Bertanya seorang laki-laki kepada Ali ra. Lalu Ali memberi penjawaban atas pertanyaan itu.
Lalu menyahut laki-laki tadi : "Bukan begitu wahai Amirul mu' minin. Tetapi bagini begini!".
Maka menjawab Ali: "Anda benar dan aku salah. Di atas tiap-tiap yang berilmu, ada lagi yang lebih berilmu".
Ibnu Mas'ud menyalahkan Abu Musa Al-Asy'ari ra. dalam suatu persoalan. Maka berkata Abu Musa : "Janganlah kamu bertanya kepadaku tentang sesuatu, selama tokoh ini masih dihadapan ki¬ta".

Persoalan itu yaitu Abu Musa ditanyakan tentang orang yang berperang sabilullah lalu tewas, maka menjawab Abu Musa : "Masuk sorga".
Abu Musa ketika itu menjadi amir di Kufah.
Tatkala mendengar pfenjawaban Abu Musa tadi, maka bangun Ibnu Mas'ud seraya berkata : "Ulang lagi pertanyaan tersebut kepada Amir itu, barangkali dia belum mengerti!".
Yang hadlir mengulangi lagi pertanyaan di atas dan Abu Musa men¬jawab pula seperti tadi. Maka berkata Ibnu Mas'ud : "Saya menga¬takan bahwa jika orang itu tewas maka ia memperoleh kebenaran, maka dia dalam Sorga".

Maka menjawab Abu Musa : "Yang benar ialah yang dikatakan Ibnu Mas'ud!'.
Demikianlah kiranya keinsyafan bagi orang yang mencari kebenar-an.Kalau umpamanya seperti itu sekarang dikatakan kepada seorang Ahli fiqih keber kecil sahaja tentu di bantahnya dan dikesampingkan riya dengan mengatakan : 'Tak perlu dikatakan, -diperolehnya kebenaran-, sebab hal itu semua orang sudah tahu".
Lihatlah tukang-tukang berdebat masa kita sekarang ini, apabila kebenaran itu datang dari mulut lawannya, maka hitamlah mukanya. Dia merasa malu dan berusaha sekuat tenaganya, menentang kebe¬naran tadi. Dan betapa pula dicacinya terus-menerus selama hidup- nya, orang yang telah mematahkan keterangannya itu.
Kemudian tidak pula malu menyamakan dirinya dengan para shaha¬bat ra. tentang bekerja sama dan tolong-menolong mencari kebenar¬an.

KETUJUH : Jangan dilarang teman yang berdebat, berpindah dari satu dalil ke lain dalil dan dari satu persoalan ke lain persoalan. Demikianlah adanya perdebatan ulama salaf pada masa yang lampau.
Tetapi sekarang lain, dari mulut orang berdebat itu meluncur selu¬ruh bentuk pertengkaran yang tidak-tidak, baik terhadap dirinya sendiri atau terhadap orang lain. Seumpama katanya : "Ini tidak perlu saya sebutkan. Itu bertentangan dengan keterangan saudara yang pertama. Dari itu tidak diterima".
Sebenarnya, kembali kepada kebenaran adalah merombak yang batil dan wajib diterima. Anda melihat sekarang seluruh majelis perdebatan, habis waktunya menolak dan bertengkar, sampai mem¬beri keterangan dengan alasan-alasan sangkaan.

Untuk menolak alasan tadi, lalu yang sepihak lagi bertanya : "Apa keterangannya, maka untuk menetapkan hukum masalah itu, didasarkan kepada alasan tadi?".

Pihak pertama menolak dengan mengatakan : "Itulah yang ada padaku. Kalau ada pada saudara yang lebih terang dan kuat dari itu, coba terangkan supaya saya dengar dan saya perhatikan!".
Maka terus-meneruslah orang itu bertengkar dan menyebut kata- kata yang lain lagi yang tidak saya sebutkan tadi, seumpama : "Sa¬ya tahu, tetapi tidak mau saya sebutkan, sebab tidak perlu saya menyebutkannya!
Yang sepihak lagi mendesak untuk diterangkan apa yang disebutnya itu. Tetapi pihak yang kedua ini tetap menolak.

Berjela-jela majelis perdebatan itu dengan bersoal dan berjawab.
Pihak yang mengatakan bahwa dia tahu/tetapi tidak bersedia menerangkannya, beralasan tidak perlu, adalah bohong, membohongi agama. Karena bila sebenarnya ia tidak tahu, tetapi mengatakan tahu supaya lawannya lemah, maka dia itu adalah seorang fasiq pendusta, durhaka kepada Allah dan berbuat yang dimarahi Allah dengan mengatakan tahu, padahal tidak.


Kalau benar ia tahu, maka dia menjadi seorang fasiq karena menyembunyikan apa yang diketahuinya dari ilmu agama, sedang saudara- nya seagama telah bertanya untuk mengerti dan mengetahuinya. Kalau saudara seagama itu seorang yang berilmu, maka dia dapat kembali kepada kebenaran. Kalau seorang yang berilmu kurang, maka lahirlah kekurangannya dan dapatlah ia keluar dari kegelapan bodoh kepada sinar ilmu yang terang-benderang.

Dan tak khilaf lagi bahwa mslahirkan apa yang diketahui dari ilmu agama setelah ditanyakan, adalah wajib dan perlu.

Dari itu, katanya : "Tidak perlu bagi saya menyebutkannya" adalah berlaku perkataan itu dalam perdebatan yang diadakan untuk me- menuhi hawa nafsu dan ingin mencari jalan untuk melepaskan diri. Kalau bukan demikian, maka menerangkan yang diketahui itu adalah wajib sepanjang agama. Maka dengan enggannya menerangkan, jadilah dia pendusta atau fasiq.

Perhatikanlah musyawarah para shahabat ra. dan bersoal jawab para ulama salaf! Adakah anda mendengar semacam itu? Adakah dilarang orang berpindah dari satu dalil ke dalil yang lain, dari qias ke perkataan shahabat dan dari hadits ke ayat? Tidak, batikan seluruh perdebatan mereka termasuk ke dalam golongan tadi. Karena mereka menyebutkan apa yang terguris di hati, dengan tidak sembunyi-sembunyi. Dan masing-masing mendengamya dengan penuh perhatian.

KEDELAPAN : bahwa perdebatan itu diadakan dengan orang yang diharapkan ada faedanya bagi orang itu, seperti orang yang se¬dang menuntut ilmu.
Biasanya sekarang, orang menjaga jangan sampai berdebat dengan tokoh-tokoh yang terkemuka dalam lapangan ilmu pengetahuan. Karena takut nanti lahir
kebenaran dari mulut mereka. Dari itu dipilih dengan orang yang lebih rendah ilmunya, karena mengharap yang batil itu bisa laris.


Di balik syarat-syarat yang tersebut, ada lagi beberapa syaiat yang penting juga. Tetapi dengan syarat yang delapan itu, cukuplati kira- nya memberi petunjuk kepada anda, siapa kiranya yang berdebat karena Allah dan siapa yang berdebat karena sesuatu maksud.

Ketahuilah secara keseluruhan, bahwa orang yang tidak mendebati setan, di mana setan itu ingin menguasai hatinya dan musuhnya yang terbesar, yang senantiasa mengajaknya kepada kebinasaan, lalu tampil mendebati orang lain mengenai masalah-masalah, di ma¬na seorang mujtahid memperoleh pahala atau mendapat bahagian dari orang yang memperoleh pahala, maka orang tersebut membawa tertawaan setan dan menjadi ibarat bagi orang-orang yang ikhlas,

Karena itu, waspadalah terhadap tipuan setan, yang selalu berusaha menjerumuskan manusia ke dalam kegelapan bahaya yang akan kami perinci dan menerangkan penjelasannya.
Kepada Allah Ta'ala kita meminta pertolongan yang baik serta taufiq!.
salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Sun Oct 17, 2010 5:51 am

PENJELASAN: Bahaya berdebat (bermunadharah) dan hal-hal yang terjadi dari padanya, tentang kerusakan budi.

Ketahuilah dan yakinlah bahwa perdebatan yang diadakan dengan tujuan mencari kemenangan, menundukkan lawan, melahirkan kelebihan dan kemuliaan diri, membesarkan mulut di muka orang banyak, ingin kemegahan dan kebebasan serta ingin menarik per- hatian orang, adalah sumber segala budi yang tercela pada Allah dan terpuji pada Iblis musuh Allah. Hubungannya kepada sifat-sifat kekejian bathin, seumpama takabur, 'ujub, dengki, ingin di muka, menyangka diri bersih, suka kemegahan dan lainnya, adalah seum¬pama hubungan minum khamar kepada sifat-sifat kekejian dhahir, seumpama zina, menuduh orang berbuat zina (qazaf), membunuh dan mencuri.

Sebagaimana orang yang disuruh memilih antara minuman yang memabukkan dan perbuatan-perbuatan keji yang lain, lalu dianggap- nya minuman itu lebih enteng maka minumlah dia. Lalu oleh minuman itu, diajaknya ketika sedang mabuk, kepada perbuatan-perbuatan keji yang lain, maka demikian pulalah orang yang didesak oleh keinginan menjatuhkan orang lain, memperoleh kemenangan dalam perdebatan, kemegahan dan keangkuhan, mengajaknya ke¬pada bermacam-macam sifat keji yang tersembimyi dalam jiwanya- Dan menggelagaklah padanya segala budi pekerti yang tercela.

Segala budi pekerti itu akan diterangkan nahti dalil-dalilnya, baik hadits atau ayat yang menyatakan tercelanya pada : "Bahagian Sifat-sifat Yang Membinasakan".
Sekarang kami tunjukkan keseluruhan sifat-sifat jahat yang ditim- bulkan oleh munadharah itu. Diantaranya : "dengki".

Seorang pendebat tidak terlepas dari sifat dengki. Karena dia sekali menang, sekali kalah. Sekali kata-katanya dipuji orang dan sekali kata-kata lawannya dipuji orang. Selama di dunia ini ada orang yang dipandang lebih banyak ilmunya dan pemandangannya atau disangka lebih cakap dan lebih kuat pemandangannya, maka selama itu pula, ada orang yang dengki kepadanya dan mengharap nikmat itu hilang dan berpindah kepada orang yang dengki itu.

Dengki adalah api yang membakar. Orang yang menderita penyakit dengki, di dunia beroleh 'azab sengsara dan di akhirat lebih hebat dan dahsyat lagi. Karena itulah, berkata Ibnu Abbas ra. : "Ambillah ilmu pengetahuan di mana saja kamu dapati. Dan janganlah kamu terima perkataan fuqaha', karena diantara sesama mereka itu berselisih satu sama lainnya, seperti berselisihnya kambing-kambing jantan dalam kandang".
Diantara sifat-sifat jahat itu : takabur dan mau tinggi sebenang dari orang lain.
Bersabda Nabi saw. :

(Man takabbara wa dla'ahullaahu wa man tawaadla'a rafa'ahullaahu)
Artinya :"Barangsiapa takabur, niscaya direndahkan oleh Tuhan dan barang siapa merendahkan diri, niscaya ditinggikan oleh Tuhan". (1)
Bersabda Nabi saw. menceriterakan firman Allah Ta'ala :

(Al-adhamatu izaarii wal kibriyaa-u ridaa-ii faman naaza 'anii fiihi- maa qashamtuhu).
Artinya :Kebesaran itu kain sarungKu, takabur itu selendangKu. Maka barangsiapa bertengkar denganKu tentang yang dua itu, niscaya Aku binasakan dia". (2)

Selalulah orang yang berdebat itu menyombong terhadap teman dan kawannya, ingin lebih tinggi dari yang wajar. Sehingga mereka berperang tanding dalam majelis perdebatan, berlomba-lomba me- ninggi dan merendahkan, mendekati dan menjauhkan diri dari tiang tengah, dahulu mendahulukan masuk pada jalan yang sempit.

Kadang-kadang si bodoh dan si keras kepala dari mereka, mengemukakan alasan bahwa maksudnya dengan perdebatan itu memelihara kemuliaan ilmu dan "bahwa orang mu'min itu dilarang meng- hinakan diri". Lalu mengatakan tentang sifat merendahkan diri (tawadlu') yang dipujikan Allah dan para NabiNya dengan menghinakan diri dan tentang sifat takabur yang dicelai Allah dengan memuliakan agama, merupakan penyelewengan nama dan menyesatkan orang banyak, sebagaimana yang telah diperbuat terhadap nama hikmah, ilmu dan lainnya.
Diantara sifat-sifat jahat itu : dendam.
Hampir seluruh orang yang suka berdebat, tidak terlepas dari sifat pendendam.
Nabi saw. pernah bersabda : "Orang mu'min tidaklah pendendam ".(3)
1.Dirawikan Al-Khatib dari Umar dengan isnad shahih.
2.Dirawikan Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ibnu Hlbban dari Abu Hurairah.
3. Al-lraqi, dia tidak pernah menjumpai hadits ini.


Banyak dalil yang mencela sifat pendendam itu, yang tak tersembunyi lagi.
Seorang yang mengambil bahagian dalam perdebatan, tidak sanggup membersihkan jiwanya dari sifat pendendam, terhadap orang yang menyambut dengan baik keterangan lawannya, sedang terha¬dap keterangannya sendiri dipandang sepi dan tidak diperhatikan dengan baik.
Apabila dilihatnya demikian, maka bersemilah dalam hatinya penyakit dendam, makin lama makin mendalam. Akhirnya menjadi sifat munafiq yang tersembunyi dan membayang kepada dhahir, yang biasanya tidak dapat dibantah lagi.

Bagaimanakah melepaskan diri dari ini? Dan tidaklah tergambar kesepakatan seluruh pendengar untuk memperkuatkan keterangan¬nya dan memandang baik dalam segala hal, caranya menolak dan memberi alasan. Bahkan jika timbul dari lawannya sedikit saja yang menyebabkan kurang perhatian kepada perkataannya maka tertanamlah dalam dadanya sifat pendendam itu yang payah hilang sampai bercerai badan dengan nyawa.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : mengumpat.

Sifat mengupat itu diserupakan oleh Allah dengan memakan bangkai. Maka senantiasalah orang yang berdebat itu memakan bangkai. Karena dia tidak dapat melepaskan diri dari menceriterakan lawan¬nya dan mencacinya. Paling tinggi, dipeliharanya kebenaran dalam ceriteranya dan tidak membohong. Maka diceriterakannya - sudah pasti— keadaan-keadaan yang menunjukkan kekurangan ilmu lawan, kelemahan dan kurang kelebihannya. Dan itulah mengupat nama- nya. Sedang berdusta yaitu mengada-adakan yang tidak-tidak.
Begitu pula tidak sanggup dia menjaga lidahnya dari membentang- kan hal keadaan orang yang menentang perkataannya dan memper- hatikan perkataan lawannya dan menerimanya. Sehingga orang itu disebutnya bodoh, dungu, kurang paham dan bebal.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : membersihkan diri.
Berfirman Allah Ta'ala :
(Falaa tuzakkuu anfusakum huwa a'lamu bimanit taqaa).
Artinya:"Janganlah kamu membersihkan dirimu. Dialah (Allah) Yang Maha Mengetahui siapa yang bertaqwa".
(s An.Najm ayat 32).

Ditanyakan kepada seorang ahli'hikmah (hukama*) : "Manakah kebenaran yang buruk?".
Menjawab hukama' itu : "Memuji manusia akan dirinya".

Tidaklah terlepas, si pendebat itu memuji dirinya dengan kekuatan, kemenangan dan kelebihan dari teman-temannya. Senantiasa ia mengatakan ketika berdebat : "Saya bukan orang yang tidak mengerti dalam segala hal ini. Saya mengetahui bermacam-macam il¬mu, berpaham sendiri tentang pokok-pokok agama dan menghafal banyak hadits". Dan lain-lain perkataan yang timbul dari orang- orang yang memuji diri. Sekali untuk memujikan dirinya saja dan sekali dengan tujuan supaya- kata-katanya laris.

Sebagai dimaklumi bahwa memuji diri sendiri, baik ada ataupun tidak ada yang disebutkan itu, adalah tercela sepanjang agama dan akal pikiran yang sehat.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : mengintip dan mengikuti hal ikhwal orang.
Berfirman Allah Ta'ala :
   
(Wa laa tajassasuu). (S. Al-Hujurat, ayat 12).
Artinya:"Janganlah kamu mengintip-ngintip (memata-matai)
(S. Al-Hujurat, ayat 12).

Si pendebat itu senantiasa mencari kesilapan teman dan kekurangan lawannya. Sehingga bila datang seorang pendebat lain ke tempat nya lalu dicarinya orang yang dapat menerangkan rahasia hidup pende¬bat yang datang itu. Ditanyainya keburukan-keburukannya untuk menjadi bahan yang akan disiarkan dan ditonjolkan nanti apabila keadaan memerlukan.

Penyelidikan itu sampai kepada keadaan hidup si pendebat yang datang itu semasa kecil dan kekurangan-kekurangan yang ada pada badannya. Dengan demikian, diperolehnya kekurangan atau kecederaan tubuh seumpama bekas borok atau lainnya.

Kemudian, apabila dirasanya perlu, lalu dibentangkannya jika ada hubungannya dengan perdebatan. Hal itu dipandangnya baik untuk memperoleh sebab-sebab kemenangan. Dan tidak menjadi halangan, menerangkan hal tersebut dengan diselang-selangi penghinaan dan pengejekan, sebagaimana biasa dilakukan oleh pendebat-pendebat terkemuka yang terhitung tokoh-tokoh penting.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : perasaan gembira dengan kesusahan lawan dan perasaan susah dengan kegembiraan lawan.

Orang yang tidak menyukai pada saudaranya muslim apa yang disukainya pada dirinya sendiri, maka adalah dia jauh dari budi pekerti orang mu'min. Tiap-tiap orang yang mencari kemegahan dengan mengemukakan kelebihannya, maka pastilah menyenangkan baginya dengan timbul kesusahan bagi teman dan kawannya yang menjadi saingannya. Pertentangan bathin diantara mereka, samalah halnya dengan pertentangan bathin diantara wanita-wanita yang dimadukan. Maka sebagaimana seorang wanita yang dimadukan, apabila melihat dari jauh saingannya, lalu gemetarlah sendi-sendi- nya dan pucatlah mukanya. Maka demikian pula halnya dengan orang yang berdebat itu, apabila melihat lawannya lalu berubahlah warna mukanya dan kacaulah pikirannya. Seolah-olah dia melihat setan yang menggoda atau binatang buas yang menerpa.

Maka dimanakah sayang-menyayangi dan cinta-mencintai itu, yang berlakudiantara para alim ulama ketika berjumpa? Dan dimanakah persaudaraan, bertolong-tolongan dan senasib-sepenanggungan pada masa duka dan suka sepanjang riwayat yang diterima dari ulama- ulama yang terdahulu? Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata : "Ilmu pengetahuan diantara orang-orang yang terkemuka dan berpikiran tinggi itu, adalah dalam bersilatur-rahmi yang sambung- menyambung".

Dari itu saya tidak mengerti, bagaimana mendakwakan diri mengi- kuti madzhab Imam Asy-Syafi'i oleh segolongan manusia, di mana ilmu pengetahuan itu diantara mereka telah menjadi alat permusuh- an yang memutuskan silatur-rahmi? Mungkinkah tergambar sayang menyayangi diantara mereka, di samping mencari kemenangan dan kemegahan? Amat jauh panggang dari api! Waspadalah diri dari kejahatan yang mengakibatkan berbudi pekerti munafiq dan terle- pas dari budi pekerti mu'min dan muttaqin.

Diantara sifat-sifat yang jahat itu : nifaq (sifat orang munafiq, lain di luar, lain di dalam).
Tidak perlulah rasanya diterangkan dalil-dalii yang mencela sifat nifaq itu.
Orang-orang berdebat itu memerlukan kepada sifat nifaq. Karena apabila bertemu dengan lawan, pencinta-pencinta lawan dan golongan lawan, maka tak ada jalan lain, selain dari melahirkan kata pershahabatan dengan lisan, kata kasih-sayang dan memuji-muji kedudukan dan keadaan lawan.
Hal itu disadari oleh si pembicara dan yang dihadapkan pembicaraan itu kepadanya, bahkan oleh seluruh yang mendengar, bahwa itu bohong, dusta, nifaq dan zalim. Karena berkasih-sayang dengan lisan, berdendam-khasumat dengan hati. Berlindunglah kita dengan Allah dari sifat nifaq itu!.
Bersabda Nabi saw. :

(Idzaa ta'allaman naasul 'ilma wa tarakul 'amala wa tahaabbuu bil alsuni wa tabaaghadluu bil quluubi wa taqaatha'uu fii arhaami la'anahumullaahu 'inda dzaalika fa-a-shammahum wa a'maa abshaa- rahum.
Artinya :"Apabila manusia mempelajari ilmu dan meninggalkan amal, berkasih-kasihan dengan lisan dan bermarah-marahan dengan hati, serta berputus-putusan silatur-rahmi, maka kenalah kutukan Allah ketika itu. Ditulikan telinganya dan dibutakan matanya. (1) 1. Dlrawikan Atti-Thabrani dari Salman dengan isrtad dla'Jf.

Hadits ini diriwayatkan Al-Hasan. Dan benarlah demikian dengan dipersaksikan keadaan itu!.
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : menyombong, menolak kebenar¬an dan bersungguh-sungguh menantangnya. Sehingga dapat dikata- kan bahwa yang amat dimarahi oleh seorang pendebat ialah lahirnya kebenaran dari lidah lawannya. Maka bagaimanapun kebenaran

itu sudah terang ibarat matahari waktu siang, mau juga ditantang dan dilawannya dengan segala usaha dan kemungkinan yang ada, baik dengan penipuan, pengkhianatan dan kebusukan hati. Sehingga jadilah menantang kebenaran itu adat yang lazim bagi seorang pendebat. Bila saja didengamya perkataan lawan, terus datang keinginannya menantang. Sampai hal itu melekat pada hatinya, tidak saja terhadap keterangan biasa, bahkan juga terhadap dalil dari Al-Qur-an dan kata-kata lain dari agama. Maka jadilah dalil-dalil itu berantakan satu sama lain.
Berdebat menghadapi yang batil itu harus dengan hati-hati. Nabi saw. berseru supaya meninggalkan perdebatan mengenai hal yang benar melawan yang batil.
Nabi saw. bersabda :

(Man tarakal miraa-a wahuwa mubthilun banallaahu lahu baitan fii rabadlil jannati wa man tarakal miraa-a wahuwa muhiqqun banallaahu lahu baitan fii a'-lal jannati).
Artinya :"Barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang batil, maka dibangun Allah baginya sebuah rumah dalam perkam- pungan sorga. Dan barangsiapa meninggalkan perdebatan sedang dia di pihak yang benar, maka dibangun Allah baginya sebuah rumah dalam sorga tinggi". (1)
(1) Dlrawikan At-Tirmidzl dan Ibnu Majah dari Anas.

Allah Ta'ala menyamakan antara orang yang mengada-adakan terhadapNya dengan kedustaan dan orang yang mendustakan kebenar¬an. FirmanNya :

(Wa man adhlamu mimmanif taraa 'alallaahi kadziban au kadzdzaba bil haqqi lammaa jaa-ahu).
Artinya:"Siapakah yang lebih besar kesalahannya dari orang-orang yang mengada-adakan kedustaan tentang Allah atau mendustakan kebe¬naran tatkala datang kepadanya!" (s A1.Ankabut ayat 68).
Dan firmanNya :

(Faman adhlamu mimman kadzaba 'alallaahi wa kadzdzaba bish- shidqi idzjaa-ahu).
Artinya :"Siapakah yang lebih besar kesalahannya dari orang yang berbuat kedustaan tentang Allah dan orang yang mendustakan kebenaran ketika datang kepadanyaAz-Zumar, ayat 32).
Diantara sifat-sifat yang jahat itu : ria, ingin memperlihatkan amal- annya kepada orang banyak, berusaha menarik hati dan pandangan mereka kepadanya.

Ria adalah penyakit bathin yang amat berbahaya, dapat menjeru- muskan ke dalam dosa besar, sebagaimana akan diterangkan nanti pada "Kitab Ria".

Seorang pendebat, tidaklah bermaksud, kecuali namanya muncul di muka umum. Lidah orang banyak lancar memujinya.

Inilah sepuluh perkara dari induk kekejian bathin, selain dari yang timbul secara kebetulan dari orang-orang di luar pendebat itu sen¬diri, yang merupakan permusuhan yang mengakibatkan pemukulan, penempelengan, pengoyakan kain, penarikan janggut, pemakian ibu-bapa, pengupatan guru dan tuduhan-tuduhan yang tegas me- nyakitkan hati. Mereka ini tidaklah terhitung dalam golongan orang yang masuk bilangan.
Sesungguhnya orang-orang yang terkemuka dan yang terkenal pintar dari mereka, tidaklah terlepas dari perkara yang sepuluh itu.
Benar, sebahagian dari mereka terpelihara dari beberapa sifat tadi, di samping ada pula yang tidak begitu jelas atau sangat jelas dengan sifat-sifat itu. Atau karena jauh dari kampungnya dan unsur-unsur kehidupannya, maka sifat-sifat itu berbeda antara satu sama lain- nya.

Pendek kata, payahlah terlepas dari sifat-sifat tersebut bagi siapa juapun dalam bentuknya yang bermacam-macam, melihat kepada tingkat orang itu sendiri. Kemudian dari sifat yang sepuluh tadi, masing-masing daripadanya bercabang pula kepada sepuluh yang lain yang tak kurang kejinya.
Kami tidak berpanjang kalam menyebut dan menguraikannya satu- persatu, seumpama keras hidung, marah, dendam, loba, ingin mem-peroleh harta dan kemegahan untuk tetap dalam kemenangan, bang ga, keras kepala, suka membesarkan orang kaya dan penguasa serta pulang-pergi menghadap dan mengambil hati mereka. Berlomba- lomba dengan kecantikan kuda dan lain kendaraan serta pakaian yang terlarang. Suka menghina orang lain dengan keangkuhan dan kesombongan, turut campur barang yang tak perlu, banyak bicara, hilang rasa-takut, hilang gemetar dan belas-kasihan di dalam hati, dikuasai sifat lalai padanya. Sehingga diantara mereka yang menger¬jakan shalat, tak tahu lagi tentang shalatnya, bacaannya dan dengan siapa dia sedang- bermunajat.

Dia tidak merasa khusyu' dalam hatinya, padahal umurnya telah dihabiskannya mempelajari ilmu pengetahuan yang dapat menolong- kannya dalam perdebatan, ilmu mana tak ada gunanya di akhirat. Seumpama pengetahuan membaguskan susunan kata, dengan sajak, dengan menghafal kata-kata yang ganjil dan lain-lain sebagainya yang tak terhitung banyaknya.

Orang-orang yang suka berdebat itu, berlebih-kurang tingkat dari sifat-sifat tersebut. Bermacam-macam tingkat dan derajatnya. Meskipun yang terkuat beragama dan terpintar diantara mereka, tidak juga terlepas dari keseluruhan unsur-imsur budi-pekerti. Hanya usahanya ada untuk menyembunyikannya atau berjuang menjauhkan diri dari padanya.

Dan ketahuilah bahwa budi pekerti yang rendah tadi, melekat juga pada orang yang bekerja dalam lapangan memberi nasehat dan pe- lajaran apabila tujuannya mencari kerelaan orang, menegakkan kemegahan, memperoleh kekayaan dan kemuliaan.

Melekat juga pada orang yang bekerja dalam lapangan pengetahuan madzhab dan fatwa-fatwa, apabila tujuannya ingin menjadi kadli, menjadi penguasa harta wakaf dan terkemuka dari teman.
Pendek kata, kerendahan budi itu menimpa kepada tiap-tiap orang yang menuntut ilmu bukan karena mengharap pahala daripada Allah Ta'ala diAkhirat .,maka ilmu itu tidak menyianyiakan orang yang berilmu itu, bahkan juga membinasakannya atau meng hidupkannya sepanjang zaman.

(Asyaddun naasi 'adzaaban yaumal qiyaamati 'aalimun laa yanfa- 'uhullaahu bi'ilmihi).
Artinya :"Manusia yang sangat menderita adzab pada hari qiamat,ialah orang yang berilmu yang tiada bermanfa'at dengan ilmunya". (1). (1) Dirawikan Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi dari Abi Hurairah dengan isnad dla'if.

Maka ilmu itu telah memberi melarat kepada yang berilmu itu sendiri, di samping tidak ada gunanya. Mudah-mudahan kiranya terlepaslah dari keadaan yang tersebut dan dapatlah orang yang berilmu itu, memperoleh manfa'at dengan ilmu pengetahuannya!.

Sesungguhjiya, bahaya ilmu itu besar. Orang yang mencari ilmu, adalah ibarat orang yang mencari kekayaan yang abadi dan kesenangan yang tidak kunjung hilang. Maka tak terlepaslah ia dari kekayaan atau kebinasaan, seperti orang yang mencari kekayaan duniawi. Kalau kebetulan tidak diperolehnya harta, jangan diharap dia terpelihara dari kehinaan, bahkan —tidak mustahil—lebih buruk dari itu lagi.

Jika anda mengatakan, bahwa ada gunanya diberi kesempatan mengadakan perdebatan. Yaitu membawa manusia suka menuntut ilmu. Karena kalaulah bukan karena cinta menjadi kepala, maka ilmu itu telah terbenam.
Benar perkataan anda itu dari satu segi. Tetapi faedahnya tidak ada. Anak kecilpun tidak suka pergi ke sekolah bila tidak dijanjikan bermain bola, bermain anggar dan bermain mengadu pipit. Keadaan yang demikian, tidaklah menunjukkan bahwa kesukaan yang seper¬ti itu, kesukaan yang terpuji. Dan kalaulah tidak karena suka men¬jadi kepala, Ialu ilmu pengetahuan itu terbenam. Itupun tidak me¬nunjukkan bahwa mencari kedudukan kepala itu dapat melepaskan diri dari kebinasaan. Tetapi termasuklah diantara orang yangdite- rangkan Nabi saw. dengan sabdanya :

(Innallaaha layuayyidu haadzad diina biaqwaamin laa khalaaqa lahum).
Artinya :"Sesungguhnya Allah akan menguatkan agama ini dengan kaum (orang-orang) yang tak berbudi".(1)
1.Dirawikan An nasa i dengan isnad sahih

Dan sabdanya pada hadits yang lain :
(Innallaaha layuayyidu haadzad diina birrajulil faajiri). Artinya :
"Sesungguhnya Allah akan menguatkan agama ini dengan orang yang dhalim(2)
2.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.

Orang yang mencari kedudukan kepala bagi dirinya sendiri adalah binasa. Kadang-kadang ia dapat memperbuat perbaikan bagi orang lain, kalau ia mengajak kepada meninggalkan dunia. Yaitu orang yang dhahirnya sebagai seorang ulama salaf (ulama terdahulu), tetapi bathinnya, ia menyembunyikan tujuannya mencari kemegah¬an.
Orang yang seperti itu, adalah seumpama lilin yang membakar diri¬nya sendiri dan menerangi orang lain. Kebaikan yang diperoleh orang Iain, adalah terletak dalam kebinasaannya.
Maka apabila orang yang berilmu itu memanggil manusia untuk mencari dunia, adalah seumpama api pembakar, yang membakar dirinya sendiri dan lainnya.

Dari itu, maka ulama ada tiga, adakalanya membinasakan diri sen¬diri dan orang Iain, yaitu mereka yang berterus-terang mencari du¬nia dan memusatkan seluruh perhatiannya kepada dunia. Adakala¬nya membahagiakan dirinya sendiri dan orang lain, yaitu mereka yang memanggil manusia ke jalan Allah, dhahir dan bathin. Dan adakalanya membinasakan dirinya dan membahagiakan orang lain, yaitu orang yang memanggil manusia ke jalan akhirat, tetapi dia sendiri menolak dunia padadhahirnya, sedang pada bathinnya bertujuan mempengaruhi orang banyak dan menegakkan kemegahan diri.Maka lihatlah! Dalam bahagian manakah anda berada dan orang yang menjadi tanggunganmu?

Janganlah anda menyangka bahwa Allah Ta'ala menerima ilmu dan amal dari orang yang tak ikhlas kepadaNya. Akan diterangkan kepadamu nanti pada Kitab Ria dan dalam seluruh Bahagian Yang Membinasakan. Sehingga segala keragu-raguan hilang dari hati nura- nimu, Insya Allah!.
1.Dirawikan An nasa i dengan isnad sahih
2.Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dart Abi Hurairah.


salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Sun Oct 17, 2010 6:10 am

Bab Kelima tentang Adab kesopanan Pelajar dan Pengajar


Adapun pelajar, maka adab kesopanan dan tugasnya yang dhahir itu adalah banyak. Tetapi perinciannya adalah tersusun dalam sepuluh rumpun kata-kata.

Tugas pertama : mendahulukan kesucian bathin dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela. Karena ilmu pengetahuan itu adalah kebaktian hati, shalat bathin dan pendekatan jiwa kepada Allah Ta'ala. Sebagaimana tidak syah shalat yang menjadi tugas anggota dhahir, kecuali dengan mensucikan anggota dhahir itu dari segala hadats dan najis,maka begitu pulalah, tidak syah kebaktian (ibadah) bathin dan kemakmuran hati dengan ilmu pengetahuan, kecuali sesudah sucinya ilmu itu dari kekotoran budi dan kenajisan sifat.
1)"Ditegakkan agama atas kebersihan".
Yaitu dhahir dan bathin. Berfirman Allah Ta'ala :

(Innamal musyrikuuna najasun). Artinya :
"Sesungguhnya orang musyrik itu najis". (S. Al-Baraah, ayat 28).

Firman Tuhan itu adalah memberitahukan kepada akal pikiran kita, bahwa kesucian dan kenajisan, tidaklah ditujukan kepada anggota dhahir yang dapat dikenal dengan pancaindera. Orang musyrik itu kadang-kadang kainnya bersih, badannya dibasuh, te¬tapi dirinya najis. Artinya: bathinnya berltlmuran dengan kotoran.

Najis : adalah diartikan dengan sesuatu yang tidak suka didekati dan diminta menjauhkan diri dari padanya. Kenajisan sifat bathin adalah lebih penting dijauhkan. Karena dengan kekotorannya seka¬rang, membawa kepada kebinasaan pada masa yang akan datang.
Dari itu, Nabi saw. bersabda :

(Laa tadkhulul malaaikatu baitan fiihi kalbun). Artinya :
"Tidak masuk malaikat ke rumah yang didalamnya ada anjing". (1).
(1)Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari AW Thaltiah Al-Anshari.

Hati itu adalah rumah, yaitu tempat malaikat, tempat turun pembawaan dan tempat ketetapan dari malaikat.
Sifat-sifat yang rendah itu seumpama marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabur,'ujub dan sebagainya adalah anjing-anjing yang galak. Maka bagaimanakah malaikat itu masuk ke dalam hati yang sudah penuh dengan anjing-anjing?


Sinar ilmu pengetahuan, tidaklah dicurahkan oleh Allah Ta'ala ke dalam hati, selain dengan perantaraan malaikat:
Wa maa kaana libasyarin an jukallimahullaahu illaa wahyan au min waraa-i hijaabin au yursila rasuulan fayuuhiya bj-idznihii maa ya- syaa').
Artinya :"Tidak ada bagi manusia berkata-kata dengan Allah, selain dengan wahyu atau di belakang hijab atau dengan mengirimkan rasul, lalu diwahyukannya apa yang dikehendakiNya dengan keizinanNya". (S. Asy-Syura, ayat 51).

Demikianlah kiranya, tidak dikirimkan Allah rakhmat dari ilmu pengetahuan itu kepada«hati. Hanya malaikatlah yang mengurus, mewakili membawa rakhmat itu. Para malaikat itu qudus suci, bersih dari segala sifat yang tercela. Tak ada perhatian mereka selain kepada yang baik. Tak ada urusan mereka dengan segala perbenda- haraan rakhmat Allah padanya, selain dengan yang baik suci.

Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "rumah" dalam hadits yang diatas tadi, yaitu hati dan dengan "anjing" yaitu marah dan sifat-sifat tercela yang lain.

Tetapi aku mengata¬kan bahwa itu adalah peringatan kepada hati dan suatu perbedaan antara kata-kata dhahir yang menunjukkan kepada bathin dan peri-ngatan kepada bathin dengan menyebutkan kata-kata dhahir serta tetap pada kedhahirannya.

Golongan ahli kebathinan mengadakan perbedaan dengan pengertian yang halus tadi.
Maka inilah jalan tamsil ibarat, jalan yang ditempuh oleh para 'alim ulama dan orang baik-baik. Karena pengertian dari tamsil ibarat (i'tibar) yaitu mengambil ibarat dengan apa yang diterangkan kepada orang lain, tidaklah untuk orang lain itu saja. Seumpama seorang yang berpikiran waras, melihab bahaya yang menimpa orang lain, maka menjadi tamsil ibaratlah baginya, sebagai suatu peringatan bahwa dia pun mungkin pula ditimpakan bahaya tersebut.

Dunia ini adalah selalu berputar laksana roda pedati. Maka meng¬ambil ibarat dari orang lain untuk diri sendiri dan dari diri sendiri kepada asalnya dunia ini, adalah suatu tamsil ibarat yang terpuji.

Maka anda ambil jugalah menjadi ibarat dari. rumah yaitu pembangunan dari manusia kepada hati, yaitu sesuatu rumah yang dibangun oleh Tuhan dan dari anjing yang dicela kerena sifatnya bukan kerena bentuknya —yaitu padanya terdapat sifat kebuasan dan kenajisan— kepada jiwa keanjingan, yaitu sifat kebuasan.

Ketahuilah bahwa hati yang dipenuhi dengan kemarahan, loba kepada dunia dan bersifat anjing mencari dunia dengan rakus, dengan mengoyak-ngoyak kepentingan orang lain adalah anjing dalam arti dan hati dalam bentuk. Orang yang bermata hati memperhatikan kepada arti, tidak kepada bentuk.

Bentuk dalam dunia ini mengalahkan arti. Dan arti, tersembunyi dalam bentuk. Di akhirat bentuk itu mengikuti arti dan artilah yang menang. Dari itu, masing-masing orang dibangkitkan dalam bentuknya yang ma'nawi (menurut pengertian dari bentuk itu).

Menurut hadits : "Orang yang mengoyak-ngoyakkan kehormatan orang lain, dibangkitkan sebagai anjing yang galak. Orang yang loba kepada harta-benda orang lain, dibangkitkan sebagai serigala yang ganas. Orang yang menyombong terhadap orang lain, dibangkitkan dalam bentuk harimau. Dan orang yang mencari jadi kepala, dibangkitkan dalam bentuk singa". (1).
(1) Dirawikan Ats-Tsalabi dari Al-Barra', dengan sanad dla'if.

Banyaklah hadits berkenan dengan hai di atas dan menjadi tamsil ibarat kepada orang-orang yang mempunyai mata hati dan mata kepala.

Jikalau anda mengatakan bahwa banyaklah pelajar yang rendah budi, memperoleh ilmu pengetahuan, maka tahulah anda kiranya, bahwa alangkah jauhnya ilmu itu dari ilmu yang sebenarnya, yang berguna di akhirat, yang membawa kebahagiaan.

Yang pertama sekali dari ilmu itu, nyata kepadanya bahwa ma'siat adalah racun yang membunuh, yang membinasakan. Adakah anda melihat orang mengambil racun dengan mengetahui bahwa itu racun yang membunuhkan?

Yang anda dengar dari orang itu ialah perkataan yang diucapkan- nya dengan lidahnya dalam satu bentuk dan diulang-ulanginya de¬ngan hatinya dalam bentuk yang lain. Yang demikian, bukanlah ilmu namanya.

Berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Tidaklah ilmu dengan banyak ceritera, tetapi ilmu adalah nur Tuhan yang ditempatkan di dalam dada"- Berkata setengah mereka : Sesungguhnya ilmu itu takut (khasy yah) kepada Allah " karena firmanNya :
(Innamaa yakhsyallaaha mm ibaadihil 'ulama).
Artinya:"Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari para hambaNya ialah 'alim ulama (orang yang berilmu) ". (s Fathir ayat 28).

Dengan firman itu, seakan-akan Allah menunjukkan kepada faedah ilmu yang lebih khas. Dari itu berkata sebahagian ulama muhaq- qiqin, bahwa arti perkataan mereka :

"Kami pelajari ilmu bukan karena Allah, maka seganlah ilmu itu selain karena Allah", bahwa ilmu itu segan dan tak mau kepada kami. Maka tak terbukalah hakikatnya kepada kami. Hanya yang ada bagi kami, ialah ceritera- nya dan kata-katanya saja.

Kalau anda mengatakan bahwa saya melihat kebanyakan ulama fu¬qaha' muhaq-qiqin, yang terkemuka dalam ilmu furu' dan ushul, terhitung dari golongan tokoh-tokoh besar, adalah budi pekerti nya tercela dan tidak berusaha membersihkan diri dari padanya, maka jawabnya: bila anda mengetahui tingkat-tingkat ilmu penge¬tahuan dan mengetahui pula ilmu akhirat, niscaya jelaslah bagi anda bahwa apa yang dikerjakan mereka itu, sedikitlah gunanya dari segi ilmu pengetahuan. Kegunaannya baru ada dari segi amalan karena Allah Ta'ala, apabila tujuannya mendekatkan diri kepadaNya, Un¬tuk itu sudah disinggung dahulu dan nanti akan dijelaskan lagi, dengan lebih tegas dan terang insya Allah.

Tugas kedua : seorang pelajar itu' hendakiah mengurangkan hubungannya dengan urusan duniawi, menjauhkan diri dari kaum ke luarga dan kampung halaman. Sebab segala hubungan itu mempe¬ngaruhi dan memalingkan hati kepada yang lain.

(Maa ja'aiallaahu lirajulin min qalbaini fii jaufih). Artinya :
"Allah tidak menjadikan bagi seorang manusia dua hati dalam rongga tubuhnya".
(S. Al-Ahzab, ayat 4).

Apabila pikiran itu telah terbagi maka kuranglah kesanggupannya mengetahui hakikat-hakikat yang mendalam dari ilmu pengetahuan. Dari itu dikatakan : ilmu itu tidak menyerahkan kepadamu sebagian dari padanya sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwa ragamu. Apabila engkau sudah menyerahkan seluruh jiwa raga engkau, maka penyerahan ilmu .yang sebahagian itu masih juga dalam bahaya.

Pikiran yang terbagi-bagi kepada hal ikhwal yang bermacam-ma- cam itu, adalah seumpama sebuah selokan yang mengalir airnya ke beberapa jurusan. Maka sebahagian airnya ditelan bumi dan sebahagian lagi diisap udara, sehingga yang tinggal tidak terkumpul lagi dan tidak mencukupi untuk tanam-tanaman.

Tugas ketiga: seorang pelajar itu jangan menyombong dengan ilmu- nya dan jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah seluruhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala nasehatnya, sebagai¬mana seorang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli berpengalaman.

Seharusnyalah seorang pelajar itu, tunduk kepada gurunya, meng- harap pahala dan kemuliaan dengan berkhidmat kepadanya. Berka¬ta Asy-Sya'bi : "Pada suatu hari Zaid bin Tsabit bershalat janazah. Sesudah shalat itu selesai, lalu aku dekatkan baghalnya (nama hewan, lebih kecil dari kuda) untuk dikendarainya. Maka datang Ibnu Abbas membawa kendaraannya kepada Zaid untuk dikendarainya. Maka berkata Zaid : "Tak usah wahai anak paman Rasulullah saw."

Berkata Ibnu Abbas : "Beginilah kami disuruh berbuat terhadap para 'alim ulama dan orang-orang besar".
Lalu Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibnu Abbas seraya berkata : "Beginilah kami disuruh berbuat terhadap keluarga Nabi kami Muhammad saw.
Bersabda Nabi saw. :
(Laisa min akhlaaqil mu'minit tamalluqu illaa fii thalabil ilmi).
Artinya:"Tidaklah sebahagian dari budi pekerti seorang mu'min merendahkan diri, selain pada menuntut ilmu". (1)

Dari itu tidaklah layak bagi seorang pelajar menyombong terhadap gurunya. Termasuk sebahagian dari pada menyombong terhadap guru itu, ialah tidak mau belajar kecuali pada guru yang terkenal benar keahliannya.

Ini adalah tanda kebodohan. Sebab ilmu itu jalan kelepasan dan kebahagiaan. Orang yang mencari jalan untuk melepaskan diri dari terkaman binatang buas, tentu tidak akan membeda-bedakan. Apa¬kah jalan itu ditunjuki oleh seorang yang termashur atau oleh seorang yang dungu. Terkaman kebuasan api neraka, kepada orang yang jahil, adalah lebih hebat dari terkaman seluruh binatang buas.
(1) Dirawikan Ibnu Uda dari Ma'ad dan Abi Amamah, dengan isnad dla'if.

Ilmu pengetahuan itu adalah barang yang hilang dari tangan seorang mu'min, yang harus dipungutnya di mana saja diperolehnya. Dan harus diucapkannya terima kasih kepada siapa saja yang membawa- nya kepadanya.
Dari itu, berkata pantun :
"Pengetahuan itu adalah perjuangan, bagi pemuda yang bercita-cita tinggi
Seumpama banjir itu adalah perjuangan, bagi suatu tempat yang tinggi ".
Ilmu pengetahuan tidak tercapai selain dengan merendahkan diri dan penuh perhatian.
Berfirman Allah Ta'ala :

(lima fii dzaalika ladzikraa liman kaana lahuu qaibun au alqas sam-a wahuwa syahiid).
Artinya :"Sesungguhnya hai yang demikian itu menjadi pengajaran bagi siapa yang mempunyai hati (pengertian) atau mempergunakan pendengarannya dengan berhati-hati". (S. Qaf, ayat 37).

Pengertian "mempunyai hati" yaitu hati itu dapat menerima pemahaman bagi ilmu pengetahuan. Tak ada tenaga yang menolong kepada pemahaman, selain dengan mempergunakan pendengaran dengan berhati-hati dan sepenuh jiwa. Supaya dapat menangkap seluruh yang diberikan guru dengan penuh perhatian, merendahkan diri, syukur, gembira dan menerima nikmat.

Hendaklah pelajar itu bersikap kepada gurunya seumpama tanah kering yang disirami hujan Iebat. Maka meresaplah ke seluruh bahagiannya dan meratalah keseluruhannya air hujan itu.

Manakala guru itu menunjukkan jalan belajar kepadanya, hendak¬lah dita'ati dan ditinggalkan pendapat sendiri. Karena meskipun guru itu bersalah, tetapi lebih berguna baginya dari kebenarannya sendiri. Sebab, pengalaman mengajari yang halus-halus, yangganjil didengar tetapi besar faedahnya.
Berapa banyak orang sakit yang dipanasi, diobati dokter dengan menambah panas pada sewaktu-waktu. Supaya kekuatannya ber- tambah sampai batas yang sanggup menahan pukulan obat. Maka heranlah orang yang tak berpengalaman tentang itu!

Telah diperingatkan oleh Allah Ta'ala dengan kisah Nabi Khaidir as.
dan Nabi Musa as.
Berkata Nabi Khaidir as. :
(Innaka lan tas-tathii'a ma'iya shabran wa kaifa tashbiru 'alaa maa lam tuhith bihii khubraa).
Artinya :"Engkau (Musa) tak sanggup bersabar sertaku. Bagaimana engkau bersabar dalam persoalan yang belum berpengalaman didalamnya".
(S. Al-Kahf, ayat 67 - 68).
Lalu Nabi Khaidir as. membuat syarat yaitu Nabi Musa as. harus diam dan menerima saja.
Berkata Nabi Khaidir as. :

(Fainittaba'- tanii falaa tasalnii 'an-syai-in hattaa uhditsa laka minhu dzikraa).
Artinya :"Jika engkau mengikuti aku maka janganlah bertanya tentang sesuatu, sehingga aku sendiri yang akan menceriterakan kepadamu nanti".(S Al-Kahf, ayat 70).

Rupanya Nabi Musa as. tidak sabar dan selalu bertanya, sehingga menyebabkan berpisah diantara keduanya.
Pendek kata, tiap-tiap pelajar yang masih berpegang teguh kepada pendapatnya sendiri dan pilihannya sendiri, di luar pilihan gurunya, maka hukumlah pelajar itu dengan keteledoran dan kerugian.

Jika anda mengatakan, bukankah Allah Ta'ala telah berfirman :
(Fas 'aluu ahladz-dzikri in kuntum laa ta'lamuun). Artinya :
"Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu ".(S. An-Nahl, ayat 43).

Jadi, bertanya itu disuruh.
Maka ketahuilah, bahwa memang demikian, tetapi mengenai per¬soalan yang diizinkan guru, bertanya kepadanya. Bertanya tentang soal yang belum sampai tingkatanmu memahaminya, adalah dicela, karena itulah, maka Khaidir melarang Musa bertanya.

Dari itu, tinggalkan lah bertanya sebelum waktunya! Guru lebih tahu tentang keahlianmu dan kapan sesuatu ilmu harus diajarkan kepadamu. Sebelum waktu itu tiatang dalam tingkat manapun juga, maka belumlah datang waktunya untuk bertanya.

Berkata Ali ra. : "Hak dari seorang yang berilmu, ialah jangan engkau banyak bertanya kepadanya! Jangan engkau paksakan dia menjawab, jangan engkau minta, bila dia malas. Jangan engkau pegang kainnya, bila dia bangun, jangan engkau siarkan rahasianya! Jangan engkau caci orang lain dihadapannya, jangan engkau tuntut keteledorannya! Jika dia silap terimalah kema'afannya! Haruslah engkau memuliakan dan membesarkannya karena Allah, selama dia menjaga perintah Allah. Jangan engkau duduk dihadapannya! Jika dia memerlukan sesuatu, maka ajaklah orang banyak menyelenggarakannya!"

Tugas keempat : seorang pelajar pada tingkat permulaan,hendaklah menjaga diri dari mendengar pertentangan orang tentang ilmu pe¬ngetahuan. Sama saja yang dipelajarinya itu ilmu keduniaan atau ilmu keakhiratan. Karena, yang demikian itu meragukan pikiran- nya, mengherankan hatinya, melemahkan pendapatnya dan mem- bawanya kepada berputus asa dari mengetahui dan mendalaminya. Tetapi yang wajar, ialah meneliti pertama kalinya suatu cara saja yang terpuji dan disukai gurunya. Sesudah itu, barulah boleh men¬dengar madzhab-madzhab dan keserupaan yang ada diantaranya.

Bila guru itu tidak bertindak bebas, dengan memilih suatu penda- pat tertentu, tetapi kebiasaannya hanya mengambil madzhab- madzhab dan apa yang tersebut dalam madzhab-madzhab itu, maka dalam hal ini hendaklah waspada! Sebab orang yang semacam itu, lebih banyak menyesatkan dari pada memberikan petunjuk.

Maka tidaklah layak orang buta memimpin dan menunjuk jalan kepada sesama buta. Orang yang begini keadaannya, dapat dihitung dalam keadaan buta dan bodoh.

Mencegah orang yang baru belajar dari pada mencampuri persoalan-persoalan yang meragukan, samalah halnya dengan mencegah orang yang baru saja memeluk Islam, dari pada bergaul dengan orang-orang kafir. Menarik orang yang "kuat" kepada membanding dalam masalah-masalah khilafiah, samalah halnya dengan mengajak orang yang "kuat" untuk bergaul dengan orang kafir.

Dari itu, dilarang orang pengecut menyerbu ke garis depan. Dan sebaliknya orang yang berani, disunatkan maju terus.
Termasuk dalam bahagian melengahkan yang penting ini, ialah sangkaan sebahagian orang yang "lemah" bahwa boleh mengikuti orang-orang yang "kuat" mengenai persoalan-persoalan yang mu- dah, yang diambil dari pada mereka. Ia tidak tahu bahwa tugas orang yang "kuat", berbeda dengan tugas orang yang "lemah
Mengenai itu, berkata sebahagian ulama : "Barang siapa memperhatikan aku pada tingkat permulaan (al-bidayah), maka jadilah dia orang benar (shiddiq). Dan barang siapa memperhatikan aku pada tingkat penghabisan (an-nihayah), maka jadilah dia orang zindiq ".

Karena tingkat penghabisan itu, mengembalikan semua amalan kepada bathin dan segala anggota badan tetap tidak bergerak, selain dari amalan fardlu yang ditentukan. Maka tampaklah bagi orang yang melihat bahwa tingkat penghabisan itu suatu perbuatan batil, malas dan lengah. Amat jauhlah dari itu!

Maka yang demikian itu adalah pengikatan hati dalam pandangan kesaksian dan kehadliran hati kepada Allah Ta'ala dan membiasakan berdzikir yang terus-menerus, yang menjadi amalan utama. Dan penyerupaan orang lemah dengan orang kuat tentang sesuatu yang kelihatan dari dhahirnya itu suatu kesalahan, adalah menyamai hal¬nya dengan alasan orang yang menjatuhkan sedikit najis ke dalam kendi air. Dia mengemukakan alasan bahwa berlipat ganda lebih banyak dari najis ini kadang-kadang dilemparkan ke dalam laut.

Dan laut itu lebih besar dari pada kendi. Maka apa yang boleh bagi laut, tentulah bagi kendi lebih boleh lagi.
Orang yang patut dikasihani tadi lupa, bahwa laut dengan tenaganya dapat merobahkan najis kepada air. Lalu dzat najis bertukar kepada sifat air. Sedang najis yang sedikit itu mengalahkan kendi dan merobahkan kendi kepada sifat najis
.

Dan karena seperti inilah, maka dibolehkan bagi Nabi saw. apa yang tidak dibolehkan bagi orang lain, sehingga bagi Nabi saw. dibolehkan mengawini sembilan wanita. Karena baginya kekuatan keadilan untuk para isterinya, melebihi dari orang lain, meskipun isterinya itu banyak.
Adapun orang lain tidak sanggup menjaga walaupun sebahagian dari keadilan. Tetapi yang terjadi, ialah kemelaratan diantara isteri- isterinya, yang mengakibatkan kepadanya. Sehingga ia terjerumus ke dalam perbuatan ma'siat dalam mencari kerelaan para isterinya. Maka tidaklah akan berdaya, orang yang membandingkan para ma¬laikat dengan tukang besi.


Tugas kelima : seorang pelajar itu tidak meninggalkan suatu mata pelajaranpun dari ilmu pengetahuan yang terpuji dan tidak suatu macampun dari berbagai macamrlya, selain dengan pandangan di mana ia memandang kepada maksud dan tujuan dari masing-ma- sing ilmu itu. Kemudian jika ia berumur panjang, maka dipelajari¬nya secara mendalam. Kalau tidak, maka diambilnya yang lebih penting serta disempumakan dan dikesampingkannya yang lain.

Ilmu pengetahuan itu bantu-membantu. Sebahagian daripadanya terikat dengan sebahagian yang lain. Orang yang mempelajari ilmu terus memperoleh faedah daripadanya, yaitu terlepas dari musuh ilmu itu yaitu kebodohan. Karena manusia itu adalah musuh dari kebodohannya.
Berfirman Allah Ta'ala :


(Wa idzlam yahtaduu bihii fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiim).
Artinya :"Ketika mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka nanti akan berkata : Ini adalah kepalsuan yang lama".(S. Al-Ahqaf, ayat H).
Berkata seorang penyair :
"Orang yang memperoleh penyakit, rasa pahit pada mulutnya, maka akan merasa pahit, air pancuran yang lezat cita rasanya.

Ilmu pengetahuan dengan segala tingkatannya, adakalanya menjadi jalan, yang membawa seorang manusia kepada Allah Ta'ala atau menolong membawa ke jalan tersebut. Pengetahuan itu mempu¬nyai tingkat-tingkat yang teratur, dekat dan jauhnya dengan maksud.

Orang yang menegakkan ilmu pengetahuan itu adalah penjaga-penjaga seperti penjaga rumah penyantun dan benteng. Masing-masing mempunyai tingkatan. Dan menurut tingkatan itulah, dia memper¬oleh pahala di akhirat, apabila tujuannya karena Allah Ta'ala.

Tugas keenam : seorang pelajar itu tidak memasuki sesuatu bidang dalam ilmu pengetahuan dengan serentak. Tetapi memelihara ter- tib dan memulainya dengan yang lehih penting.
Apabila umur itu biasanya tidak berkesempatan mempelajari segala ilmu pengetahuan, maka yang lebih utama diambil, ialah yang lebih baik dari segala pengetahuan itu dan dicukupkan dengan sekedar- nya. Lalu dikumpulkan seluruh kekuatan dari pengetahuan tadi untuk menyempurnakan suatu pengetahuan yang termulia dari se¬gala macam ilmu pengetahuan. Yaitu ilmu akhirat.

Yang saya maksudkan dengan ilmu akhirat, yaitu kedua macam- nya : ilmu mu'amalah dan ilmu mukasyafah.
Tujuan dari ilmu mu'amalah ialah keilmu mukasyafah. Dan tujuan dari ilmu mukasyafah ialah mengenai Allah Ta'ala. Tidaklah saya maksudkan dengan itu akan 'aqidah (i'tikad) yang dianut orang awwam dengan jalan pusaka atau pelajaran. Atau ca¬ra penyusunan kata-kata dan perdebatan untuk mengokohkan ilmu kalam dari serangan lawan seperti tujuan ahli ilmu kalam. Tetapi yang saya maksudkan, ialah suatu macam keyakinan yaitu hasil dari nur yang dicurahkan Tuhan ke dalam hati hambaNya, yang sudah mensucikan kebathinannya dari segala kotoran dengan mujahadah (berjihad melawan hawa nafsu). Sehingga sampailah dia ke tingkat keimanan Saidina Abu Bakar ra., yang kalau ditimbang dengan keimanan penduduk alam seluruhnya, maka lebih beratlah keimanan Abu Bakar itu sebagaimana telah diakui oleh Nabi saw. sendiri.

Maka tak adalah artinya padaku, apa yang dii'tikadkan oleh orang awwam dan yang disusun oleh ahli ilmu kalam, yang tidak mele bihi dari orang awwam itu, selain dari teknik kata-kata. Dan karenanya, lalu dinamakan ilmu kata-kata (ilmu kalam), suatu pengeta¬huan yang tidak disanggupi Umar, Usman, Ali dan lain-lain shahabat dimana Saidina Abu Bakar ra. memperoleh kelebihan dari mereka ini dengan suatu rahasia (sirr) yang terpendam di dalam dadanya.

Dan heran benar, orang-orang yang mendengar perkataan tersebut dari Nabi kita saw. lalu memandang leceh, dengan mendakwakan bahwa itu barang batil, bikinan kaum tasawwuf dan tidak dapat dipahami.
Maka haruslah anda berhati-hati menghadapinya. Kalau tidak, nan¬ti anda kehilangan modal. Dan waspadalah, untuk mengetahui rahasia yang terbongkar dari simpanan kaum fuqaha' dan ulama kalam! Anda tidak akan mendapat petunjuk untuk itu, selain dengan bersungguh-sungguh mempelajarinya.

Pendek kata, ilmu yang termulia dan tujuannya yang paling utama ialah mengenai Allah Ta'ala. 'itulah lautan yang dalamnya tidak dapat diduga. Tingkat yang tertinggi untuk itu dari manusia ialah tingkat para Nabi, kemudian para wali, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka.

Menurut riwayat, pernah orang bermimpi melihat dua orang ahli hikmah dalam sebuah masjid. Dalam tangan seorang dari keduanya adalah sehelai kertas yang bertulisan : "Jika anda telah berbuat ba¬ik segala sesuatu maka janganlah menyangka telah berbuat baik pula tentang sesuatu, sehingga anda telah mengenai Allah Ta'ala dan mengetahui bahwa DIA-lah yang menyebabkan segala sebab dan menjadikan segala sesuatu".

Dan dalam tangan yang seorang lagi bertulisan : "Sebelum saya mengenal Allah, saya minum dan saya haus. Ketika saya sudah mengenalNya, maka hilanglah kehausan saya tanpa minum".

Tugas ketujuh . bahwa tidak mencemplungkan diri ke dalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan, sebelum menyempurnakan bidang yang sebelumnya. Karena ilmu pengetahuan itu tersusun dengan tertib- Sebahagiannya menjadi jalan menuju kebahagian yang lain. Men¬dapat petunjuklah kiranya orang yang dapat memelihara tata-tertib dan susunan itu!
Berfirman Allah Ta'ala :

(AUadziina aatainaahumul kitaaba yatluunahuu haqqa tilaawatih). Artinya :
"Mereka yang kami datangkan Kitab kepadanya, dibacanya dengan sebaik-baiknya".(S. Al-Baqarah, ayat 121).
Artinya tidak dilampauinya sesuatu bidang, sebelum dikuasainya benar-benar, baik dari segi ilmiahnya atau segi amaliahnya. Dan tujuannya dalam segala ilmu yang ditempuhnya, ialah mendaki ke¬pada yang lebih tinggi. Dan sewajarnyalah ia tidak menghukum dengan batil terhadap sesuatu ilmu, karena timbul perselisihan pa¬ham diantara pemuka-pemukanya. Atau menghukum dengan kesalahan seorang atau beberapa orang diantara mereka. Atau menghu¬kum dengan harus menantangnya, karena berbeda antara perbuat- annya dan perkataannya.

Anda akan melihat suatu golongan, yang tidak mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan akal-pikiran dan pemahaman, disebabkan kata mereka persoalan itu kalau ada berpangkal, tentulah diketahui oleh pemuka-pemuka persoalan-persoalan itu sendiri.

Untuk menyingkap segala keraguan ini, sudah diutarakan dalam Kitab Mi'yaril-ilmi.
Anda akan melihat segolongan manusia yang berkeyakinan bahwa ilmu kedokteran itu batil, karena dilihatnya suatu kesalahan dari seorang dokter. Segolongan lagi, berkeyakinan bahwa ilmu nujum itu betul karena kebetulan kejadian itu sesuai dengan yang dinujumkan. Segolongan lagi, berkeyakinan bahwa ilmu nujum itu tidak betul, karena kebetulan kejadian itu tidak sesuai dengan yang dinujumkan.

Sebenarnya, semuanya itu salah. Tetapi sewajarnyalah sesuatu itu diketahui pada dirinya. Sebab tidaklah tiap-tiap orang itu menge¬tahui betul seluruh ilmu pengetahuan. Dari itu berkata Ali ra. : "Engkau tidaklah mengetahui kebenaran dengan orang-orang. Te¬tapi ketahuilah kebenaran itu, barulah engkau akan mengetahui ahlinya".

Tugas kedelapan : seorang pelajar itu hendaklah mengenai sebab untuk dapat mengetahui ilmu yang termulia. Yang demikian itu dikehendaki dua perkara :
Kemuliaan hasilnya.
Kepercayaan dan kekuatan dalilnya.
Hal itu seumpama ilmu agama dan ilmu kedokteran. Hasil dari yang satu itu kehidupan abadi dan dari yang lain itu kehidupan duniawi (hidup fana). Jadi, ilmu agamalah yang termulia.
Seumpama ilmu berhitung dan ilmu nujum. Maka ilmu berhitung- lah yang lebih mulia karena kepercayaan dan kekuatan dalil-dalilnya. Dan jika dibandingkan ilmu berhitung dengan ilmu kedokteran, maka ilmu kedokteranlah yang lebih mulia, dipandang kepada faedahnya. Dan ilmu berhitunglah yang lebih mulia, dipandang kepada dalil-dalilnya. Memperhatikan kepada faedahnya adalah lebih utama. Dari itu, ilmu kedokteranlah menjadi lebih mulia, meskipun bagian terbesar dari padanya didasarkan kepada kira- kiraan.

Dengan ini, jelaslah bahwa yang termulia ialah ilmu mengenai Allah 'Azza wa Jalla, mengenai malaikat-malaikatNya, kitab-kitab- Nya, rasul-rasulNya dan ilmu mengenai jalan yang menyampaikan kepada yang demikian.

Waspadalah, bahwa kegemaran tidaklah ditumpahkan kepada yang lain dari ilmu-ilmu tadi dan bersungguh-sungguhlah mempelajari nya!

Tugas kesembilan bahwa tujuan pelajar sekarang ialah menghiasi kebathinannya dan mencantikkannya dengan sifat keutamaan. Dan nanti ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, mendaki untuk mendekati alam yang tinggi dari para malaikat dan orang-orang muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan dirinya kepada Allah).
Dan tidaklah dimaksudkan dengan menuntut ilmu pengetahuan itu, untuk menjadi kepala, untuk memperoleh harta dan kemegahan, untuk melawan orang-orang bodoh dan untuk membanggakan diri dengan teman-teman.
Apabila yang tersebut di atas maksudnya, maka tak ragu lagi bahwa pelajar itu telah mendekati tujuannya, yaitu ilmu akhirat.

Dalam pada itu, tak layaklah memandang dengan pandangan kehinaan kepada ilmu pengetahuan yang lain, seperti ilmu fatwa, ilmu nahwu dan bahasa yang ada hubungannya dengan Kitab Suci dan Sunnah Nabi dan sebagainya yang telah kami uraikan pada muqad- dimah danpelengkap dari bermacam-macam ilmu pengetahuan yang termasuk dalam bahagian fardlu kifayah.

Janganlah anda berpikir tentang kesangatan pujian kami akan ilmu akhirat, bahwa kami melecehkan ilmu-ilmu yang lain. Tidak!
Orang-orang yang bertanggung jawab dalam lapangan ilmu penge¬tahuan, samalah halnya dengan orang-orang yang bertanggung ja¬wab di benteng-benteng pertahanan dan orang-orang yang ditugas - kan di situ dan orang-orang yang berjuang berjihad fi sabilillah. Diantara mereka itu ada yang bertempur, ada yang bertahan, ada yang menyediakan minuman, ada yang menjaga kendaraan dan ada yang mengurus orang-orang yang memerlukan rawatan.

Tidak ada seorangpun diantara mereka yang tidak mendapat paha- la, kalau tujuannya untuk meninggikan kalimah Allah, bukan untuk mengaut harta rampasan.
Maka demikian pula para 'alim ulama.
Berfirman Allah Ta'ala :

(Yarfa-'illaahul ladziina aamanuu minkum wal ladziina uutul 'ilma darajaat).
Artinya :"Ditinggikan Allah, mereka yang beriman diantara kamu dan mere¬ka yang diberikan ilmu, dengan beberapa tingkat".
(S. Al-Mujadalah, ayat 11).
Dan berfirman Allah Ta'ala :

(Hum darajaatun 'indallaah). Artinya :
"Mereka memperoleh beberapa tingkat pada Allah".
(S. Ali'Imran, ayat 163).

Kelebihan itu relatif. Pandangan kita lebih rendah kepada penukar- penukar uang, (penukar uang antara uang satu negara dengan uang negara lain) bila dibandingkan dengan pandangan kita kepada raja- raja, tidaklah menunjukkan kepada hinanya penukar-penukar uang itu bila dibandingkan dengan tukang-tukang sapu. Maka janganlah disangka bahwa apa yang diturunkan dari kedudukannya yang tinggi, berarti sudah kehilangan pangkat. Tidak! Sebab pangkat yang tertinggi ialah bagi para Nabi, kemudian bagi para Wali, ke-mudian bagi para ulama yang mendalam ilmunya, kemudian bagi orang-orang shalih, dengan berlebih-berkurangnya derajat mereka itu.

Pendek kata, barang siapa berbuat amal seberat biji sawi dari kebajikan, maka akan dilihatnya. Dan barang siapa berbuat amal seberat biji sawi dari kejahatan, maka akan dilihatnya. Barang siapa bertujuan kepada Allah dengan ilmu pengetahuannya, ilmu pengetahuan apapun juga, niscaya bergunalah baginya dan sudah pasti akan meninggikan derajatnya.

Tugas kesepuluh : bahwa harus diketahuinya hubungan pengetahu¬an itu kepada tujuannya. Supaya pengetahuan yang tinggi dan dekat dengan jiwanya itu, membawa pengaruh kepada tujuannya yang masih jauh. Dan yang penting membawa pengaruh kepada yang tidak penting.
Yang penting artinya mengandung kepentingan untukmu sendiri. Dan tak ada yang penting bagimu selain dari urusan mengenai dunia dan akhirat.

Apabila tidak mungkin engkau mengumpulkan antara kelezatan duniawi dan kenikmatan ukhrawi, sebagaimana yang diterangkan Al-Qur-an dan disaksikan dari nur hati-nurani, oleh apa yang berlaku dihadapan mata kepala, maka yang lebih penting adalah yang kekai abadi. Ketika itu, dunia menjadi tempat tinggal, badan men¬jadi kendaraan dan amal perbuatan menjadi jalan kepada tujuan. Dan tujuan itu tak lain dari berjumpa dengan Allah Ta'ala. Maka padanyalah seluruh kenikmatan, meskipun dalam alam ini tidak diketahui kadarnya selain oleh beberapa orang saja.

Ilmu pengetahuan itu bila dibanding kepada kebahagian berjumpa dengan Allah dan memandang kepada wajahNya Yang Mulia, yakni pandangan yang dicari dan dipahami oleh para Nabi

dan tidak yang terlintas dalam pemahaman orang awwam dan ahli ilmu kalam, ada¬lah tiga tingkat, yang dapat anda pahami dengan perbandingan dengan contoh. Yaitu adalah seorang budak yang menggantungkan kemerdekaannya dan kemungkinan mempunyai hak milik dengan mengerjakan ibadah hajji.

Dikatakan kepadanya : "Sekiranya engkau telah mengerjakan iba¬dah hajji dan telah engkau sempurnakan, maka jadilah engkau merdeka dan mempunyai hak milik. Jika engkau telah bersiap dan memulai berjalan menuju ke tempat peribadatan hajji, lalu menda¬pat halangan diperjalanan, maka engkau memperoleh kemerdekaan. Dan terlepas dari perbudakan saja, tanpa memperoleh kebahagiaan hak milik."

Maka bagi budak tersebut, ada tiga jenis perbuatan :
1.Menyediakan persiapan dengan membeli unta kendaraan, kendi air, perbekalan dan segala yang diperlukan dalam perjalanan.
2.Berjalan dan meninggalkan kampung halaman menuju Ka'bah tempat demi tempat.
3.Mengerjakan segala amal perbuatan hajji, rukun demi rukun.

Maka sesudah selesai dan sesudah membuka pakaian ihram dan bertawaf wida', niscaya berhaklah ia mempunyai hak milik dan kekuasaan penuh bagi dirinya. Dan baginya pada tiap-tiap kedu¬dukan itu mempunyai tingkat, sejak dari awal persiapan sampai akhirnya. Sejak dari permulaan menjalani desa-desa sampai akhir- nya. Dan sejak dari permulaan rukun hajji sampai akhirnya.
Maka tidak samalah kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang sudah memulai mengerjakan rukun hajji, dengan kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang baru menyelesaikan segala persiapan perbekalan dan kendaraan. Dan tidak sama pula dengan kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang sudah memulai berjalan menuju Tanah Suci atau-pun yang telah mendekatinya.
Dari itu, maka ilmu pun tiga bahagian.
Sebahagian berlaku semacam persiapan menyediakan perbekalan, kendaraan dan membeli unta. Ini adalah ilmu kedokteran, ilmu fiqih dan yang ada hubungannya dengan kemuslihatan tubuh di dunia ini.

Sebahagian berlaku sema¬cam menjalani desa-desa dan menghindarkan segala rintangan. Ini adalah mensucikan kebathinan dari segala kekotoran sifat dan mengatasi segala rintangan yang memuncak, yang tak sanggup orang-orang terdahulu dan terkemudian mengatasinya, selain orang orang yang telah memperoleh taufiq Tuhan. Maka inilah jalan yang dituju. Mempersiapkan pengetahuan untuk itu, samalah halnya dengan mempersiapkan pengetahuan tentang jalan-jalan mana dan .rumah-rumah mana di jalan itu yang dicari. Maka sebagaimana mengetahui di mana Ietak rumah dan jalan-jalan di sesuatu kampung, tidak mencukupi bila tidak dikunjungi, maka seperti itu pulalah, tidak mencukupi mengetahui ilmu perbaikan budi pekerti, tanpa budi pekerti itu diperbaiki. Tetapi perbaikan tanpa ilmu pengetahuan, tidak mungkin.

Bahagian yang ketiga, berlaku dalam melakukan ibadah hajji dan rukun-rukunnya. Ini adalah mengetahui tentang Allah dan sifatNya, para malaikatNya, segala perbuatanNya dan seluruh apa yang telah kami terangkan waktu membicarakan ilmu "al-mukasyafah " dahulu.

Di sinilah letaknya kelepasan dan kemenangan dengan kebahagiaan. Kelepasan adalah hasil bagi tiap-tiap orang yang menuju ke jalan Allah, apabila maksudnya mencapai kebenaran, yaitu keselamatan.
Kemenangan dengan kebahagiaan, tidaklah diperoleh, selain orang- orang yang mengenai Allah Ta'ala. Yaitu : orang-orang muqarrabin, yang memperoleh nikmat di sisi Allah Ta'ala dengan kegembiraan, kepuasan dan taman kesenangan. Adapun orang-orang yang tidak memperoleh tingkat kesempurnaan, maka bagi mereka kelepasan dan keselamatan, seperti firman Allah Ta'ala :

(Faammaa in kaana minal muqarrabiin fa rauhun wa raihaanun wa jannatu na'iim wa ammaa in kaana min ashhaabil yamiin fasa-laamun laka min ashhaabil yamiin).
Artinya :"Jika dia termasuk orang-orang yang dekat (kepada Tuhan), (dia memperoleh) kegembiraan, kepuasan dan taman kesenangan. Dan jika dia termasuk kaum kanan, (kepadanya diberikan penghormatan) : Selamat (damai) untuk engkau, dari kaum kanan".(S. Al-Waqi'ah, ayat-88-89-90-91).
Setiap orang yang tidak menuju kepada maksud dan tidak bergerak untuk itu atau ada bergerak kearah itu tetapi bukan dengan maksud mengikuti dan memperhambakan diri kepada Allah, hanya untuk suatu maksud yang cepat, maka termasuklah dia golongan kiri dan sesat. Penyambutan terhadap dia, ialah dengan air yang sangat pa- nas dan pembakaran dalam neraka.

Ketahuilah, bahwa inilah keyakinan yang sebenarnya (haqqul-yaqin) pada para ulama yang mendalam pengetahuannya. Saya maksudkan : mereka itu mengetahuinya dengan mempersaksikan dari kebathinan. Penyaksian yang demikian adalah lebih kuat dan lebih terang dari penyaksian dengan mata kepala. Mereka itu telah meninggi, dari batas taqlid, karena pendengaran semata-mata.

Keadaan mereka samalah dengan keadaan orang yang mendengar ceritera, maka dibenarkannya. Kemudian ia menyaksikan, maka diyakininya. Dan keadaan orang lain, samalah dengan keadaan orang yang sebelumnya, dengan keyakinan dan keimanan yang baik. Tetapi tidak memperoleh nasib penyaksian (musyahadah) dan pandangan yang tembus.

Maka kebahagiaan adalah di belakang ilmu mukasyafah. Dan ilmu mukasyafah adalah di belakang ilmu mu'amalah, yang menjadi jalan menuju ke akhirat. Penyingkiran halangan-halangan dari sifat yang keji dan jalan menuju penghapusan sifat yang tercela, adalah di belakang ilmu pengetahuan tentang sifat-sifat itu. Ilmu pengeta¬huan tentang cara mengobati dan cara pergi menuju ke sana, adalah di belakang ilmu keselamatan badan. Tolong-menolong memelihara sebab-sebab kesehatan dan keselamatan badan adalah dengan per- satuan, bergotong-royong dan tolong-menolong, yang dapat me- nyampaikan kepada pengurusan pakaian, makanan dan tempat.

Yang tersebut itu mempunyai hubungan dengan pemerintah dan undang-undangnya dalam memimpin rakyat ke jalan keadilan dan politik dalam kawasan ahli hukum fiqih.

Adapun sebab-sebab kesehatan, maka adalah dalam tanggung jawab dokter. Siapa yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu dua : ilmu mengenai tubuh manusia dan ilmu mengenai agama dan diisyaratkannya dengan ilmu agama itu, kepada ilmu fiqih, adalah maksudnya dengan perkataan tersebut ilmu pengetahuan dzahir yang tersiar. Bukan ilmu bathin yang tinggi kedudukannya.
Jika anda bertanya, mengapa disamakan ilmu kedokteran dan ilmu fiqih dengan menyiapkan perbekalan dan kendaraan ?

Maka ketahuilah, bahwa yang berjalan kepada Allah untuk mencapai dekatNya adalah hati, bukan badan. Tidaklah maksudku dengan hati itu daging yang bisa dilihat. Tetapi adalah suatu rahasia (sirr) dari rahasia Allah 'Azza wa Jalla, yang tidak diketahui oleh pancaindra. Suatu yang halus dari segala yang halus kepunyaan Allah.
Sekali disebut dengan kata-kata "ruh", sekali dengan kata-kata "an-nafsul muthmainnah ". (jiwa yang tenteram).
Agama menyebutkannya dengan hati (al-qalb), karena hatilah kendaraan pertama bagi rahasia itu. Dan dengan perantaraan hatilah maka seluruh badan menjadi kendaraan dan alat kendaraan untuktubuh halus itu.

Dan menyingkap tutup dari sirr tersebut, adalah sebahagian dari ilmu mukasyafah. Payah diperoleh bahkan tidak mudah menerangkannya. Paling tinggi yang diperbolehkan, hanya dapat dikatakan, bahwa hati (al-qalb) itu suatu dzat (jauhar) yang amat bernilai, suatu mutiara yang amat mulia. Lebih mulia dari segala benda yang dapat dilihat dengan mata. Dia itu, urusan ketuhanan (amrun ilahi), seperti firmanNya :

(Wa yas'aluunaka 'anirruuhi qiyirruuhu min amri rabbii)
Artinya :"Dan ditanyakan mereka akan engkau (Muhammad) tentang ruh, maka jawablah : Ruh itu urusan Tuhanku (min amri rabbi)".(S. Al-Isra', ayat 85).

Seluruh makhluk dihubungkan (mansubah) kepada Tuhan. Tetapi hubungan ruh (al-qalb = hati) kepadaNya, adalah lebih mulia dari hubungan seluruh anggota badan yang lain. Kepunyaan Allah selu¬ruh makhluk dan ruh. Ruh lebih tinggi dari makhluk yang lain.

Dzat yang amat bernilai itu yang membawa amanah Allah, suatu tugas yang pernah ditawarkan kepada langit, bumi dan bukit, tetapi enggan menerimanya dan takut kepada dzat yang bernilai itu.
Dan janganlah dipahamkan dari yang tersebut itu, seakan-akan di- bayangkan dengan qadimnya dzat itu.
Orang yang mengatakan dengan qadim ruh adalah tertipu dan bodoh, tak mengerti apa yang harus dikatakannya
.

Kami hendak menyingkatkan penjelasan tentang ini, karena di luar acara yang sebenarnya.
Maksudnya, bahwa tubuh halus itu ialah yang berusaha mendekati Tuhan, karena dia dari urusan Tuhan.
Dari Tuhan sumberya dan kepada Tuhan kembalinya.
Adapun badan, maka adalah kendaraan dari tubuh halus itu, yang dikendarainya dan diusahakannya sesuatu dengan perantaraannya.

Jadi, maka badan bagi tubuh halus itu dalam perjalanan kepada Allah Ta'ala adalah seumpama unta bagi tubuh manusia dalam perjalanan hajji. Dan seumpama kendi tempat menyimpan air yang dihajati oleh badan.
Maka seluruh ilmu pengetahuan yang tujuannya demi kemuslihatan badan, maka ilmu itu termasuk dalam jumlah kepentingan kenda¬raan. Dan tidak tersembunyi lagi bahwa ilmu kedokteran pun se¬perti itu juga. Karena kadang-kadang diperlukan kepadanya untuk pemeliharaan kesehatan badan. Meskipun manusia itu sendirian, memerlukan juga kepada ilmu kedokteran. Lain halnya dengan ilmu fiqih. Karena kalau manusia itu sendirian, kadang-kadang ia tidak memerlukan kepada ilmu fiqih. Tetapi manusia itu dijadikan oleh Tuhan dalam bentuk yang tidak mungkin hidup sendirian. Sebab tidak dapat mengusahakan sendiri seluruh keperluan hidupnya, baik untuk memperoleh makanan dengan bertani dan berladang, mem¬peroleh roti dan nasi, memperoleh pakaian dan tempat tinggal dan menyiapkan alat untuk itu seluruhnya.

Maka manusia itu memerlukan kepada pergaulan dan tolong-menolong. Manakala manusia itu bercampur-baur dan berkobarnya hawa nafsu diantara mereka, lalu tarik-menariklah sebab-sebab untuk memperoleh keinginan. Dan mereka bantah-membantah dan perang-berperang.
Dari peperangan itu timbullah kebinasaan, disebabkan perlombaan dari luar, sebagaimana timbulnya kebinasaan disebabkan pertentangan campuran dari dalam.

Dengan ilmu kedokteran terpeliharalah keseimbangan dalam segala campuran yang saling bertentangan dari dalam. Dan dengan politik serta keadilan, terpeliharalah keseimbangan dalam perlombaan dari luar.

Pengetahuan jalan keseimbangan campuran itu adalah ilmu kedok¬teran. Dan pengetahuan jalan keseimbangan hal manusia dalam masyarakat dan perbuatan-perbuatannya itu adalah ilmu fiqih namanya.
Semuanya itu untuk menjaga keselamatan tubuh manusia yang menjadi kendaraan dari tubuh halus itu.
Orang yang semata-mata mempelajari ilmu fiqih atau ilmu kedok¬teran, apabila tidak berjuang melawan hawa nafsunya dan tidak berusaha memperbaiki jiwanya, maka samalah dengan orang yang membeli unta serta umpannya, kendi serta airnya apabila tidak berangkat pergi menunaikan ibadah hajji. Orang yang menghabis- kan umurnya dalam susunan kata-kata yang teijadi dalam perdebat¬an ilmu fiqih, samalah halnya dengan orang yang menghabiskan umurnya meneliti sebab-sebab supaya kokoh kuat jahitan kendi air yang akan dibawa waktu mengerjakan hajji.

Perbandingan mereka yang berjalan menuju ke jalan perbaikan jiwa, yang menyampaikan kepada ilmu mukasyafah, samalah de¬ngan mereka yang berjalan menuju ke jalan hajji atau dengan mere¬ka yang sedang mengerjakan rukun hajji. Maka perhatikanlah perta¬ma kali akan ini dan terimalah nasehat dengan cuma-cuma, dari orang yang biasanya tegak berdiri untuk itu. Dan tidak akan sampai kepadanya, selain sesudah menempuh perjuangan yang sungguh- sungguh, dan cukup keberanian, menghadapi manusia yang beraneka ragam pembawaannya diantara orang awam dan orang khawas {orang tertentu), di mana mereka menurut hawa nafsunya semata- mata.
Cukuplah sekian mengenai tugas-tugas dari pelajar!.

salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Sun Oct 17, 2010 11:19 pm

BAB KEENAM : Tentang bahaya ilmu pengetahuan, penjelasan tanda-tanda ulama akhirat dan ulama su' (ulama jahat).

Telah kami terangkan dahulu ayat dan hadits tentang kelebihan ilmu dan ulama (ahli ilmu). Dan mengenai ulama su' telah datang penegasan-penegasan yang tegas, yang menunjukkan bahwa mereka memperoleh 'azab yang sangat keras pada hari qiamat, dibanding- kan dengan orang-orang lain.

Yang teramat penting, ialah mengetahui tanda-tanda yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat,
Yang kami maksudkan dengan ulama dunia ialah ulama su' yang tujuannya dengan ilmu pengetahuan itu ialah untuk memperoleh kesenangan duniawi, kemegahan dan kedudukan.
Bersabda Nabi saw. :

(Inna asyaddan naasi 'adzaaban yaumal qiaamati 'aalimun lam yan- fa' hullaahu bi'ilmihi).
Artinya:
"Manusia yang sangat memperoleh 'azab pada hari qiamat ialah orang yang berilmu yang tiada bermanfa'at dengan ilmunya(1)
Dan bersabda Nabi saw. :

(Laa yakuunul mar-u 'aaliman hattaa yakuuna bi'ilmihi 'aamiiaa).
Artinya :
"Tidaklah seorang itu bemama lalim sebelum berbuat menuruti il¬munya (2)
(1) Dirawikan Abi Hurairah. Dan Al-Ghazali ra. telah menyebutkan hadits ini tiga kali dengan ini.
(2) Dirawikan Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi dari Abid darda'.
224
Dan bersabda Nabi saw.: "Ilmu pengetahuan itu ada dua : ilmu pa¬da lisan, yaitu ilmu yang menjadi alasan bagi Allah atas makhluk- Nya dan ilmu pada hati, yaitu ilmu yang bermanfa'at". (1)
Bersabda Nabi saw. lagi : "Adalah pada akhir zaman, orang-orang yang beribadah yang bodoh dan orang-orang yang berilmu yang tidak beribadah (fasiq)(2)
Bersabda Nabi saw. : "Janganlah engkau mempelajari ilmu penge¬tahuan untuk bersombong-sombong dengan sesama berilmu, untuk bertengkar dengan orang-orang yang berpikiran lemah dan untuk menarik perhatian orang ramai kepadamu. Barang siapa berbuat demikian, maka dia dalam neraka p)
Bersabda Nabi saw. : "Barang siapa menyembunyikan ilmu penge¬tahuan yang ada padanya maka diberikan oleh Allah kekang pada mulutnya dengan kekang api neraka". (3)
Dan bersabda Nabi saw. : "Sesungguhnya aku lebih takut padamu, kepada yang bukan dajal dari dajal'
Lalu orang menanyakan : "Siapakah itu?"
Maka menjawab Nabi saw. : "Imam-imam (pemuka-pemuka) yang menyesatkan". (5)
Bersabda Nabi saw. : "Barang siapa bertambah ilmunya dan tidak bertambah petunjuk, niscaya dia tidak bertambah dekat melainkan bertambah jauh dari Allah". (6)
Bersabda Nabi Isa as. : "Kapankah kamu akan menerangkan jalan kepada orang-orang yang berjalan malam, sedang kamu bertempat tinggal bersama-sama orang-orang yang dalam keheranan ?"
Dengan hadits ini dan lainnya, menunjukkan betapa besarnya ba¬haya ilmu. Orang yang berilmu, adakalanya menderita kebinasaan abadi atau kebahagiaan abadi. Dengan berkecimpung dalam ilmu pengetahuan, orang yang berilmu itu tidak memperoleh keselamat¬an, jika tidak mendapat kebahagiaan.
(1) Dirawikan At-Tirmidai dan Ibnu Abdil-Birri dari Al-Hasan.
(2) Dirawikan Al-Hakim dari Anas, hadits dla'if.
(3) Dirawikan ibnu Majah dari Jabir dengan isnad shahih.
(4) Kata-kata hadits ini, adalah pada sebagian jalan hadits Abi Hurairah,
yang dirawikan Ibnu jurji.
(5) Dirawikan Ahmad dari Abi Dzar dengan isnad baik.
(6) Dtrawikan Abu Manshur Ad:Daiiami dan Ibnu Hibban, mauquf pada Al-Hasan.
225
Adapun atsar (kata-kata shahabat dan ulama-ulama terdahulu), diantara lain berkata Umar ra. : "Yang paling saya takutkan kepada ummat ini, ialah orang munafiq yang berilmu
Bertanya hadlirin : "Bagaimana ada orang yang munafiq berilmu?".
Menjawab Umar ra. : Berilmu di lidah, bodoh di hati dan diperbuatan "
Berkata Al-Hasan ra.: "Janganlah ada engkau sebahagian dari orang yang mengumpulkan ilmu ulama, katapilihan hukuma* dan berla¬ku dalam perbuatan seperti sufaha* (orang-orang bodoh)".
Berkata seorang laki-laki kepada Abu Hurairah ra. : "Saya mau mempelajari ilmu, tetapi saya takut nanti ilmu itu tersia-sia".
Menjawab Abu Hurairah ra. : "Dengan meninggalkan saja, sudah mencukupi untuk dipandang menyia-nyiakan ilmu "
Ditanyakan Ibrahim bin Uyainah : "Manakah manusia yang lama benar penyesalan nya?"
Menjawab Ibrahim : "Adapun pada masa dekat di dunia ini, ialah orang yang berbuat baik kepada orang yang tidak tahu berterima kasih. Dan ketika mati nanti, ialah orang yang berilmu yang me- nyia-nyiakan ilmunya".
Berkata Al-Khalil bin Ahmad : "Orang itu empat macam.
Semacam ialah orang yang mengetahui dan tahu ia mengetahui. Maka dia itu ialah orang yang berilmu. Ikutlah dia!
Semacam ialah orang yang mengetahui dan tidak tahu ia mengetahui. Maka dia itu, ialah orang yang tidur. Bangunkanlah dia!
Semacam lagi ialah orang yang tidak mengetahui dan tahu dia tidak mengetahui. Maka dia itu, ialah orang yang meminta petunjuk. Maka tunjukilah dia!
Dan semacam lagi ialah orang yang tidak mengetahui dan tidak tahu dia tidak mengetahui. Maka dia itu, ialah orang yang jahil. Maka tolaklah dia!"

Berkata Sufyan Ats -Tsuri ra. : "Disambut ilmu dengan amal per¬buatan. Kalau ada demikian, maka ilmu itu menetap. Kalau tidak, maka dia berangkat
Berkata Ibnul Mubarak : "Senantiasa manusia itu berilmu selama ia menuntut ilmu. Apabila ia menyangka sudah berilmu, maka dia itu, telah bodoh".
Berkata Al-Fudhail bin Iyadh ra. : "Saya menaruh belas kasihan kepada tiga orang yaitu orang mulia dalam kaumnya yang meng-
226
hinakan diri, orang kaya dalam kaumnya yang memiskinkan diri dan orang yang berilmu yang dipermainkan dunia".
Berkata Al-Hasan : "Siksaan bagi ulama ialah mati hatinya. Kematian hati ialah mencari dunia dengan amalan akhirat". Dan bermadahlah mereka :
Aku heran orang membeli kesesatan dengan petunjuk. Lebih heran lagi, orang membeli dunia dengan agamanya.
Yang lebih heran dari yang dua itu
Orang menjual agamanya dengan dunia.
Inilah yang paling ajaib dan yang.dua itu
Bersabda Nabi saw. :

(Innal 'aalima layu'adz-dzabu 'adzaaban yathiifu bihii ahlun naaris- ti'dhaaman lisyiddati 'adzaabih). Artinya :
"Bahwa orang yang berilmu itu di 'azabkan dengan suatu *azab yang dikelilingi penduduk neraka dengan perasaan dahsyat, karena bersangatan azabnya" (1)
Dimaksudkan dengan orang yang berilmu tadi* ialah orang berilmu yang dzalim.
Berkata Usamah bin Zaid : "Aku mendengar Rasulullah saw. ber¬sabda :

(Yu'-taa biTaalimi yaumal qiaamati fayulqaa fin naari fatandaliqu aqtaabuhu fayaduuru bihaa lrama» yaduurul himaaru birrahaa fa- yathiifu bihii ahlun naari fayaquuluuna maa laka? Fayaquulu : Kuntu aamuru bil khairi wa laa aatiihi wa anhaa 'anisy-syarri wa aatiih).
(1) Menurut Aliraqi. dia tldak parnah manjumpai hadits ini dengan bunyi demikian.
227
Artinya :
"Pada hari qiamat, dibawa orang yang berilmu lalu dilemparkan ke dalam neraka. Maka keluarlah perutnya. Dia mengelilingi perut-nya itu seperti keledai mengelilingi gilingan gandum. Penduduk neraka mengelilinginya, seraya bertanya : "Mengapa* engkau be- gini ?".
Menjawab orang yang berilmu itu : "Adalah aku menyuruh dengan kebaikan dan aku sendiri tidak mengerjakannya. Aku melarang dari kejahatan dan aku sendiri mengerjakannya". tu
Dilipat-gandakan 'azab kepada orang yang berilmu, karena ma'siat- nya. Karena ia mengerjakan ma'siat itu dengan ilmu. Dari itu ber¬firman Allah Ta'ala :

(Innal munaafiqiina fiddarkil asfali minannaari). Artinya :
"Bahwa orang munafiq itu dalam tingkat yang paling bawah dari api neraka(S An_Nisaj ayat 145)#
Karena mereka ingkar sesudah berilmu. Dijadikan orang Yahudi lebih jahat dari orang Nasrani, pada hai orang Yahudi tidak mengaku Allah mempunyai anak dan tidak mengatakan bahwa Allah itu yang ke tiga dari tiga, adalah disebabkan orang Yahudi itu ingkar sesudah tahu. Berfirman Allah Ta'ala : "Mereka mengetahuinya (Kitab Suci) seperti mengetahui anaknya sendiri (S. Al-Baqarah, ayat 156).
Dan berfirman Allah Ta'ala : "Setelah datang kepada mereka apa yang mereka ketahui, mereka tidak percaya kepadanya. Sebab itu Allah Ta'ala mengutuki orang-orang yang kafir"(S. Al-Baqarah, ayat 89).
Berfirman Allah Ta'ala mengenai kisah BaTam bin Ba'-ura' : "Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan keterangan-keterangan Kami kepadanya, lalu dibuangnya. Sebab itu, dia didatangi setan dan termasuk orang-orang yang sesat jalan (S. Al-A'raaf, ayat 175),
(1) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari usamah bin Zaid.
228
Sampai Allah Ta'ala berfirman : "Orang itu adalah seumpama an¬jing, kalau engkau halau, diulurkannya lidahnya dan kalau engkau biarkan, diulurkannya juga lidahnya
(S. Al-A'raaf, ayat 176).
Maka begitu jugalah orang berilmu yang dzalim. Kepada Bal'am diberikan Kitab Allah, tetapi dia terus bergelimang dalam hawa nafsu, Maka dia diserupakan dengan anjing. Artinya, sama saja an¬tara diberikan ilmu hikmah atau tidak diberikan, dia terus menjilat dengan lidahnya pada hawa nafsu.
Bersabda Isa as.: "Orang berilmu yang jahat adalah seumpama batu besar yang jatuh ke mulut sungai. Dia tidak mengisap air dan tidak menghalangiair mengalir ke tanam- tanaman. Dan seumpama parit rumput, dzahirnya yang kelihatan seperti di cat dan dalamnya yang tidak kelihatan adalah berbau busuk. Dan seumpama kuburan, dzahimya yang kelihatan adalah bangun-bangunan dan bathinnya di dalam adalah tulang-belulang orang mati'
Itulah hadits-hadits dan kata-kata berhikmah yang menerangkan, bahwa orang berilmu yang mejijadi anak dunia adalah lebih buruk keadaannya dan lebih sangat 'azab yang dideritainya dari orang bodoh.
Yang memperoleh kemenangan dan dekat dengan Tuhan ialah Ulama akhirat. Tanda-tandanya banyak. Diantaranya,ulama akhirat itu tidak mencari dunia dengan ilmunya.
Sekurang-kurang tingkat seorang yang berilmu itu, mengetahui kehinaan dunia, keburukan, kekotoran dan keseramannya. Kebesaran akhirat, keabadian, kebersihan nikmat dan keluhuran keraja- annya. Dan mengetahui bahwa antara dunia dan akhirat itu berla¬wanan. Keduanya seumpama dua wanita yang bermadu, manakala dicari kerelaan yang seorang, maka yang lain marah. Dan seumpama dua daun neraca, manakala berat yang satu, maka yang lain ringan.

Dunia dan akhirat itu laksana masyriq dan magrib. Manakala didekati yang satu, maka pasti bertambah jauh dari yang lain. Atau seumpama dua wadah, yang satu penuh dan yang lain kosong. Sebanyak yang diambil dari yang berisi untuk dituangkan ke dalam yang kosong sampai penuh, maka demikianlah kosong yang berisi itu.
Maka orang yang tidak mengenai kehinaan dunia, kekotoran dan kecampur-bauran kelezatan dengan kesakitannya, kemudian ke-
229
seraman apa yang kelihatan bersih dari dunia itu, maka orang itu adalah manusia yang telah rusak akal.
Sesungguhnya penyaksian dan pengalaman menunjukkan kepada demikian. Maka bagaimanakah termasuk golongan orang berilmu, orang yang tak berakal? Orang yang tak mengetahui kebesaran keadaan akhirat dan keabadiannya, maka orang itu telah tertutup hatinya dan tercabut keimanannya. Maka bagaimanakah termasuk golongan orang berilmu, orang yang tak beriman? Dan orang yang tak mengetahui berlawanannya dunia dengan akhirat dan mengum- pulkan keduanya adalah satu harapan yang tak usah dxharapkan, maka orang itu bodoh dengan seluruh agama nabi-nabi. Bahkan hatinya telah tertutup dari seluruh isi Al-Qur-an, dari permulaannya sampai kepada penghabisannya. Maka bagaimanakah dia dihitung termasuk dalam golongan ulama?

Orang yang mengetahui ini seluruhnya tetapi tidak memilih akhirat dari dunia, maka adalah tawanan setan. Telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dipaksakan oleh kecelakaannya. Maka bagai¬manakah dihitung termasuk dalam barisan ulama, orang yang ting- katanny a demikian ?

Dalam warta berita nabi Daud as. yang merupakan firman dari Allah Ta'ala, tersebut : "Sekurang-kurang perbuatanKu dengan orang yang berilmu apabila memilihkan hawa nafsunya dari mencintai Aku, ialah Kuharamkannya kelezatan bermunajah dengan Aku.

Hai Daud! Jangan engkau tanyakan kepadaKu orang yang berilmu yang telah dimabukkan oleh dunia, maka dicegahnya engkau dari jalan kecintaanKu. Mereka itulah penyamun-penyamun terha¬dap hambaKu.

Hai Daud! Apabila engkau melihat seorang pelajar untukKu, maka hendaklah engkau menjadi pesuruhnya!

Hai Daud! Barang siapa mengembalikan kepadaKu orang yang lari, maka Kutuliskan dia orang yang tahu kebenaran. Barang siapa Kutuliskan Sebagai orang yang tahu kebenaran, maka tidak Ku'azabkan dia selama-lamanya

Dari itu berkata Al-Hasan ra. : "Siksaan bagi orang yang berilmu ialah mati hatinya. Mati hati ialah mencari dunia dengan amal per¬buatan akhirat". Karena itu berkata Yahya bin Ma'az : "Sesung¬guhnya hilanglah keelokan ilmu dan hikmah, apabila dicari dunia dengan keduanya".
Berkata Sa'id bin Al-Muiayyab ra. : "Apabila engkau melihat orang yang berilmu mendatangi amir-amir maka itu adalah pencuri".
230
Berkata Umar ra.: "Apabila engkau melihat orang yang berilmu mencintai dunia, maka curigalah dia terhadap agamanya! Karena tiap-tiap orang yang mencintai sesuatu, ia akan berkecimpung pada yang dicintainya itu".

Berkata Malik bin Dinar ra. : "Aku telah membaca dalam beberapa kitab lama bahwa Allah Ta¬'ala berfirman : "Bahwa yang paling mudah Aku perbuat dengan orang yang berilmu apabila ia mencintai dunia, ialah Aku keluar kan dari hatinya kelezatan bermunajah dengan Aku".
Seorang laki-laki menulis surat kepada saudaranya, yang berbunyi: "Engkau telah diberikan ilmu, maka janganlah engkau padamkan nur ilmu itu dengan kegelapan dosa. Nanti engkau kekal dalam kegelapan, pada hari berjalan segala ahli ilmu dalam sinar ilmunya".
Berkata Yahya bin Ma'az Ar-Razi ra. : kepada para ahli ilmu duni¬awi : "Hai segala ahli ilmu! Istanamu seperti is tana kaisar Romawi, rumahmu seperti rumah raja (kisra) Persi pakaianmu seperti pakai¬an golongan Dzahiriah, sepatumtu seperti sepatu Jalut, kendaraan-mu seperti kendaraan Qarun, tempat makanmu seperti tempat makan Fir'aun,perbuatanmu seperti perbuatan orang jahiliah dan madzhabmu seperti madzhab setan. Maka dimanakah syari'at Muhammad itu ?".

Berkata seorang penyair :
Pengembala domba menjaga dari serigala.
Maka bagaimana pula ... .
apabila
pengembala itu sendiri serigala?"

Berkata penyair lain :
"Wahai para pembaca
Wahai garam negeri
Tidaklah garam dapat membuat perbaikan, apabila garam itu sendiri busuk
Ditanyakan kepada setengah 'arifin (orang yang mempunyai ma'rifah kepada Allah Ta'ala) : "Adakah tuan berpendapat bahwa orang yang meletakkan pekerjaan ma'siat menjadi kecintaannya, tidak mengenai Allah?"

Menjawab 'arifin itu : "Tak ragu aku bahwa orang yang memilih dunia dari akhirat adalah tidak mengenai Allah Ta'ala".
Selain dari itu, amat banyak lagi kata-kata hikmah tentang itu.

Janganlah anda menyangka bahwa meninggalkan harta kekayaan saja sudah mencukupi untuk menghubungkan diri dengan ulama akhirat. Sebab mencari kemegahan itu, lebih lagi membawa kemelaratan dari harta. Dari itu berkata Bisyr :

"Berbicara dengan kami salah satu dari pintu dunia. Maka apabila aku mendengar orang mengatakan : "Berbicaralah dengan kami!", maka sebenarnya ia mengatakan : "Berilah kelapangan kepadaku".
Bisyr bin Harts menanamkan lebih sepuluh buah buku antara peti buku dan peti tempat simpanan tamar (kurma kering). Dia menga¬takan : "Saya ingin berbicara. Jikalau hilanglah keinginanku ber- bicara, maka aku berbicara".

Berkata Bisyr dan lainnya : "Apabila ingin engkau berbicara, maka diamlah! Apabila tidak ingin, maka berbicaralah!"

Pahamilah ini! Karena merasa kelezatan dengan kemegahan mem¬buat sesuatu jasa dan memperoleh kedudukan memberi petunjuk kepada orang, adalah kelezatan yang terbesar dari seluruh kenik- matan duniawi. Barang siapa memperkenankan hawa nafsunya membicarakan itu, maka adalah dia diantara anak-anak dunia.

Dari itu berkata Ats-Tsuri : "Fitnah pembicaraan, adalah lebih hebat dari pada fitnah keluarga, harta dan anak. Bagaimanakah tidak ditakuti fitnahnya? Dan telah dikatakan kepada Penghulu segala rasul saw.: Jikalau tidaklah Kami tetapkan pendirian engkau, maka hampirlah engkau condong sedikit kepada mereka".

Berkata Sahl ra. : "Ilmu itu seluruhnya dunia. Yang akhirat dari ilmu itu, ialah berbuat amal. Amal seluruhnya itu hampa, kecuali dengan keikhlasan".

Berkata Sahl seterusnya : "Manusia seluruh¬nya mati selain para ahli ilmu. Para ahli ilmu itu mabuk, selain yang beramal. Orang yang beramal seluruhnya tertipu, selain yang ikhlas. Orang yang ikhlas itu dalam ketakutan, sebelum diketahui¬nya apa kesudahan dari amalnya itu

Berkata Abu Sulaiman Ad-Darani ra. : "Apabila seseorang mempe¬lajari hadits atau kawin atau merantau mencari penghidupan, maka orang itu telah condong kepada dunia "
Maksud Abu Sulaiman dengan ucapannya itu ialah mencari isnad- isnad hadits yang tinggi atau mencari hadits yang tidak diperlukan pada mencari akhirat.

Berkata Nabi Isa as. : "Bagaimana menjadi ahli ilmu orang yang perjalanannya ke akhirat, sedang dia menghadap ke jalan dunia?

Bagaimana menjadi ahli ilmu orang mencari ilmu kalam untuk diceriterakan, tidak untuk diamalkan ?"
Berkata Shaleh bin Kaisan Al-Bashari : "Aku berjumpa dengan beberapa orang syekh. Mereka itu berlindung dengan Allah dari orang dzalim yang alim dengan sunnah Nabi saw.".
Berkata Abu Hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda :

(Man thalaba *ilman mimmaa yubtaghaa bihii wajhullaahi Ta'aalaa liyushiiba bihii 'ardlan minad dun-yaa lam yajid 'arfal jannati yau¬mal qiyaamah).
Artinya :"Barang siapa menuntut ilmu-.diantara ilmu pengetahuan yang menuju kerelaan Allah untuk memperoleh harta benda duniawi, maka orang itu tidak akan mencium bau sorga pada hari qiamat. (1)
Sudah dijelaskan oleh Allah altan ulama su' dengan mencari dunia dengan ilmunya dan ulama akhirat dengan khusu' dan zuhud. Berfirman Allah 'Azza wa Jalla tentang ulama dunia : "Dan ketika
Allah mengambil janji orang-orang yang diberikan Kitab : Bahwa mereka akan menerangkan Kitab itu kepada manusia dan tidak akan menyembunyikan ; kemudian janji itu mereka buang kebelakang dan mereka mengambil sedikit keuntungan untuk gantinya".

(S. Ali 'Imran, ayat 187). Berfirman Allah Ta'ala tentang ulama akhirat:
(Wa inna min ahlil kitaabi laman yu'minu billaahi wa maa unzila ilaikum wa maa unzila ilaihim khaasyii'iina lillaahi laa yasytaruuna biaayaatillaahi tsamanan qaliilan, ulaaika lahum ajruhum indarab- bihim).
(1) Dirawikan Abu dawud dan ibnu Majah dari Abu Hurairah dengan isnad baik.

Artinya :"Bahwa diantara orang-orang yang diturunkan Kitab itu ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada wahyu yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka, mereka tunduk kepada Allah, dengan tidak menukar keterangan-keterangan Allah itu dengan harga yang murah. Mereka memperoleh pahala dari sisi Tuhan". (S. Ali 'imran, ayat 199).
Berkata setengah ulama salaf : "Para ulama itu dibangkitkan dalam rombongan nabi-nabi. Dan para kadli (hakim) dibangkitkan dalam rombongan raja-raja."
Dimaksudkan dalam pengertian kadli, juga seluruh ahli fiqih, yang tujuannya mencari dunia dengan ilmu pengetahuannya.
Diriwayatkan Abud-Darda' dari Nabi saw. bahwa Nabi saw. bersabda :
"Diwahyukan Allah kepada sebahagian nabi-nabi, yaitu: "Katakanlah kepada mereka yang menuntut ilmu, bukan untuk agama, belajar bukan untuk amal dan mencari dunia dengan amal perbuatan akhirat : "Bahwa mereka memberi pakaian kulit kibas kepada manusia. Hati mereka seperti hati serigala. Lidah mereka lebih manis daripada madu. Hati mereka lebih pahit daripada buah peria. Aku dikicunkannya, namaKu dipermain-mainkannya. Sesungguh¬nya akan Aku buka bagi mereka fitnah yang meninggalkan keheranan bagi orang yang penyantun". (1)(1) Dirawikan Ibnu Abdll-Birrdari Abld Darda' dengan isnad dla'if.

Diriwayatkan Adl-Dlahhak dari Ibnu Abbas ra. bahwa Ibnu Abbas mendengar Rasulullah saw. bersabda :
"Ulama ummat ini terbagi dua. Yang satu dianugerahi Allah ilmu pengetahuan lalu diberikannya kepada orang lain dengan tidak meng- harap apa-apa dan tidak diperjual-belikan. Ulama yang seperti ini dido'akan kepadanya oleh burung di udara, ikan dalam air, hewan di atas bumi dan para malaikat yang menuliskan amal manusia. Dia dibawa kehadapan Allah TaTala pada hari qiamat, sebagaise- orang tuan yang mulia, sehingga menjadi teman para rasul Tuhan. Yang satu lagi dianugerahi Allah ilmu pengetahuan dalam dunia ini dan kikir memberikannya kepada hamba Allah, mengharap apa-apa dan memperjual-belikan. Ulama yang seperti ini datang pada hari qiamat, mulutnya dikekang dengan kekang api neraka. Dihadapanm anusia ramai, tampi lseorang penyeru, menyerukan : "Inilah sianu anak si anu dianugerahi Allah ilmu pengetahuan. di dunia, maka ia kikir memberikannya kepada hamba Allah, dia mengharap apa-apa dan memperjual-belikannya.
Ulama tadi di'azabkan sampai selesai manusia lain dihitung amalan- nya (dihisab)". (1)

Yang lebih dahsyat dari itu lagi, ialah riwayat yang menerangkan bahwa ada seorang laki-laki menjadi pesuruh Nabi Musa as. Laki- laki itu selalu mengatakan :
"Diceriterakan kepadaku oleh Musa Pilihan Allah.
Diceriterakan kepadaku oleh Musa yang Dilepaskan Allah (Najiullah).
Diceriterakan kepadaku oleh Musa yang berkalam dengan Allah (Kalimuliah)". Sehingga orang itu menjadi kaya raya banyak hartanya. Kemudian orang itu hilang, tidak diketahui oleh Musa as. kemana perginya. Maka Musa as. bertanya kesana kemari tetapi tidak mendapat berita apa-apa.

Pada suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Musa as. membawa seekor babi dan pada leher babi itu tali hitam. Bertanya Musa as. pada laki-laki itu : "Kenalkah engkau si anu?"
Menjawab laki-laki itu : "Kenal! Dialah babi ini".
Maka berdo'a Musa as. : "Wahai Tuhan ku! Aku bermohon kehadliratMu. Kembalikanlah orang ini kepada keadaannya semula, supaya aku dapat menanyakan, apakah yang telah meiiimpa dirinya !
Maka Allah 'Azza wa Jalla mewahyukan kepada Musa as. : "Seki¬ranya engkau meminta kepadaKu dengan apa yang telah dimintakan Adam atau lebih kurang lagi, tidak juga Aku perkenankan, Tetapi Aku kabarkan kepadamu, mengapa Aku berbuat begitu, adalah disebabkan orang itu mencari dunia dengan agama"
Yang lebih berat lagi dari ini, ialah yang diriwayatkan Ma'az bin Jabal ra. suatu hadits mauquf dan marfu' bahwa Nabi saw. bersab¬da : "Diantara fitnah dari seorang yang berilmu ialah lebih suka ia berkata-kata dari pada mendengar. Sebab dalam perkataan itu ba¬nyak bunga dan tambahan dan belum ada jaminan terpelihara dari kesalahan. Dalam berdiam diri timbul keselamatan dan tanda beril¬mu pengetahuan. Diantara orang yang berilmu (ulama), ada yang menyimpan saja ilmunya, tidak suka ada pada orang lain. Orang yang semacam ini, dalam lapisan pertama dari api neraka. Diantara
(1) Dirawikan Atb-Thabranl dart Ibnu Abbas dengan isnad dla'lf.

orang yang berilmu, ada yang bersikap sebagai raja dengan ilmunya. Jika ada pengetahuannya yang ditolak orang atau dipandang orang lemah dan kurang benar, maka marahlah dia. Orang yang semacam ini dalam lapisan kedua dari api neraka. Diantara orang yang beril¬mu, ada yang menyediakan ilmunya dan pembahasan ilmiahnya yang mendalam untuk orang yang terkemuka dan yang kaya saja dan tidak mau melihat kepada orang yang memerlukan kepada ilmu pengetahuannya. Orang yang semacam ini dalam lapisan ketiga dari api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang meng- angkat dirinya, untuk memberi fatwa, lalu ia berfatwa salah. Allah Ta'ala memarahi orang-orang yang memberatkan dirinya dengan beban yang tidak disanggupinya. Orang yang semacam ini dalam lapisan keempat dari api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang berbicara cara Yahudi dan Nasrani untuk memperlihatkan ketinggian ilmu pengetahuannya. Orang yang semacam ini dalam lapisan kelima dari api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang membuat ilmunya untuk prestige (kehormatan diri), kemulia¬an dan keharuman nama ditengah-tengah masyarakat. Orang yang semacam ini dalam lapisan keenam dalam api neraka. Diantara orang yang berilmu, ada yang menarik kebanggaan dan kesombong- an dengan ilmunya. Bila ia memberi nasehat, menghardik. Dan bila dinasehati, berkeras kepala. Orang yang semacam ini dalam lapisan ketujuh dari api neraka.

Diceriterakan bahwa seorang laki-laki dari Khurasan membawa kepada Al-Hasan suatu bungkusan sesudah Al-Hasan meninggalkan majlisnya. Bungkusan tersebut berisi lima ribu dirham dan sepuluh potong kain dari benang halus.Berkata laki-laki itu : "Hai Abu Said! (Panggilan kepada Al-Hasan) Inilah belanja dan inilah pakaian!"


Berfirman Allah Ta'ala :
(Fakharaja 'alaa qaumihii fii ziinatihii qaalalladziina yuriiduunal hayaatad dun-yaa yaalaita lanaa mitsla maa uutiya qaaruunu inna- huu ladzuu hadhdhin 'adhiim wa qaalalladziina uutul 'ilma waila- kum tsawaabullaahi khairun liman aamana).

Artinya:"Lalu dia keluar kepada kaumnya dengan perhiasannya (yang indah-indah). Orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia ini berkata : Wahai! Kiranya kami mempunyai seperti apa yang diberi¬kan kepada Qarun! Sesungguhnya dia beruntung yang besar (bernasib baik)! Tetapi orang-orang yang berpengetahuan berkata : Malang nasibmu Pahala dari Tuhan lebih baik untuk orang yang beriman(S.Al-Qashash, ayat 79 - 80).
Maka ahli ilmu itu tahu memilih akhirat atas dunia.
Diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, tidak bertentangan perbuatannya dengan perkataannya. Bahkan ia tidak menyuruh sesuatu sebelum dia sendiri menjadi orang pertama yang mengerjakannya. Berfirman Allah Ta'ala : "Adakah kamu menyuruh manusia dengan kebaikan dan kamu lupakan akan dirimu sendiri?
(S. Al-Baqarah, ayat 44).
Berfirman Allah Ta'ala:
(Kabura maqtan 'indallaahi an taquuluu maa laa tafaluun). Artinya:
"Amat besar kutuk dari Allah Ta'ala bahwa kamu katakan apa yang tidak kamu kerjakan
(S. Ash-Shaff, ayat 3).
Berfirman Allah Ta'ala mengenai kisah Nabi Syu'aib as. :
"Aku tidak kehendaki bertentangan dengan kamu kepada apa yang Aku larangkan kamu dan padanya ( s.Hud ayat88)
Berfirman Allah Ta'ala : "Berbaktilah kepada Allah dan Allah mengajarkan kamu"(sAl.Baqarah, ayat 282).
Berfirman Allah Ta'ala : "Berbaktilah kepada Allah dan tahulla! Dan berbaktilah kepada Allah dan dengarlah
Berfirman Allah Ta'ala kepada Isa as. : "Hai Putera Maryam! Ajarilah dirimu sendiri! Jika engkau telah memperoleh pelajaran, maka ajarilah orang lain. Kalau tidak, maka malulah kepada-Ku !

Bersabda Nabi saw. : "Aku lalui pada malam isra'ku pada beberapa kaum yang di sayat bibirya dengan gunting-gunting dari api neraka. Maka aku tanyakan : "Siapakah kamu ini?'.'
Mereka menjawab : "Kami adalah orang yang menyuruh dengan kebaikan dan tidak kami kerjakan. Kami melarang dari kejahatan dan kami kerjakan(1)(1) Dirawikan Ibnu Hibban dari Anas
Bersabda Nabi saw. :
(Halaaku ummatii 'aalimun faajirun wa 'aabidun jaahilun wa syar- rusy-syiraari syiraarul ulamaa-i wa khairul khiyaari khiyaarul *ula- maa').
Artinya :
"Yang binasa dari ummatku ialah orang berilmu yang dhalim dan orang yang beribadaf yang bodoh. Kejahatan yang paling jahat ialah kejahatan orang berilmu dan kebaikan yang paling baik ialah kebaikan orang yang berilmu)
Berkata Al-Auza'i ra. : Diduga oleh pembuat peti-peti mayat bah¬wa tak ada yang lebih busuk selain dari mayat orang-orang yang tak beriman. Maka diwahyukan Tuhan kepadanya bahwa perut ulama su' lebih busuk dari itu".

Berkata Al-Fudlail bin 'Iyadl ra. : "Sampai kepadaku bahwa orang berilmu yang fasiq didahulukan penyiksaannya pada hari qiamat, daripada penyembah-penyembah berhala ".

Berkata Abud-Darda' ra. : "Siksaan neraka bagi orang yang tidak berilmu, satu kali dan bagi orang yang berilmu yang tidak menga malkan tujuh kali".

Berkata Asy-Sya'bi : "Muncul pada hari qiamat suatu golongan dari penduduk sorga, berhadapan dengan suatu golongan dari penduduk neraka. Maka bertanya penduduk sorga : "Apakah sebabnya maka tuan-tuan dimasukkan ke dalam neraka? Adapun kami ini, maka dimasukkan Allah ke dalam sorga ialah karena kelebihan pengajaran dan pelajaran tuan-tuan ".

Maka menjawab penduduk. neraka : "Karena kami menyuruh de¬ngan kebajikan dan tidak kami kerjakan, melarang dari kejahatan dan kami kerjakan".

Berkata Hatim Al-Ashamm ra. : "Tidak adalah kerugian yang pa¬ling hebat pada hari qiamat, selain dari orang yang mengajari manusia ilmu pengetahuan lalu diamalkan mereka, sedang dia sen¬diri tidak mengamalkannya. Maka mereka memperoleh kemenangan dengan sebabnya dan dia sendiri binasa "
Berkata Malik bin Dinar: "Bahwa orang yang berilmu apabila tidak berbuat sepanjang ilmunya, maka lenyaplah pengajarannya dari hati manusia seperti lenyapnya embun pagi dari bukit Shofa".

Maka berpantunlah mereka :
Wahai pengajar manusia !
Engkau tertuduh !!!
Engkau larang mereka beberapa perkara!!!!!
Engkau sendiri mengerjakannya !!!!
Engkau rajin menasehati mereka !!!!
Tetapi, segala yang terlarang, !!!
Engkau yang mengerjakannya itu.!!!!
Engkau hinakan dunia dan orang yang suka kepadanya, !!!!
Sedang engkau sendiri paling suka kepada dunia itu "!!!!!

Berkata penyair lain :
Janganlah engkau melarang sesuatu tingkah laku dan engkau sendiri mengerjakannya,
Amatlah sangat memalukan kamu, apabila engkau sendiri memperbuatkannya".

Berkata Ibrahim bin Adham ra. : "Aku melewati batu besar di Makkah yang tertulis diatasnya : "Balikkanlah aku, engkau akan dapat mengambil ibarat (suatu pemandangan) Maka aku balikkan lalu aku lihat tertulis padanya : "Dengan yang engkau ketahui tidak engkau kerjakan, maka bagaimana engkau mencari ilmu ten¬tang sesuatu yang belum engkau ketahui!"

Berkata Ibnus-Sammak ra. : "Berapa banyak orang yang memperi- ngatkan orang lain kepada Allah, yang lupa kepada Allah! Berapa banyak orang yang memberi peringatan supaya takut kepada Allah, yang berani menentang Allah! Berapa banyak orang yang mengajak orang lain mendekatkan diri kepada Allah, yang jauh dari Allah! Berapa banyak orang yang menyerukan orang lain kepada Allah; yang lari dari Allah! Dan berapa banyak orang yang membaca Kitab Allah, terhapus hatinyq dan ayat-ayat Allah!".

Berkata Ibrahim bin Adham ra. : "Kami perbaiki bahasa perkataan kami, maka kami tidak salah. Dan kami telah salah pada perbuatan kami tetapi tidak kami perbaiki".

Berkata Al-Auza'i : "Apabila diperhatikan benar perbaikan bahasa, maka hilanglah khusu' ".
Diriwayatkan Makhul dari Abdur Rahman bin Ghanam bahwa Abdur Rahman mengatakan : "Berceritera kepadaku sepuluh orang shahabat Nabi saw. dengan katanya : "Kami sedang belajar ilmu di masjid Quba tiba-tiba masuk Rasulullah saw. lalu bersabda :
(Ta'aUamuu maa syi'tum an ta'allamuu falan ya'jarakumullaahu hattaa ta'maluu).
Artinya :"Pelajarilah apa yang engkau kehendaki mempelajarinya. Tetapi engkau tidak diberi pahala oleh Allah Ta'ala, sebelum engkau amalkari". (1)

Bersabda Nabi Isa as. : "Orang yang mempelajari ilmu dan tidak mengamalkannya adalah seumpama wanita yang berbuat serong dengan sembunyi, maka ia hamil. Setelah bersalin, maka, pecahlah kabar tentang perbuatan jahat wanita tersebut.
Maka begitu pulalah orang yang tidak berbuat menurut ilmunya, akan disiarkan Allah pada hari qiamat dihadapan orang banyak".

Berkata Mu'adz ra. ; "Jagalah tergelincimya orang berilmu, karena kedudukannya tinggi di mata orang banyak! Maka dia diikuti me¬reka, meskipun dia telah tergelincir".
Berkata Umar ra. : "Apabila tergelincir orang yang berilmu, maka tergelincirlah alam makhluk

Berkata Umar ra.: "Dengan tiga sebab hancurlah zaman. Salah satu dari padanya, tergelincirnya orang berilmu "
Berkata Ibnu Mas'ud : "Akan datang kepada manusia suatu masa, yang terbalik kemanisan hati menjadi asin. Sehingga pada hari itu, orang yang berilmu dan yang mempelajari ilmu tak dapat mengambil manfaat dari ilmunya. Maka hati orang-orang yang berilmu, dari mereka seumpama tanah kosong yang bergaram, yang turun kepa¬danya hujan dari langit, maka tidak juga diperoleh rasa tawar pada¬nya. Yaitu, apabila condong hati orang berilmu kepada mencintai dunia dan melebihkannya dari akhirat. Maka pada ketika itu, dicabutkan Allah sumber-sumber hikmah dan dipadamkanNya lampu petunjuk dari hati mereka. Maka akan diceriterakan kepadamu oleh orang yang berilmu dari mereka itu ketika engkau menjumpainya, bahwa dia takut akan Allah dengan lisannya. Dan kedzaliman jelas kelihatan pada amal-perbuatannya. Alangkah suburnya lidah mere* ka ketika itu dan tandusnya hati mereka! Demi Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia! Tidaklah terjadi yang demikian itu selain karena para guru mengajar bukan karena Allah dan para pelajar belajar bukan kerena Allah".
(1) Dirawtkan 'Alqamah bin Abdul-Sarr dari Mu'adz dengan sanad dla'lf.

Dalam Taurat dan Injil tertulis : "Janganlah engkau mencari ilmu yang belum engkau ketahui,
sebelum engkau amalkan apa yang telah engkau ketahui".
Berkata Hudzaifah ra. : "Sesungguhnya engkau sekarang berada pada zaman, di mana orang yang meninggalkan sepersepuluh dari yang diketahuinya, menjadi binasa. Dan akan datang suatu zaman, di mana orang yang mengerjakan padanya sepersepuluh dari apa yang diketahuinya, niscaya ia selamat. Sebabnya, adalah karena banyaknya orang yang berbuat batil".
Ketahuilah bahwa orang berilmu itu adalah serupa dengan kadli (hakim). Nabi saw. bersabda :

(Al-Qudlaatu tsalaatsatun qaadlin qadlaa bil haqqi wa huwa yalamu fadzaalika fil jannah, wa qaadlin qadlaa bil jauri wa huwa yalamu aulaa yalamu fahuwa finnaari wa qaadlin qadlaa bighairi maa amarallaahu bihii fahuwa finnaar).

Artinya :"Kadli itu tiga macam : semacam menghukum dengan yang benar dan dia itu tahu, maka dia itu dalam surga. Semacam menghukum dengan kedzaliman dan dia itu tahu atau tidak tahu yang demikian maka dia itu dalam neraka. Dan semacam lagi menghukum di luar daripada perintah Allah, maka dia itu dalam neraka" (1)

Berkata Ka'ab ra. : "Adalah pada akhir zaman, orang-orang yang berilmu, menyuruh manusia zuhud dari dunia dan mereka sendiri tidak zuhud. Menyuruh manusia takut kepada Tuhan dan mereka sendiri tidak takut Melarang manusia mendatangi wali-wali negeri dan mereka sendiri datang kepada wali-wali negeri itu. Mereka memilih dunia dari akhirat, mereka makan hasil usaha lidah mereka. Mereka mendekati orang-orang kaya, tidak orang-orang miskin. Mereka cemburu kepada ilmu pengetahuan seperti kaum wanita cemburu kepada kaum laki-laki. Ia marah kepada teman duduknya apabila ia duduk dengan orang lain.
(1) Dirawikan pengarang kitab "As-Sunan" dari Buraidah dan ini hadits shaih.


Orang-orang yang berilmu semacam itulah, orang-orang yang keras hati, musuh Tuhan Yang Maha Pengasih
Bersabda Nabi saw. : Kadang-kadang setan itu menangguhkan kamu dengan ilmu

Lalu bertanya yang hadlir : "Ya Rasulullahl Bagaimana yang demikian itu
Menjawab Nabi saw. : "Yaitu, setan itu mengatakan : "Tuntutlah ilmu dan jangan beramal dulu sebelum tahu benar. Maka senantiasalah setan itu berkata demikian bagi ilmu dan menangguhkan terhadap amal perbuatan, sehingga mati yang belajar itu dan tidak beramal".(1)

Berkata Sirri As-Suqthi : "Adalah seorang laki-laki mengasingkan diri pergi beribadah, di mana tadinya amat rajin mempelajari ilmu dhahir. Maka aku bertanya kepadanya, lalu ia menjawab : "Saya bermimpi berjumpa dengan orang yang mengatakan kepadaku : "Berapa banyak engkau menyianyiakan ilmu, maka sebanyak itu pulalah engkau disia-siakan Allah". Aku menjawab bahwa aku memelihara ilmu itu, maka berkata orang yang dalam mimpi tadi: "Memeliharakan ilmu ialah mengamalkan ilmu itu". Maka aku tinggalkan belajar dan pergi beramal".

Berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Tidaklah ilmu itu dengan banyak ceri¬tera, tetapi ilmu itu takut kepada Tuhan
Berkata Al-Hasan : "Pelajarilah apa yang kamu mau mempelajari- nya! Demi Allah! Kamu tidak akan diberi pahala oleh Allah sebelum beramal. Sebab orang-orang bodoh itu, cita-citanya meri¬wayatkan ilmu dan orang-orang yang berilmu itu cita-citanya me¬melihara ilmu itu dengan amal".

Berkata Malik ra. '"Menuntut ilmu itu baik dan mengembangkannya baik apabila niat itu betul. Tetapi perhatikanlah3 apa yang harus bagimu dari pagi sampai petang! Maka janganlah engkau lebihkan sesuatu itu dari ilmu".
Berkata Ibnu Ma'ud ra. : "Di turunkan Al-Qur-an untuk diamalkan- Maka ambillah mempelajarinya menjadi amalan. Dan akan datang suatu kaum yang membersihkan Al-Qur-an seperti membersihkan selokan. Mereka itu tidaklah termasuk orang baik. Orang berilmu yang tidak mengamalkan, adalah seumpama orang sakit yang menerangkan tentang obat dan seumpama orang lapar
(1) Dirawikan dari Anas, dengan sanad dla'lf.

yang menerangkan tentang kelezatan makanan dan makanan itu tidak diperolehnya".
Searah dengan yang diatas tadi, firman Allah Ta'ala :

(Wa lakumul wailu mimmaa tashifuun). Artinya :
"Bagi kamu neraka wailun dari apa yang kamu terangkan (S. Al-Anbia, ayat 18).
Dalam hadits tersebut:

(Mimmaa akhaafu 'alaa ummatii zillatu 'aalimin wa jidaalu munaa- fiqin fil Qur-an).
Artinya :"Diantara yang aku takuti atas ummatku ialah tergelincirnya orang berilmu dan pertengkaran orang munafiq tentang Al-Qur-an". (1)

salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Sun Oct 17, 2010 11:24 pm

Dan diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, ialah kesungguhannya mencari ilmu yang berguna tentang akhirat, yang menggembirakan pada ta'at, menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan yang sedikit manfa'atnya dan banyak padanya pertengkaran, kata ini dan kata itu (qil dan qal).

Orang yang mengenyampingkan pengetahuan untuk beramal dan sibuk dengan pertengkaran adalah seumpama orang sakit, yang pada tubuhnya bermacam-macam penyakit dan ia berjumpa dengan seorang dokter yang ahli, pada waktu yang sempit yang hampir habis. Maka si sakit tadi menggunakan waktu yang sedikit itu untuk menanyakan kegunaan resep, obat dan keganjilan-keganjilan dalam ilmu kedokteran dan meninggalkan kepentingannya yang mende- sak untuk memperoleh pengobatan.
Orang yang semacam itu adalah bodoh sekali.
(1) Dirawikan Ath-Thabrani dari Abid-Darda' dan Ibnu Hibban dari Imran binHushaln.
244
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata : "Ajarilah hamba ilmu yang ganjil-ganjil!".
Maka menjawab Nabi saw. : "Apakah yang engkau perbuat menge-nai pokok pengetahuan ?".
Bertanya orang itu : "Yang manakah pokok pengetahuan itu?".
Menjawab Nabi saw. : "Kenalkah engkau akan Tuhan?". "Kenal!", menjawab orang itu.
"Apakah yang engkau perbuat tentang hak Allah Ta'ala?". "Masya Allah banyak!',' jawab orang itu. "Kenalkah engkau akan mati? tanya Nabi saw. "Kenal, ya Rasulullah!' jawabnya.
"Apakah yang engkau sediakan untuk mati?' tanya Nabi saw, lagi. "Masya Allah banyak! jawabnya.
Kemudian, maka bersabda Nabi saw. : "Pergilah, kemudian kuat- kanlah apa yang ada di Sana Sudah itu datanglah ke mari, akan kami ajarkan engkau ilmu yang ganjil-ganjil!". (1)
Tetapi sewajarnyalah hendaknya, pelajar itu sejenis dengan apa yang diriwayatkan dari Hatim Al-Ashamm - murid dari Syaqiq AI- Balakhi ra. Bahwa Syaqiq bertanya kepada Hatim : "Sejak kapan engkau bersama aku?".
Menjawab Hatim : "Sejak tiga puluh tiga tahun!".
Bertanya lagi Syaqiq : "Apakah yang engkau pelajari padaku sela- maitu?"
Menjawab Hatim : "Delapan masalah!".
Berkata Syaqiq dengan terperanjat : "Innalillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun! Terbuanglah saja umurku bersamamu. Dan engkau tidak pelajari kecuali delapan masalah saja".
Menyela Hatim : "Wahai guruku! Aku tidak pelajari yang lain dan aku tidak ingin berdusta".
Maka menyambung Syaqiq : "Terangkanlah masalah yang delapan itu supaya aku dengar!".
Berkata Hatim : "Aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing-masing mempunyai kekasih dan ingin bersama de-ngan kekasihnya sampai ke kubur. Maka apabila telah sampai ke kubur, niscaya ia berpisah dengan kekasih itu.
(1) Diriwayatkan Ibus-Slnni dan Abu Na'im dan Ibnu Abdil Barrdari Abdullah bin AI-Mu saw war dan hadits ini dla'if sekali.
245
Maka aku mengambil perbuatan baik menjadi kekasihku. Maka apabila aku masuk kubur, masuk pulalah kekasihku bersama aku".
Maka berkata Syaqiq : "Benar sekali, ya Hatim! Dan yang kedua'. Menyambung Hatim : "Aku perhatikan firman Allah Ta'ala :

(Wa ammaa man khaafa maqaama rabbihii wa nahannafsa 'anil hawaa fainnal jannata hiyal ma'waa)
Artinya :"Dan adapun orang yang takut dihadapan kebesaran Tuhannya dan menahan jiwanya dari keinginan yang rendah (hawa nafsu), maka sesungguhnya taman (sorga) tempat kediamannya".
(S.An-Nazi' at, ayat 40 - 41).
Maka yakinlah aku bahwa firman Allah Ta'ala itu benar. Lalu aku
perjuangkan diriku menolak hawa nafsu itu, sehingga tetaplah aku ta'at kepada Allah Ta'ala.
Yang ketiga, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku meli¬hat, bahwa tiap-tiap orang yang ada padanya sesuatu benda, menghargai, menilai dan memeliharai benda itu. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta'ala :

(Maa 'indakum yanfadu wa maa'indallaahi baaq).
Artinya :"Apa yang di sisi kamu itu akan hilang tetapi apa yang disisi Allah itulah yang kekal (S. An-Nahl, ayat 96).

Maka tiap kali jatuh ke dalam tanganku sesuatu yang berharga dan bernilai, lalu kuhadapkan dia kepada Allah, semoga kekal dia ter- pelihara pada sisiNya.

Yang ke empat, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing-masing mereka kembali kepada harta, kebangsawan- an, kemuliaan dan keturunan. Lalu aku memandang pada semuanya itu, tiba-tiba tampaknya tak ada apa-apa. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta'ala :
246

(Inna akramakum 'indallaahi atqaakum).
Artinya :"Yang termulia dari kamu pada sisi Allah ialah yang kuat taqwanya (baktinya)".
(S. Al-Hujurat, ayat 13).
Maka berbuat taqwalah aku, sehingga adalah aku menjadi orang mulia di sisi Allah.
Yang kelima, aku memandang kepada makhluk ini, di mana mereka itu tusuk-menusuk satu sama Iain, kutuk-mengutuk satu sama lain. Dan asal ini semuanya, ialah dengki. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta'ala :

(Nahnu qasamnaa bainahum ma'iisyatahum fil hayaatid-dunya). Artinya: f
"Kamilah yang membagi-bagikan penghidupan diantara mereka dalam kehidupan di dunia ini".
(S. Az-Zukhruf, ayat 32).
Maka aku tinggalkan dengki itu. Dan aku jauhkan diri dari orang banyak. Dan aku tahu bahwa pembahagian rezeki itu, adalah dari sisi Allah Ta'ala. Maka aku tinggalkan permusuhan orang banyak kepadaku.
Yang keenam, aku memandang kepada makhluk ini, berbuat kedurhakaan satu sama lain dan berperang satu sama lain.
Maka kembalilah aku kepada firman Allah Ta'ala :

(Innasy-syaithaana lakum 'aduwwun fattakhidzuuhuSduwwaa). Artinya :
"Sesungguhnya setan itu musuh kamu. Sebab itu perlakukanlyh dia sebagai musuh!(S. Al-Fathir, ayat 6).
Maka aku pandang setan itu musuhku satu-satunya dan dengan sungguh-sungguh aku berhati-hati dari padanya, karena Allah Ta'ala
247
mengaku bahwa setan itu musuhku. Dan aku tinggalkan permu- suhan makhluk dengan lainnya.
Yang ketujuh, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing-masing mereka mencari sepotong dari dunia ini. Lalu ia menghinakan diri padanya dan ia masuk pada yang tidak halal dari padanya. Kemudian aku perhatikan firman Allah Ta'ala :

(Wa maa min daabbatin fil-ardli illaa 'alallaahi rizquhaa).
Artinya :"Dan tidak adalah dari yang merangkak di bumi ini melainkan rezekinya pada Allah " (S- Hud, ayat 6).
Maka tahulah aku bahwa aku ini salah sah< dari yang merangkak- rangkak, yang rezekinya pada Allah Ta'ala. Dari itu aku kerjakan apa yang menjadi hak Allah atasku dan aku tinggalkan yang menja- di hakku pada sisi-Nya."
Yang kedelapan, aku memandang kepada makhluk ini, maka aku melihat masing-masing mereka bersandar kepada makhluk. Yang ini kepada bendanya, yang itu kepada perniagaannya, yang itu ke-pada perusahaannya dan yang itu lagi kepada kesehatan badannya. Dan masing-masing makhluk itu bersandar kepada makhluk, yang seperti dia.
Lalu aku kembali kepada firman Allah Ta'ala :

(Wa man yatawak-kal 'alallaahi fahuwa hasbuh). Artinya :
"Dan barangsiapa menyandarkan dirinya kepada Allah, maka Allah mencukupkan keperluannya'
(S. Ath-Thalaq, ayat 3).
Maka akupun menyandarkan diriku (bertawakkal) kepada Allah Ta 'ala. Dan Allah Ta'ala rnencukupkan keperluanku".
Berkata Syaqiq : "Ya Hatim! Kiranya Allah Ta'ala memberikan taufiq kepadamu! Aku telah memperhatikan segala ilmu pengetahuan Taurat, Injil, Zabur dan Al-Quran yang mulia, maka aku peroleh, bahwa segala macam kebajikan dan keagamaan, berkisar diatas delapan masalah tersebut. Barang siapa memakainya, maka berarti dia telah memakai kitab empat itu".

Maka bahagian ini dari ilmu pengetahuan, tidaklah dipentingkan memperolehnya dan memperhatikannya selain oleh ulama akhirat, Adapun ulama dunia, maka dikerjakannya yang memudahkan mencari harta dan kemegahan. Dan disia-siakannya ilmu yang seperti ini, yang diutuskan oleh Allah para Nabi as. membawanya.
Berkata Adl-Dlahhakbin Muzahim "Aku dapati para ulama dan tidak dipelajari oleh sebahagian mereka dari yang lain, melainkan tentang wara' (memelihara diri dari dosa dan harta syubhat). Tetapi ulama sekarang tidak dipelajarinya selain dari ilmu kalam".

Dan diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, tidak ingin kepada kemewahan, pada makanan, min urn an dan pakaian. Tidak ingin kepada kecantikan, pada perabot rumah tangga dan tempat tinggal. Tetapi memilih kesederhanaan pada semuanya itu. Serupa keadaan- nya dengan ulama salaf, diberi f Allah kiranya rakhmat kepada me¬reka sekalian. Dan ingin mencukupkan dengan sedikit-dikitnya dalam segala hal.
Semakin bertambah keinginannya ke arah sedikit, semakin bertam-bah dekatnya dengan Allah Ta'ala dan tinggi kedudukannya dalam barisan ulama akhirat.

Dibuktikan kepada yang demikian oleh suatu ceritera dari Abu Abdillah Al-Khawwash. Dia termasuk diantara teman sejawat Hatim Al-Ashamm. Berceritera Abu Abdillah : "Aku pergi bersama Hatim ke Arrai dan bersama kami tiga ratus dua puluh orang laki-laki. Kami bermaksud mengerjakan ibadah hajji. Pada mereka itu kan- tong bulu. Tidak ada bersama mereka kopor pakaian dan makanan. Maka kami masuk ke tempat seorang saudagar yang sederhana, yang mempunyai belas kasihan kepada fakir miskin. Pada malam itu kami menjadi tamunya.

Pada keesokan harinya, bertanya tuan rumah kepada Hatim : "Apakah saudara ada mempunyai keperluan apa-apa? Sebab saya bermaksud hendak mengunjungi seorang ahli fiqih kami, yang se-dang sakit sekarang".
Menjawab Hatim : "Mengunjungi orang sakit ada kelebihannya dan memandang wajah ahli fiqih itu suatu ibadah. Saya pun pergi ber¬sama tuan!".

Adalah yang sakit itu Muhammad bin Muqatil kadli negeri Altai.* Ketika sampai kami di pintu, rupanya suatu istana yang mulia dan cantik. Hatim termenung, seraya berkata : "Beginikah pintu rumah seorang yang berilmu (seorang alim)?".
Kemudian diizinkan, lalu mereka masuk. Rupanya sebuah rumah yang sangat cantik, cukup luas, bersih, berpemandangan indah dan bertirai. Maka Hatim termenung.

Kemudian mereka masuk ke tempat di mana orang Sakit itu berada. Disitu orang sakit berbaring diatas kasur yang empuk. Dikepalanya seorang bujang dengan memegang alat pemukul lalat.
Maka duduklah yang berkunjung tadi (saudagaritu) di samping ke¬pala si sakit, menanyakan keadaan sakitnya, sedang Hatim berdiri saja. Lalu Ibnu Muqatil (orang sakit itu) mempersilakan Hatim duduk. Hatim menjawab : "Tak usah, tuan!".
Ibnu Muqatil bertanya : "Barangkali ada perlu?".
"Ada jawab Hatim.
"Apa?' tanya Ibnu Muqatil.
"Ada suatu masalah yang ingin saya tanyakan kepada tuan!',' sam- bung Hatim.
"Tanyalah!".
"Bangunlah tuan!'; kata Hatim. "Duduklah, supaya aku tanyakan!".
Maka bangunlah Ibnu Muqatil dan duduk. Lalu Hatim bertanya : "Ilmu tuan ini, dari mana tuan ambil?".
"Dari orang-orang yang dapat dipercayai, yang menerangkan ilmu itu kepada saya".
"Orang-orang itu, dari siapa?".
"Dari para shahabat Rasulullah saw. ".
"Para shahabat itu, mengambil dari siapa?".
"Dari Rasulullah saw.".
"Rasulullah saw. mengambil dari siapa?".
"Dari Jibril as. dan Jibril mengambil dari pada Allah Ta'ala".
Maka berkata Hatim : "Menurut apa yang dibawa Jibril as. daripada Allah Ta'ala kepada Rasulullah saw. dan Rasulullah saw. meraba- wanya kepada para shahabatnya dan para shahabat kepada orang- orang yang dipercayai dan Orang-orang yang dipercayai membawa- nya kepada tuan, maka adakah tuan mendengar dalam pelajaran
itu bahwa orang yang terdapat dalam rumahnya kemewahan dan luas rumahnya cukup lebar, akan memperoleh derajat tinggi pada sisi Allah 'Azza wa Jalla?".
Menjawab Ibnu Muqatil: "Tidak!".
Berkata Hatim : "Bagaimana yang tuan dengar?".
Menjawab Ibnu Muqatil : "Yang saya dengar bahwa orang yang zuhud di dunia, gemar ke akhirat, mencintai orang miskin dan mendahulukan untuk akhiratnya, maka memperoleh kedudukan yang tinggi pada sisi Allah Ta'ala".
Berkata Hatim : "Tuan sekarang, siapa yang tuan ikut,Nabikah serta para shahabat ra. dan orang-orang shalih ra. Fir'aun dan Namruz, orang pertama yang mendirikan gedung dengan batu mar¬iner dan batu merah?.
Wahai ulama su' (ulama jahat)! Orang yang seperti tuan, bila dilihat oleh orang bodoh, yang memburu dan gemar kepada dunia, akan berkata : "Orang yang berilmu sudah begitu, apakah tidak ««tut aku lebih jahat lagi dari padanya?".

Maka keluarlah Hatim dari sitti dan bertambahlah penyakit Ibnu Muqatil.
Peristiwa yang terjadi antara Hatim dan Ibnu Muqatil, sampai kepada penduduk Arrai, lalu berkatalah mereka kepada Hatim : "Bahwa Ath-Thanafisi di Qazwin lebih mewah lagi dari Ibnu Muqatil".

Maka sengajalah Hatim pergi ke sana, lalu masuk ke rumah Ath- Thanafisi seraya berkata: "Kiranya tuan diberi rakhmat oleh Allah. Saya ini orang bodoh, ingin benar tuan ajar kan saya permulaan pelajaran agama dan anak kunci shalat, bagaimana saya berwudlu untuk shalat!".

Menjawab Ath-Thanafisi : "Boleh, dengan segala senang hati ! Hai! Ambillah kendi yang berair".
Lalu dibawakan kepadanya. Maka duduklah Ath-Thanafisi meng- ambil wudlu tiga-tiga kali, kemudian berkata : "Beginilah cara ber-wudlu ! Cobalah berwudlu!".
Maka berkata Hatim : "Biarlah di tempat tuan, supaya saya berwu-dlu dihadapan tuan! Sehingga benar-benar tercapai apa yang saya maksudkan".
Maka bangunlah Ath-Thanafisi, dan duduklah Hatim berwudlu.
251
Dibasuhnya ke dua lengannya empat-erapat kali. Lalu menegur Ath-Thanafisi: "Hai, mengapa engkau memboros ?".
Menjawab Hatim : "Apa yang saya boroskan?"
"Kau basuhkan lenganmu empat kali".
Subhanallah! Maha Suci Tuhan Yang Maha Besar!". Menjawab Hatim. "Hanya setapak tangan air, sudah memboros. Tuan dengan ini seluruhnya, apakah tidak memboros?".
Maka tahulah Ath-Thanafisi, bahwa maksud Hatim bukanlah bela jar. Lalu masuklah ia ke dalam rumahnya dan tidak muncul-muncul di muka umum selama empat puluh hari.
Ketika Hatim datang di Bagdad, maka berkerumunlah penduduk mengelilinginya seraya berkata : "Hai Bapak Abdurrahman! Tuan seorang yang sukar mengeluarkan kata-kata, lagi bodoh. Siapa saja yang berbicara dengan tuan, tuan potong".
Menjawab Hatim : "Padaku ada tiga perkara, yang ingin aku lahir kan kepada lawan ku :
Aku gembira apabila lawanku betul,
aku bersedih hati apabila lawanku salah
dan aku jaga diriku jangan sampai tidak mengetahui tentang lawan itu".

Berita ini sampai kepada Imam Ahmad bin Hanbal, maka berkata¬lah Imam Ahmad : "Subhanallah! Maha Suci Allah! Alangkah cerdasnya Hatim! Nah, mari kita pergi menjumpai Hatim! Sewaktu telah sampai ke tempat Hatim, maka bertanya Imam Ahmad : "Hai Bapak Abdurrahman! Manakah keselamatan itu di dunia?".

Menjawab Hatim :
"Hai Bapak Abdullah! Tak ada keselamatan di dunia sebelum ada padamu empat perkara :
Engkau ma'afkan orang kerena kebodohannya,
Engkau cegah kebodohan engkau terhadap orang lain,
Engkau berikan sesuatu kepada orang dan
Eng¬kau tidak mengharup sesuatu dari orang. Apabila ada demikian, maka selamatlah engkau "

Kemudian Hatim berangkat ke Madinah.
Tiba di situ dia dikerumuni penduduk Madinah. Maka Hatim bertanya : "Kota manakah ini?".
Menjawab orang banyak : "Kota Rasulullah saw.".(Madinah)
"Dimanakah istana Rasulullah saw.? Saya hendak mengerjakan shalat di dalamnya !".
Rasulullah saw. tak mempunyai istana!", menjawab orang banyak. "Hanya mempunyai sebuah rumah yang rendah diatas tanah".
"Mana istana shahabat-shahabatnya?".Tanya Hatim pula.
"Tak ada juga! Mereka hanya mempunyai rumah-rumah yang rendah di atas tanah".
"Kalau begitu" - kata Hatim. "Hai kaumku! Ini adalah kota Fir 'aun!".
Lalu Hatim diambil penduduk dan dibawanya ke tempat Sultan (penguasa), seraya mengatakan : "Orang 'Ajam (bukan Arab) ini mengatakan : "Ini kota Fir'aun!".
Bertanya Sultan : "Mengapa begitu?".
Menjawab Hatim : "Janganlah lekas marah kepadaku! Aku ini orang bodoh yang asing di sini.
Saya masuk negeri ini seraya berta¬nya : "Kota siapakah ini?'.'
Mereka menjawab : kota (Madinah) Rasulullah saw. Lalu saya bertanya : "Manakah istananya?',' dan Hatim meneruskan ceriteranya.
Kemudian berkata Hatim : "Telah berfirman Allah Ta'ala :

(Laqad kaana lakum fii rasuulillaahi uswatun hasanah). Artinya :
"Sesungguhnya Rasul Allah itu menjadi ikutan (teladan) yang baik untuk kamu".
(S. Al-Ahzab, ayat 21).
Maka tuan-tuan, siapakah yang tuan-tuan ikut, Rasulullah saw. atau Fir'aun orang yang pertama-tama membangun dengan batu marmer dan batu merah?".
Lalu mereka biarkan dan tinggalkan Hatim.
Inilah ceritera Hatim Al-Ashamm - kiranya Allah memberikan rakhmat kepadanya. Dan akan diterangkan tentang kesederhanaan perjalanan hidup ulama salaf dan ketidak-sukaan mereka kepada kecantikan dengan bukti-bukti yang menunjukkan kepada yang demikian, pada tempat-tempatnya nanti.
Sebenarnya, menghiasi diri dengan yang mubah (yang dibolehkan) tidak haram. Tetapi berkecimpung dengan yang mubah itu, meng- haruskan suka kepadanya, sehingga sukar meninggalkannya.

Terus-terusan menghiasi diri itu, menurut biasanya tidak mungkin bila tidak secara langsung memperoleh sebab-sebabnya. Untuk menjaga keutuhan sebab-sebabnya itu, terpaksa berbuat perbuatan ma'siat, seumpama bermanis muka, menjaga hati orang banyak dan kehormatan mereka serta hal-hal lain yang terlarang. Untuk penjagaan diri hendaklah menjauhkan yang demikian. Karena orang yang berkecimpung dalam dunia, tidaklah sekali-kali selamat terpelihara dari padanya.
Jikalau keselamatan diri itu dapat diperoleh serta berkecimpung didunia,maka tidaklah Rasulullah saw. dengan tegas membelakangi dunia dengan membuka baju kemejanya yang bersulam kan bendera. (1)
Dan menanggalkan cincin emas ketika sedang pidato. m. Dan lain-lain contoh lagi yang akan di terangkan.
Menurut ceritera, Yahya bin Yazid An-Naufali menulis surat kepada Malik bin Anas ra. seperti berikut:
    
1. Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, lagi Maha Mengasihani.
Wa shallallaahu 'alaa Rasuulihi Muhammadin fil azvwaalin wal aahiriin.
Dari Yahya bin Yazid bin Abdil Malik kepada Malik bin Anas.
Ammaaba'du, kemudian dari itu, sesungguhnya telah sampai kepa¬daku, bahwa tuan memakai pakaian halus, memakan roti tipis, duduk atas tempat yang empuk dan meletakkan pada pintu seorang penjaga.
Sesungguhnya tuan duduk dalam majelis ilmu pengetahuan, kenda¬raan berkerumun ke mmah tuan, manusia datang kepada tuan. Diambilnya tuan menjadi imam dan disukai mereka perkataan tuan.
Maka bertaqwalah kepada Allah Ta'ala wahai Malik! Hendaklah tuan merendahkan diri .
Aku tuliskan kepada tuan nasehatku ini, dalam suatu surat yang tidak dilihat, selain Allah Subkhanahu wa Ta'ala".
W a s s a I a m,
(1) Ddirawikan AMakhail dan Muslim dari Aishah
(2) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar.
254
Lalu Malik ra. membalas surat Yahya sebagai berikut: "Bismillaahir rahmaanir rahiim.
Wa shallallaaku 'alaa sayyidinaa Muhammadin wa aalihii wa shah- bihii wa sallam.
Dari Malik bin Anas kepada Yahya bin Yazid. Kesejahteraan dari Allah kiranya kepada tuan!.
Ammaaba'du, kemudian dari itu, telah sampai surat tuan kepadaku, maka aku pandang surat itu menjadi nasehat, tanda kasih mesra dan ketinggian budi. Kiranya Allah mengumiai tuan dengan ke taq- waan dan memberi balasan kepada tuan dengan kebajikan, disebab¬kan nasehat itu.
Aku bermohon, kiranya Allah menganugerahkan taufiq wa laahau- la wa laa quwwata illaa billaahil 'aliyyil adhiim.
Apa yang tuan sebutkan mengenai saya, bahwa saya memakan roti tipis, memakai pakaian halus, memakai penjaga pintu dan duduk di atas tempat yang empuk, maka benarlah kami berbuat dimikian. Dan bermohonlah kami akan keampunan dari pada Allah Ta'ala. Berfirman Allah Ta'ala :

(Qui man harrama ziinatallaahil-latii akhraja li'ibaadihii wath-thay- yibaati minar rizqi).
Artinya :"Katakanlah! Siapakah yang melarang (memakai) perhiasan Allah dan (memakan)rezeki yang baik yang diadakanNya untuk hambaNya (S.Al-A'raf, ayat 32).

Sesungguhnya saya mengetahui, bahwa meninggalkan yang demiki¬an itu adalah lebih baik dari pada masuk ke dalamnya. Janganlah tuan meninggalkan kami dengan tidak mengirim-ngirimkan surat, sebagaimana kamipun tidak akan meninggalkan tuan dengan tidak mengirim-ngirimkan surat".
W a s s a I a m,
255
Lihatlah kepada keinsyafan Malik, karena ia mengakui bahwa me-ninggalkan yang demikian itu adalah lebih baik dari pada masuk ke dalamnya. Dan ia berfatwa bahwa perbuatan tersebut itu diperbolehkan.
Sesungguhnya benarlah Imam Malik pada keduanya itu!

Dan seumpama Imam Malik dalam kedudukannya, apabila dirinya telah membolehkan dengan keinsyafan dan pengakuan mengenai nasehat yang seperti itu, maka kuat puialah dirinya untuk berdiri di atas batas-batas yang diperbolehkan. Sehingga keadaan yang demikian tidaklah membawa dia kepada ria, berminyak-minyak air dan melampaui kepada perbuatan yang makruh.

Adapun orang lain, maka tidaklah menyanggupi yang demikian. Meningkatkan diri kepada bersenang-senang dengan yang diperbo¬lehkan adalah besar bahayanya. Dan itu adalah jauh dari takut dan kuatir. Dan kekhususan ulama Allah itu, ialah takut. Dan kekhususan dari takut itu, ialah menjauhkan diri dari tempat-tempat yang disangka berbahaya.

Dan diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, ialah menjauhkan diri dari sultan-sultan (penguasa-penguasa). Maka tidaklah dia sekali- kali masuk kepada sultan-sultan itu, selama masih ia memperoleh jalan untuk lari dari pada mereka. Tetapi seyogialah ia menjaga diri dari pada bercampur-baur dengan sUltan-sultan itu, meskipun mere¬ka itu datang kepadanya.

Sesungguhnya dunia itu manis menghijau, tali-temalinya di tangan sultan-sultan. Orang yang bercampur-baur dengan mereka, tidaklah terlepas dari bersusah-payah mencari kerelaan dan menarik hati mereka, sedang mereka itu adalah orang dzalim.

Maka haruslah di atas tiap-tiap orang yang beragama, menantang mereka dan menyempitkan dada mereka, dengan melahirkan kedzaliman dan menjelekkan perbuatan mereka.
Orang yang masuk ke dalam kalangan sultan-sultan itu, adakalanya menolehkan kepada berbaik-baik dengan mereka, lalu ia meno- dai nikmat Allah kepadanya. Atau berdiam diri dari menantang sultan-sultan itu, lalu ia berminyak-minyak air dengan mereka. Atau bersusah-payah dalam perkataannya mencari kata-kata untuk kesenangan dan membaguskan hal ikhwal sultan-sultan itu.
Yang demikian itu adalah kebohongan yang nyata. Atau mengharap akan memperoleh apa-apa dari dunia mereka. Dan itu adalah palsu.
256
salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Sun Oct 17, 2010 11:34 pm

Dan akan datang nanti pada "Kitab Halal dan Haram", apa yang boleh diambil dari pada harta sultan-sultan dan apa yang tidak boleh dari barang-barang yang berharga, hadiah dan lainnya.
Kesimpulannya, bercampur-baur dengan sultan-sultan itu adalah kunci kejahatan. Dan ulama akhirat, jalan yang ditempuh mereka, ialah menjaga diri.

Artinya :"Barang siapa berdiam di kampung, niscaya kosonglah dia ".

(Wa manit taba'ash shaida ghafala wa man atas sulthaanaftatana).
Artinya :"Dan barang siapa mengikuti binatang human, niscaya lalailah dia. Dan barang siapa mendatangi siiltan niscaya terpesonalah dia ". (1)

Nabi saw. bersabda :"Akan ada padamu amir-amir yang kamu kenal dan kamu tantang. Maka barang siapa menantangnya, sesungguhnya terlepaslah dia. Dan barang siapa benci kepadanya, maka sesungguhnya selamatlah dia. Tetapi barang siapa menyetujui dan mengikutinya, niscaya ia dijauhkan Allah Ta'ala".
Lalu ada yang bertanya : "Apakah kami perangi mereka?".
Nabi saw. menjawab : "Jangan, selama mereka itu mengerjakan shalat !". (2)
Sufyan berkata : "Dalam neraka jahannam, ada sebuah lembah, yang tidak ditempati selain oleh qurra1 (ahli pembaca Al-Qur-an), yang mengunjungi raja-raja".
Berkata Hudzaifah : "Berhati-hatilah kamu dari tempat fitnah!".
Lalu ada yang bertanya: "Manakah tempat fitnah itu?".
Hudzaifah menjawab : "Pintu rumah amir-amir, di mana seseorang dari kamu masuk ke tempat amir itu, lalu membenarkannya dalam
(1) Dirawikan Abu Dawud dan At-Tlrmidzi dan dipandangnya baik dan An-Nasa-i dari Ibnu Abbit.
(2) Dirawikan Muslim dari Ummu Salman.
257
perkara bohong dan mengatakan tentang sesuatu tidak menurut sebenarnya".
Rasulullah saw. berkata : "Ulama itu adalah pemegang amanah Rasul di atas hamba Allah Ta'ala, selama mereka tidak bercampur- baur dengan sultan-sultan. Apabila mereka berbuat yang demikian, maka sesungguhnya mereka telah mengkhianati rasul-rasul. Maka awaslah kamu dan menjauhkan dirilah kamu dari pada mereka!". Hadits ini dirawikan Anas, (1)

Orang menanyakan A'masy : "Tuan telah menghidupkan ilmu pengetahuan, karena banyaklah orang yang mengambil ilmu penge- tahuan itu dari pada tuan".
Maka A'masy menjawab : "Janganlah lekas benar mengatakan yang demikian! Sepertiga dari mereka yang mengambil ilmu padaku itu, meninggal sebelum mengerti, sepertiga selalu ke rumah sultan- sultan, maka mereka ini adalah orang jahat dan yang sepertiga sisanya, tiada memperoleh kemenangan, kecuali sedikit saja". Dan karena itulah berkata Sa'id bin Al-Musayyab ra. : "Apabila kamu melihat orang alim, datang menipu amir-amir, maka waspadalah dari padanya, karena dia itu pencuri!".
Al-Auza'i berkata : "Tak adalah sesuatu yang lebih dimarahi Allah Ta'ala, dari orang alim yang mengunjungi pekerja (yang bekerja pada amir)".
Rasulullah saw. bersabda :

(Syiraarul 'ulamaa-i lladziina ya'tuunal umaraa-a wa khiyaarul umaraa-il ladziina ya'tuunal *ulamaa').
Artinya :"Ulama yang jahat, ialah yang datang kepada amir-amir.
Amir yang baik, ialah yang datang kepada ulama-ulama". (2)
Berkata Makhul Ad-Dimasyqi ra. : "Barang siapa mempelajari Al-Qur-an dan memahami Agama, kemudian menyertai sultan, karena bermanis muka kepadanya dan mengharap sesuatu padanya,258niscaya masuklah ia ke dalam laut dari neraka jahannam menurut bilangan langkahnya".

Samnun berkata : "Alangkah kejinya orang alim, yang didatangi ke tempatnya, lalu tidak dijumpai. Maka ditanyakan tentang orang alim tadi, lalu mendapat penjawaban : "Dia itu pada amir".
Menyambung Samnun : "Aku pernah mendengar orang mengata¬kan : "Apabila kamu melihat orang alim mencintai dunia, maka curigailah dia terhadap Agamamu! Sehingga aku sendiri mencoba yang demikian. Karena tidaklah sekali-kali aku masuk ke tempat sultan itu, melainkan aku mengoreksi diriku sesudah keluar dari padanya. Maka aku dapati di atas diriku bekas dan kamu dapat melihat apa yang aku peroleh itu. Yaitu : kekerasan, kekasaran dan banyaknya pertentangan untuk hawa nafsu. Sesungguhnya aku ingin dapat melepaskan diri dari pada masuk ke tempat sultan itu untuk penjagaan diri. Sedang aku tidak pernah mengambil sesuatu dari padanya atau meminum seteguk air kepunyaannya".

Kemudian Samnun menyambung : "Ulama zaman kita ini, adalah lebih jahat dari ulama Bani Israil, yang berbicara dengan sultan dengan murah saja dan dengan yang bersesuaian dengan hawa nafsu sultan. Dan kalau mereka berbicara dengan sultan dalam hal yang menjadi tanggungan sultan dan dalam hal itu dapat melepaskan sultan, niscaya sultan itu merasa berkeberatan. Dan tidak suka lagi ulama itu masuk ke tempatnya. Dan adalah yang demikian itu melepaskan bagi ulama pada sisi Tuhannya".

Al-Hasan berkata : "Adalah diantara orang yang sebelum kamu, seorang laki-laki yang terdahulu dalam Islam dan menjadi shahabat bagi Rasulullah saw. Berkata Abdullah bin Al-Mubaxak : yang dimaksudkan dengan orang tadi, ialah Sa'ad bin Abi Waqqash ra, Al-Hasan berkata sfeterusnya : "Orang itu tak pernah mendatangi sultan-sultan dan melarikan diri dari mereka".
Lalu anak-anaknya berkata kepadanya :"Datangnya kepada sultan- sultan itu, orang yang tidak seperti ayah tentang pershahabatan dengan Nabi saw. dan lamanya dalam Islam. Kalau ayah datang kepada sultan-sultan itu, bagaimana?".
Orang itu menjawab : "Hai anakkuf Apakah aku datang kepada bangkai yang telah dilingkungi orang banyak? Demi Allah, sesung¬guhnya, jikalau aku sanggup, .niscaya tidaklah aku bersekutu dengan mereka pada bangkai itu".
259
Menjawab anak-anaknya : "Wahai ayah kami! Jadi binasalah kami ini kekurusan!".
Menjawab orang itu : "Hai anak-anakku! Aku lebih suka mati sebagai mu'min yang kurus, dari pada aku mati sebagai munafiq yang gemuk".

Berkata Al-Hasan : "Orang itu memusuhi sultan-sultan itu, karena demi Allah ia mengetahui, bahwa tanah memakan daging dan minyak, tidak memakan iman".
Dan ini suatu petunjuk, bahwa orang yang memasuki tempat sultan tidak akan selamat sekali-kali dari nifaq (bermuka dua). Dan nifaq itu adalah berlawanan dengan iman.
Abu Dzar berkata kepada Salmah : "Wahai Salmah, janganlah eng¬kau mendatangi pintu sultan-sultan! Sesungguhnya engkau tidak akan memperoleh sesuatu dari pada dunia mereka, melainkan mereka memperoleh dari agama engkau yang lebih utama dari padanya".

Inilah suatu fitnah besar bagi ulama dan jalan yang sulit bagi setan untuk mem perdayakan ulama. Lebih-lebih bagi ulama yang mem¬punyai cara berbicara yang mudah diterima orang dan mempunyai perkataan yang manis. Karena senantiasalah setan membisikkan kepada ulama itu bahwa : "Nasehatmu kepada sultan-sultan dan kedatanganmu kepadanya, adalah hal yang menakutkan mereka dari berbuat dhalim dan menegakkan syiar-syiar Agama". Sampai menjadi khayalan kepada ulama itu, bahwa masuknya ke rumah sultan-sultan itu adalah setengah dari agama.
Kemudian, apabila telah masuk, lalu senantiasalah ia bersikap lemah-lembut dalam pembicaraan, berminyak-minyak air dan berkecimpung dengan memuji dan menyanjung. Dan pada inilah terletaknya kebinasaan Agama. Dan ada dikatakan : "Ulama itu apabila telah berilmu, niscaya berbuat (beramal). Apabila berbuat, niscaya sibuk. Apabila telah sibuk, lalu hilang. Apabila telah hilang, lalu dicari. Dan apabila dicari lalu lari".

Umar bin Abdul 'aziz ra. menulis surat kepada Al-Hasan : "Am- maaba'du, kemudian dari itu, maka tunjukkanlah kepadaku golong- an-golongan yang dapat aku meminta tolong padanya, untuk menegakkan perintah Allah Ta'ala!".
Maka Al-Hasan membalas surat Khalifah Umar bin Abdul 'aziz tadi : "Adapun kaum agama, maka mereka tidak berkehendak260kepadamu. Dan adapun kaum dunia, maka engkau tidak berkehen- dak kepada mereka. Akan tetapi, haruslah engkau dengan orang- orang mulia, karena mereka menjaga kehormatan dirinya dari pada menodainya dengan pengkhianatan".

Ini adalah mengenai Umar bin Abdul 'aziz ra. dan adalah ia yang paling zuhud pada zamannya.
Maka apabila adalah syarat bagi kaum Agama lari dari Umar, maka bagaimanakah memperoleh per band ingan untuk mencari orang lain dan bercampur-baur dengan dia? Dan selalu ulama-ulama terdahulu, seperti : Al-Hasan, Ats-Tsuri, Ibnul-Mubarak, Al-Fudlail, Ibrahim bin Adham dan Yusuf bin Asbath, memperkatakan mengenai ulama dunia, dari penduduk Makkah, negeri Syam dan lain-lain. Adakala- nya karena mereka itu cenderung kepada dunia dan adakalanya karena bercampur-baur dengan sultan-sultan. Dan diantara tanda-tanda ulama akhirat, ialah tidak tergesa-gesa memberi fatwa. Tetapi berdiri teguh menjaga diri dari memberi fatwa selama masih ada jalan untuk melepaskan diri.

Jikalau ia ditanyakan tentang apa yang diketahuinya benar-benar dengan dalil (nash) Kitabullah atau Hadits atau Ijma' atau qias yang nyata, niscaya berfatwalah dia. Dan jikalau ditanyakan tentang sesuatu yang diragukannya, maka ia menjawab : "Saya tidak tahu (Laa adrii)" Dan jikalau ditanyakan suatu persoalan yang hampir diyakininya (dhan), berdasarkan ijtihadnya dan terkaannya, maka dalam hal ini ia berhati-hati, mempertahankan diri dan menyerah- kan penjawabannya kepada orang Iain jikalau ada pada orang lain itu kemampuan.
Inilah hati-hati (al-hazmu) namanya, kereka ikut-ikutan berijtihad adalah besar sekali bahayanya.
Dalam hadits tersebut :

(Al-'ilmu tsalaatsatun: kitaabun naathiqun wa sunnatun qaaimatun
wa laa adrii).
Artinya :"Ilmu itu tiga : Kitab yang berbicara, Sunnah yang berdiri tegak dan Laa adrii (Saya tidak tahu)". (1)
(1) Dirawikan Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar, hadits marfu'
261
Menjawab anak-anaknya : "Wahai ayah kami! Jadi binasalah kami ini kekurusan!".
Menjawab orang itu : "Hai anak-anakku! Aku lebih suka mati sebagai mu'min yang kurus, dari pada aku mati sebagai munafiq yang gemuk".
Berkata Al-Hasan : "Orang itu memusuhi sultan-sultan itu, karena demi Allah ia mengetahui, bahwa tanah memakan daging dan minyak, tidak memakan iman".
Dan ini suatu petunjuk, bahwa orang yang memasuki tempat sultan tidak akan selamat sekali-kali dari nifaq (bermuka dua). Dan nifaq itu adalah berlawanan dengan iman.
Abu Dzar berkata kepada Salmah : "Wahai Salmah, janganlah eng¬kau mendatangi pintu sultan-sultan! Sesungguhnya engkau tidak akan memperoleh sesuatu dari pada dunia mereka, melainkan mereka memperoleh dari agama engkau yang lebih utama dari padanya".

Inilah suatu fitnah besar bagi ulama dan jalan yang sulit bagi setan untuk memperdayakan ulama. Lebih-lebih bagi ulama yang mem¬punyai cara berbicara yang mudah diterima orang dan mempunyai perkataan yang manis. Karena senantiasalah setan membisikkan kepada ulama itu bahwa : "Nasehatmu kepada sultan-sultan dan kedatanganmu kepadanya, adalah hal yang menakutkan mereka dari berbuat dhalim dan menegakkan syiar-syiar Agama". Sampai menjadi khayalan kepada ulama itu, bahwa masuknya ke rumah sultan-sultan itu adalah setengah dari agama.
Kemudian, apabila telah masuk, lalu senantiasalah ia bersikap lemah-lembut dalam pembicaraan, berminyak-minyak air dan berkecimpung dengan memuji dan menyanjung. Dan pada inilah terletaknya kebinasaan Agama. Dan ada dikatakan : "Ulama itu apabila telah berilmu, niscaya berbuat (beramal). Apabila berbuat, niscaya sibuk. Apabila telah sibuk, lalu hilang. Apabila telah hilang, lalu dicari. Dan apabila dicari lalu lari".
Umar bin Abdul 'aziz ra. menulis surat kepada Al-Hasan : "Am- maaba'du, kemudian dari itu, maka tunjukkanlah kepadaku golong- an-golongan yang dapat aku meminta tolong padanya, untuk menegakkan perintah Allah Ta'ala!".
Maka Al-Hasan membalas surat Khalifah Umar bin Abdul 'aziz tadi : "Adapun kaum agama, maka mereka tidak berkehendak260kepadamu. Dan adapun kaum dunia, maka engkau tidak berkehen dak kepada mereka. Akan tetapi, haruslah engkau dengan orang- orang mulia, karena mereka menjaga kehormatan dirinya dari pada menodainya dengan pengkhianatan".

Ini adalah mengenai Umar bin Abdul 'aziz ra. dan adalah ia yang paling zuhud pada zamannya.
Maka apabila adalah syarat bagi kaum Agama lari dari Umar, maka bagaimanakah memperoleh perbandingan untuk mencari orang lain dan bercampur-baur dengan dia? Dan selalu ulama-ulama terdahulu, seperti : Al-Hasan, Ats-Tsuri, Ibnul-Mubarak, Al-Fudlail, Ibrahim bin Adham dan Yusuf bin Asbath, memperkatakan mengenai ulama dunia, dari penduduk Makkah, negeri Syam dan Iain-Iain, Adakala- nya karena mereka itu cenderung kepada dunia dan adakalanya karena bercampur-baur dengan sultan-sultan.

Dan diantara tanda-tanda ulama akhirat, ialah tidak tergesa-gesa memberi fatwa. Tetapi berdiri teguh menjaga diri dari memberi fatwa selama masih ada jalan untuk melepaskan diri.

Jikalau ia ditanyakan tentang apa yang diketahuinya benar-benar dengan dalil (nash) Kitabullah atau Hadits atau Ijma' atau qias yang nyata, niscaya berfatwalah dia. Dan jikalau ditanyakan tentang sesuatu yang diragukannya, maka ia menjawab : "Saya tidak tahu (Laa adrii)" Dan jikalau ditanyakan suatu persoalan yang hampir diyakininya (dhan), berdasarkan ijtihadnya dan terkaannya, maka dalam hal ini ia berhati-hati, mempertahankan diri dan menyerah- kan penjawabannya kepada orang lain jikalau ada pada orang lain itu kemampuan:
Inilah hati-hati (al-hazmu) namanya, kereka ikut-ikutan berijtihad adalah besar sekali bahayanya.
Dalam hadits tersebut:

(Al-'ilmu tsalaatsatun : kitaabun naathiqun wa sunnatun qaaimatun walaa adrii).
Artinya : "iman itu tiga : Kitab yang berbicara, Sunnah yang berdiri tegak dan Laa adrii (Saya tidak tahu)". (1)
(1) Dirawikan Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar, hadits marfu'
261
Asy-Sya'bi berkata : "Laa adrii adalah setengah ilmu.Barang siapa berdiam diri dimana yang tidak diketahuinya karena Allah Ta'ala, maka tidaklah kurang pahalanya dari pada orang yang berkata-kata. Karena mengaku bodoh adalah amat berat bagi jiwa". Begitulah adanya kebiasaan para shahabat dan ulama salaf ra.
Adalah Ibnu Umar apabila ditanyakan kepadanya tentang fatwa maka menjawab : "Pergilah kepada amir itu yang menerima pikul- an tanggung jawab segala urusan manusia. Maka letakkanlah urusan itu ke atas pundaknya!".
Berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Orang yang memberi fatwa kepada manusia mengenai tiap-tiap persoalan yang diminta mereka fatwa- nya, adalah gila' Dan seterusnya beliau berkata : "Benteng orang alim itu, ialah "Laa adrii" (saya tidak tahu). Jikalau ia menyalahkan benteng itu, maka sesungguhnya telah mendapat bencanalah tempat-tempat ia berperang".
Berkata Ibrahim bin Adham ra. : "Tidak adalah yang lebih menyu- litkan bagi setan, selain dari orang alim yang berkata dengan ilmunya dan berdiam diri dengan ilmuhya. Setan itu berkata : "Lihatlah kepada orang alim ini! Diamnya lebih sulit bagiku dari pada perkataannya".

Setengah mereka menyifatkan al-abdal (1) dengan mengatakan : "Orang shaleh itu makannya seberapa perlu, tidurnya kalau terpak- sa dan kata-katanya kalau sudah penting. Artinya: mereka tidak berbicara sehingga ditanya. Dan apabila ditanya, lalu mendapat orang-orang yang memadai, niscaya mereka berdiam diri. Dan kalau diperlukan, baru mereka menjawab".
Orang-orang shaleh itu memandang bahwa memulai berbicara sebe- lum ditanya, adalah termasuk hawa nafsu yang tersembunyi untuk berbicara.
Saidina Ali ra. dan Saidina Abdullah ra. melewati seorang laki-laki yang sedang berbicara dihadapan orang banyak, lalu berkata Ali ra. : "Orang itu akan mengatakan nanti: "Kamu kenallah aku!".
Berkata setengah mereka bahwa orang berilmu itu apabila ditanya¬kan sesuatu masalah, maka seakan-akan dicabut gusinya. Ibnu Umar berkata : "Kamu bermaksud menjadikan kami jembatan, yang akan kamu lalui di atas kami ke neraka jahannam".
(1) Al-abdal, ialah orang shalih yang selaiu ada di dunia ini, yang digantikan oleh Tuhan, bila ada yang mtninggal (Pany.)
262
Abu Hafash An-Naisaburi berkata : "Orang alim itu, ialah yang takut pada pertanyaan, dim ana ditanyakan kepadanya pada hari qiamat nanti: "Dari manakah penjawaban itu kamu peroleh?".
Adalah Ibrahim At-Taimi apabila ia ditanyakan sesuatu masalah, lalu menangis, seraya berkata: "Apakah tuan-tuan tidak mendapat orang lain, maka tuan-tuan mendesak saya?",
Adalah Abul 'Aliyyah Ar-Rayyahi, Ibrahim bin Adham dan Ats- Tsuri berbicara dihadapan dua orang, tiga orang dan dihadapan jumlah yang kecil. Apabila orang sudah banyak lalu mereka itu pergi.
Nabi saw. bersabda :

(Maa adrii a'uzairun nabiyyun am laa. Wa maa adrii a-tubba'un mal- 'uunun am laa. Wa maa adrii dzulqarnaini nabiyyun am laa).
Artinya :
"Saya tidak tahu, 'Uzair itu nabi atau bukan, Saya tidak tahu, Tub- ba' itu t**rkutuk atau tidak. Dan saya tidak tahu, Dzulqarnain itu nabi atau bukan". (1)
Tatkala Rasulullah saw. ditanyakan tentang tempat yang terbaik dan yang terburuk di bumi, maka Nabi saw. menjawab : "Laa adrii - Saya tidak tahu". Sehingga datanglah Jibril sa. kepadanya, maka ditanyakannya. Lalu Jibril as. menjawab : "Laa adrii - Saya tidak tahu'" Sehingga ia diberitahukan oleh Allah 'Azza wa Jalla, bahwa tempat yang terbaik, ialah masjid dan tempat yang terburuk ialah pasar (2)
Adalah Ibnu Umar ra. ditanyakan sepuluh masalah, maka dijawab- nya satu dan berdiam diri dari sembilan. Dan Ibnu Abbas ra. men¬jawab sembilan dan berdiam diri dari satu.
Dalam kalangan ulama fiqh (Fuqaha') ada yang menjawab "Laa adrii", lebih banyak dari pada menjawab". Adrii - saya tahu". Diantaranya : Sufyan Ats-Tsuri, Malik bin Anas, Ahmad bin Han- hal, Al-Fudlail bin 'Iyadl dan Bisyr bin Al-Harits. Abdur-Rahman bin Ali Laila berkata : "Aku mendapati dalam masjid ini seratus dua puluh orang shahabat Rasulullah saw. Tidak
(1) Dirawikan Abu Dawud dan At-Hakim dari Abu Hurairah, Tubba" orang suku Himyar, orang pertama yang manutupi Ka'bah dengan kain
(2) Dirawikan Ahmad, Abu Va'ia, Al-Bazzar dan Al-Haktm dari Ibnu Umar.
263
seorangpun dari mereka yang ditanyakan tentang hadits atau fatwa, melainkan lebih menyukai bahwa temannya saja cukup menjawab- nya".
Pada kata-kata yang lain dari Abdur-Rahman bin Ali Laila itu berbunyi: "Adalah suatu masalah dikemukakan kepada salah seo¬rang dari mereka, lalu ia mengembalikannya kepada yang lain. Dan yang lain itu mengembalikannya kepada yang Iain pula, sehing¬ga masalah itu kembali kepada orang yang pertama". Diriwayatkan bahwa teman-teman Shuffah m , dihadiahkan orang kepala kibasy goreng kepada salah seorang dari mereka, dimana ia sedang melarat benar. Maka dihadiahkannya hadiah tadi kepada teman yang lain dan teman yang lain itu menghadiahkannya kepa- dan yang lain pula. Dan begitulah beredar diantara mereka, sehingga kembalilah kepada yang pertama.
Lalu lihatlah sekarang, bagaimana terbaliknya pekerti ulama!. Maka jadilah yang harus ditinggalkan, dicarinya dan yang harus dicarikan, ditinggalkan nya!.

Dibuktikan tentang baiknya berhati-hati dari pada turut-turutan memberi fatwa, ialah apa yang diriwayatkan dari setengah mereka sebagai hadits musnad, bahwa Nabi saw, bersabda : "Tidaklah berfatwa kepada manusia, selain oleh tiga : amir atau ma'mur (orang yang disuruh amir) atau orang yang menanggung sendiri untuk berfatwa"
Berkata setengah mereka : "Adalah para shahabat Nabi saw. tolak- menolak pada empat perkara : menjadi imam, memegang wasiat (testament), menyimpan simpanan dan memberi fatwa".

Berkata setengah mereka : "Adalah yang paling lekas memberi fatwa, ialah orang yang ilmunya paling sedikit. Dan yang paling menolak memberi fatwa, ialah orang yang paling wara' (menjaga diri dari kesalahan)".
Adalah para shahabat ra. dan tabi'in ra. itu sibuk pada lima perkara, yaitu : membaca Al-Qur-an, meramaikan (memakmurkan) masjid, berdzikir kepada Allah Ta'ala, beramar ma'ruf dan bernahi munkar".
Yang demikian itu adalah karena mereka mendengar dari sabda Nabi saw. :
(1) Teman-teman Shuffah, yaitu segolongan shahabat Nabi saw. yang miskin. Mereka selalu di Shuffah masjid (tempat berteduh dekat masjid Nabi saw. di MadHtah). (Peny).
264

(Kullu kalaamibni aadama 'alaihi laa lahu illaa tsalaatsatun : amrun bima'-ruufin au nahyun 'an munkarin au dzikrullaahi Ta'aalaa).
Artinya :"Tiap-tiap perkataan anak Adam (manusia), adalah memberatkan atas dirinya, tidak menguntungkan kepadanya, selain tiga : amar ma'ruf atau nahi munkar atau berdzikir kepada Allah Ta'ala(1)
(1) Dirawikan At-Tirmldzi dan Ibnu Majah dari Ummu Habfbah. Kata At-Tirmidzi, hadits gharib.

Berfirman Allah Ta'ala :

(Laa khaira fii katsiirin min najwaahum illaa man amara bishada- qatin au ma'ruufin au-ishlaahin bainannaas).
Artinya :"Tiada kebaikan pada banyaknya bisikan-bisikan mereka, tetapi yang mendatangkan kebaikan, ialah orang-orang yang menyuruh berbuat baik atau menyuruh mendamaikan manusia
(S. An-Nisa', ayat 114).

Setengah ulama bermimpi berjumpa dengan beberapa ahli fikir dari penduduk Kufah, lalu bertanya : "Apakah yang tuan jumpai tentang pekerjaan tuan mengeluarkan fatwa dan pendapat?". Maka berobahlah warna muka orang yang dimimpikan itu dan berpaling dari padanya, seraya mengatakan : "Tak adalah kami memperoleh sesuatu dari padanya, dan tidaklah kami memujikan akan akibatnya".

Berkata Ibnu Hushain : "Bahwasanya salah seorang dari mereka berfatwa mengenai suatu masalah, masalah mana, jikalau dibawa kepada Umar bin Al-Khath-thab ra., niscaya akan dikumpulkannya seluruh shahabat yang turut dalam perang Badar untuk membahas- nya".
Maka senantiasalah diam itu menjadi sifat ahli ilmu, kecuali ketika diperlukan.
265
Pada Hadits tersebut :

(Idzaa ra-aitumurrajula qad uutiya sham tan wa zuhdan faqtaribuu minhu fainnahu yulaqqinul hikmah).
Artinya:
"Apabila kamu melihat orang bersifat pendiam dan zuhud, maka dekatilah kepadanya! Sesungguhnya orang itu akan mengajarkan ilmu hikmah". (1)
(1) Dirawikan Ibnu Majah dari Ibnu Khallad, dengan isnad dla'if.
Ada yang mengatakan, bahwa orang alim itu, adakalanya : seorang alim umum, yaitu mufti dan mereka ini adalah teman sultan. Atau seorang alim khusus. Dan itulah orang alim dengan ilmu tauhid dan amal perbuatan hati. Dan mereka itu adalah teman-teman di pondok pesantren yang terpisah sendirian.
Ada yang mengatakan, bahwa seperti Imam Ahmad bin Hanbal itu, adalah seperti sungai Tigris (Dajlah), dimana tiap-tiap orang menya- uk air dari padanya. Dan seperti Bisyr bin Al-Harits, adalah seperti sumur berair tawar yang tertutup, tak ada yang menuju kepadanya, selain seorang demi seorang. Dan orang banyak itu mengatakan, bahwa si Anu itu berilmu, si Anu itu ahli ilmu kalam, si Anu itu banyak bicara, dan si Anu itu banyak kerja.
Berkata Abu Sulaiman : "Ma'rifah kepada diam, adalah lebih dekat dari pada ma'rifah kepada berkata-kata". Dan ada yang mengata¬kan, bahwa apabila banyak ilmu, maka sedikitlah bicara dan apabila banyak bicara, maka sedikitlah ilmu.
Salman Al-Farisi ra. menulis surat kepadaAbi'd Darda' ra., dimana keduanya telah dipersaudarakan (2) oleh Rasulullah saw. Surat itu diantara lain berbunyi : "Wahai saudaraku! Telah sampai kepadaku berita bahwa engkau duduk menjadi tabib mengobati orang-orang sakit. Maka perhatikanlah bahwa jikalau benarlah engkau tabib, maka berbicaralah, karena pembicaraanmu itu adalah obat! Dan jikalau engkau berbuat-buat sebagai tabib, Allah — Allah , jangan¬lah engkau membunuh orang muslim!".
Sesudah itu, maka Abi'd Darda' terhenti-henti berbicara apabila ia ditanyakan.
(1) Dirawikan Ibnu Majah dari Ibnu Khallad, dengan isnad dla'if.
(2) Hal ini diriwayatkan Al-Bukhari dari Abi Ja'fah.
266
Adalah Anas ra. apabila ia ditanyakan, maka menjawab : "Tanya¬kanlah kepada penghulu kita Al-Hasan! Dan Ibnu Abbas ra. apabila ditanyakan, menjawab : "Tanyakanlah kepada Haritsah bin Zaid! "Dan Ibnu Umar ra. menjawab ! "Tanyakanlah kepada Sa'id bin Al-Musayyab!".
Diriwayatkan, bahwa seorang shahabat Nabi saw. meriwayatkan dua puluh hadits dimuka Al-Hasan; Lalu ditanyakan kepadanya mengenai penafsiran hadits-hadits itu, maka shahabat itu menja¬wab : "Tak ada padaku selain meriwayatkan saja".
Lalu Al-Hasan menafsirkan hadits itu satu persatu. Maka heranlah segala yang hadlir, tentang kebagusan penafsiran dan hafalannya. Maka shahabat tadi mengambil segenggam batu kerikil dan melem- parkan orang-orang itu, sambil berkata : "Kamu menanyakan kepadaku tentang ilmu, sedang yang ahli ini adalah dekat pung gungmu"
Dan diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, ialah banyak perha- tiannya dengan ilmu bathin, dengan muraqabah hati, dengan me¬ngenai jalan akhirat, cara menempuh nya, mengharapkan benar- benar untuk menyingkapkan yang demikian itu dengan mujahadah dan muraqabah, (1)

Sesungguhnya mujahadah membawa kepada musyahadah dan ilmu hati yang halus-halus, dim ana dengan ilmu-ilmu itu terpancarlah segala sumber hikmah dari hati.

Adapun kitab-kitab dan pengajaran, maka tidaklah mencukupi dengan itu saja. Tetapi hikmah yang diluar hinggaan dan tak terhi- tung itu, sesungguhnya terbuka dengan mujahadah, muraqabah, langsung mengerjakan amalan dhahir dan amalan bathin dan duduk beserta Allah 'Azza wa Jalla dalam khilwah (persembunyian), serta menghadlixkan hati (jiwa) dengan pikiran yang putih bersih, terpu- tus dari yang lain, langsung kepada Allah Ta'ala.
Itulah kunci ilham dan sumber kasyaf (terbuka hijab)!.

Berapa banyak pelajar yang sudah lama belajar, tetapi tidak sanggup dengan sepatah katapun melewati dari pada yang didengamya. Dan berapa banyak pelajar, memilih yang penting saja dalam pelajarannya, menyempurnakan amal dan muraqabah hati, yang dibu- kakan Allah kepadanya ilmu hikmah yang halus-halus yang mengherankan akal orang-orang yang bermata hati.
(1) Mujahadah : berjihad menumpas hawa nafsu yang menghalangi jiwa dekat kepada Tuhan.
Muraqabah : memperhatikan gerak-gerak hati, jangan sampai terpengaruh dengan dunia dan hwa nafsu.
Musyahadah: menyaksikan dengan jiwa akan kebesaran Allah dan alam gh*ib yang penuh dengan keajaiban kebesaran Allah Ta'ala.

Dan karena itulah Nabi saw. bersabda :
(Man lamila bimaa 'aiima warratsahullaahu 'ilma maa lam yalam).
Artinya :"Barang siapa mengerjakan dengan apa yang diketahuinya, niscaya dipusakakan Allah kepadanya ilmu pengetahuan yang belum diketahuinya(1)


salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Sun Oct 17, 2010 11:34 pm

Pada setengah kitab-kitab lama tersebut: "Hai Bani Israil!.
Janganlah kamu mengatakan : ilmu itu di langit, siapakah yang menurunkannya ke bumi? Janganlah kamu mengatakan ilmu itu dalam perut bumi, siapakah yang mengeluarkannya ke atas bumi? Dan jangan kamu mengatakan di seberang lautan, siapakah yang membawanya? Ilmu itu dijadikan dalam hatimu.
Beradablah dihadapanKu dengan adab ruhaniawan (ruhaniyyin)! Berbudi-pekertilah kepadaKu dengan budi-pekerti shiddiqin. Niscaya Aku lahirkan ilmu itu dalam hatimu, sehingga menutupkan kamu dengan kebaikan dan kelebihan ilmu".

Berkata Sahl bin Abdullah At-Tustari ra. : "Keluarlah orang-orang berilmu (ulama), orang-orang beribadah (ubbad) dan orang-orang zuhud (zuhhad) dari dunia ini. Hati mereka terkunci dan tidak terbuka, selain hati orang-orang shiddiqin dan syuhada (orang-orang syahid)".

Kemudian Sahl membaca firman Allah Ta'ala :
(Wa 'indahuu mafaatihul ghaibi laa ya'-lamuhaa illaa huwa). Artinya :
"Dan di sisi Allah kunci-kunci perkara yang ghaib, tidak ada yang tahu, selain Allah (S. Al-An'am, ayat 59).
Jikalau tidaklah pengetahuan hati dari orang yang berhati dengan nur bathin, yang menjadi hakim atas ilmu dhahir, tentu tidaklah
(1) Dirawikan Abu Na'im dari Anas dan d'pandangnya hadits dla'if.268

Nabi saw. bersabda :
(Istafti qalbaka wa in aftauka wa aftauka wa aftauka). Artinya :
"Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun orang lain telah berfat¬wa kepadamu, telah berfatwa kepadamu, telah berfatwa kepadamu!".

Nabi saw. bersabda akan wahyu yang diriwayatkannya dari Tuhannya Yang Maha Tinggi :
(Laa yazaalul 'abdu yataqarrabu ilayya bin nawaafili hattaa uhibba- hu fa-idzaa ahbabtuhu kuntu sam-'ahul ladzii yasma'u bihi).
Artinya :"Senantiasalah hambaKu mendekatkan dirinya kepadaKu dengan amal ibadah sunnah, sehingga Aku sayang kepadanya. Apabila Aku telah sayang kepadanya, maka adalah Aku pendengarannya, dimana ia mendengar dengan pendengaran itu (1) (1) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah.

Berapa banyak pengertian-pengertian yang halus dari rahasia-rahasia Al-Qur-an yang terguris dalam hati orang-orang yang berdzikir dan berfikir kepada Tuhan semata-mata, yang tidak disebutkan dalam kitab-kitab tafsir dan tidak sampai kepadanya pandangan ahli-ahli tafsir yang utama.

Apabila terbukalah yang demikian itu bagi murid yang bermuraqabah dan dikemukakannya kepada ulama-ulama tafsir, niscaya mereka itu akan menerimanya dengan baik. Dan mereka itu mengetahui bahwa yang demikian adalah diantara pemberitahuan hati yang suci dan rakhmat Allah Ta'ala dengan cita-cita yang tinggi, yang dicurahkan kepada murid tersebut.

Dan begitu pula tentang ilmu mukasyafah dan segala rahasia ilmu mu 'amalah serta bisikan-bisikan hati yang halus-halus. Maka tiap-tiap ilmu dari ilmu-ilmu ini adalah ibarat lautan yang tak terduga
(1) Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi hurairah

dalamnya. Masing-masing pelajar hanya berkecimpung sekedar yang dianugerahkan dan diberikan taufiq kepadanya dari amalan baik.

Tentang penyifatan ulama akhirat itu, berkatalah Ali ra. pada suatu pembicaraan yang panjang :
"Hati itu adalah wad ah. Hati yang paling baik ialah hati yang paling menjaga kebajikan.
Manusia itu tiga : 'alim rabbani (yang berilmu Ketuhanan); yang belajar ke jalan kelepasan dan yang bertualang rendah budi, mengikuti semua orang yang pandai berteriak, condong kemana dibawa angin, tak memperoleh sinar ilmu dan tidak bersandar kepada tiang yang teguh. Ilmu adalah lebih baik dari harta.
Ilmu itu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu adalah bertambah dengan dibelanjakan dan harta berkurang dengan dibelanjakan. Ilmu itu agama yang diperpegangi. Dengan ilmu diusahakan ta'at dalam hidup dan elok sebutan sesudah mati. Ilmu itu hakim dan harta itu yang dihukum- Kegunaan harta itu hilang dengan hilangnya. Matilah penjaga-pen- jaga gudang harta, walaupun mereka itu masih hidup. Dan ulama itu terus hidup, kekal sepanjang zaman".


Kemudian Ali ra. menarik nafas panjang, seraya berkata : "Ah, sesungguhnya di sini banyak ilmu, jikalau kiranya aku memperoleh orang-orang yang membawanya! Tetapi aku memperoleh pelajar yang tidak am an ah. Ia menggunakan agama untuk menjadi alat mencari dunia. Dipandangnya lama-lama akan ni'mat Allah kepada auIia-auliaNya dan dilahirkannya menjadi alasan kepada orang banyak. Atau aku memperoleh orang yang patuh kepada ahli kebenaran. Tetapi tertanamlah keragu-raguan dalam hatinya dengan kedatangan syubhat yang pertama saja. Ia tidak bermata-hati. Tidak yang ini (orang yang patuh tadi) dan tidak yang itu (pelajar yang tidak am an ah yang tersebut di atas)!. Atau aku memperoleh orang yang terpesona dengan kesenangan, mudah terlibat dalam pelukan hawa nafsu. Ataupun aku memperoleh orang yang terpe- daya dengan mengumpulkan harta dan simpanan, mengikuti hawa nafsunya, sehingga mereka menyerupai hewan yang mencari rumput- di padang luas Wahai Tuhan! Begitulah kiranya,ilmu itu mati, apabila mati pendukung-pendukungnya. Kemudian, bumi ini tidak akan sunyi dari orang yang menegakkan kebenaran Allah. Adakalanya yang dhahir terbuka dan adakalanya yang takut terpaksa. Supaya tidaklah batal segala hujjah dan keterangan-keterangan Allah Ta'ala.

Berapa orangkah dan dimanakah mereka itu? Mereka adalah sedikit bilangannya, tinggi kedudukannya. Diri mereka itu tidak ada.

Orang-orang yang seperti mereka itu, berada di dalam hati. Allah Ta'ala menjaga hujjah (keteranganNya) dengan mereka, Sehingga mereka menyimpan hujjah itu di belakangnya dan menanamkannya dalam hati orang-orang yang serupa dengan mereka. Ilmu itu me- nyerbu orang-orang tadi dalam keadaan yang sebenaxnya. Maka mereka memperoleh secara langsung ruh-keyakinan (ruhul-yaqin). Lalu mereka memperoleh lunak apa yang diperoleh keras oleh orang-orang yang merusakkan dan memperoleh jinak apa yang di pandang liar oleh orang-orang yang lalai.

Mereka menyertai dunia dengan badan, sedang ruhnya tergantung di tempat tertinggi. Mereka itu adalah aulia Allah 'Azza wa Jalla dari makhlukNya, pemegang amanahNya, pekerja-pekerjaNya, di bumiNya dan penyeru-penyeru kepada AgamaNya'.

Kemudian, Ali ra. menangis, seraya berkata : "ALangkah rindu hatiku hendak melihat mereka!".
Apa yang disebutkan Ali ra. yang terakhir itu, ialah sifat uLama akhirat. Yaitu : ilmu "yang kebanyakannya diperoleh faedahnya dari amalan dan rajin bermujahadah.
Dan diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, ialah sangat bersungguh-sungguh menguatkan keyakinan. Karena keyakinan itu adalah modal Agama.
"Keyakinan (al-yaqin) itu adalah iman seluruhnya". (1)
1)Dirawikan Al-Balhaqi dan AhKhotib dari Ibnu Mas'ud, dengan itnad hasan.

Maka tak boleh tidak mempelajari ilmul-yaqin (ilmu keyakinan), yakni : bahagian yang permulaannya. Kemudian, terbukalah bagi hati jalannya.
duduklah bersama orang-orang yang berkeyakinan (al-muqinin) dan dengarlah dari mereka ilmul-yaqin.

Biasakanlahmengikuti mereka, supaya kuatlah keyakinanmu, sebagaimana kuatnya keyakinan mereka.
Sedikit dengan yakin, adalah lebih baik dari banyak amal. Nabi saw. bersabda, tatkala dikatakan kepadanya tentang : orang yang baik yakinnya, banyak dosanya dan orang yang raj in beribadah, sedikit yakinnya, diman a beliau lalu bersabda :

(Maa min Aadamiyyin illaa wa lahu dzunuub). Artinya :
"Tak adalah anak Adam melainkan mempunyai dosa". (1)(1) Dirawikan At-Tirmidzi dari Anas.
Tetapi orang yang tabiatnya berakal dan sifatnya yakin, maka dosanya tidaklah mendatangkan kemelaratan kepadanya. Karena tiap kali ia berdosa lalu bertobat, meminta ampun dan menyesal. Maka tertutuplah (terhapuslah) semua dosanya dan tinggallah baginya keutamaan, dim ana ia akan masuk ke sorga dengan keutamaan itu.

Karena itulah, Nabi saw. bersabda :
(Inna min aqalli maa uutiitumul yaqiina wa 'aziimatash-shabri wa man u'-thiya hadhdhahu minhumaa lam yubaali maa faatahu min qiyaamil laili wa shiyaamin nahaar).
Artinya :"Sesungguhnya dari yang paling sedikit diberikan kepada kamu, ialah : yakin dan teguh kesabaran. Barang siapa diberi bahagian dari yang dua itu, niscaya tak perdulilah ia apa yang tertinggal, dari sembahyang malam dan puasa siang".

Dalam wasiat Luqman kepada puteranya, tersebut : "Hai anakku! Tak sangguplah amal perbuatan itu dikerjakan, selain dengan yakin. Tidaklah manusia itu bekerja, melainkan sekedar keyakinannya. Dan tidaklah yang beramal itu memendekkan amalannya, kecuali telah kurang yakinnya".

Yahya bin Ma'az berkata : "Sesungguhnya tauhid itu mempunyai nur (cahaya) dan syirik itu mempunyai nar ( api). Dan nur tauhid itu lebih membakar segala kejahatan orang-orang yang bertauhid, dari api syirik yang membakar segala kebajikan orang- orang musyrik".

Yahya bermaksud dengan yang demikian, ialah "yakin".
Allah Ta'ala telah menunjukkan dalam Al-Qur-an kepada menye- butkan orang-orang yang yakin (al-muqinin) - pada beberapa tem¬pat, yang menunjukkan, bahwa "yakin" itu adalah ikatan bagi kebajikan dan kebahagiaan.
Jikalau anda bertanya "Apakah artinya yakin itu? Apakah artinya kuat dan lemahnya yakin?", maka hendaklah mula- mula memahami "yakin" itu, kemudian berusaha mencari dan mempelajarinya. Sesuatu yang tidak dipahami bentuknya, niscaya tidak mungkin mencarinya.

Ketahuilah, bahwa yakin itu suatu perkataan yang berserikat, yang dipakai oleh dua golongan untuk dua pengertian yang berlainan.

Adapun golongan pemerhati dan ulama ilmu kalam, memakai kata-kata "yakin" itu dari ke-tidak-raguan (tidak syak), karena condongnya hati kepada membenarkan sesuatu, mempunyai empat tingkat:
Pertama : bahwa seimbanglah antara membenarkan dan mendustakan. Dan untuk itu, dikatakan : syak (ragu).. seumpama : apabila anda ditanyakan tentang seorang yang tertentu, apakah ia disiksa- kan oleh Allah Ta ala atau tidak, sedang keadaan orang itu, anda tidak mengetahuinya. Maka hati anda tidak condong kepada menetapkan, dengan : ya atau tidak, tetapi bersamaanlah pada anda kemungkinan dua hal tadi. Maka ini dinamakan syak.

Kedua : bahwa condonglah jiwa anda kepada salah satu dari dua hal itu, serta merasa dengan kemungkinan sebaliknya. Tetapi ke¬mungkinan tadi, tidak mencegah untuk menguatkan yang pertama. Seumpama apabila anda ditanyakan tentang orang yang anda kenal dengan shalih dan taqwa, bahwa orang itu jikalau meninggal dunia dalam keadaan yang demikian, adakah ia disiksa? Maka jiwa anda condong kepada pendapat : bahwa orang itu tidak akan disiksa, lebih banyak dari condongnya jiwa anda kepada ia disiksa.

Yang demikian itu, adalah karena jelasnya tanda-tanda ke-shalehannya. Dalam pada itu, anda boleh saja memandang ada sesuatuhal yang tersembunyi pada bathin dan rahasia orang itu, yang mengharuskan ia disiksa.
Ke-boleh-sajaan itu adalah menyamai dengan kecondongan tadi, tetapi tidaklah menolak kuatnya kecondongan itu. Maka keadaan ini disebut : dhan.

Ketiga : bahwa condonglah hati kepada membenarkan sesuatu, dimana keraslah membenarkan itu pada hati dan tidak terguris yang lain pada hati. Dan kalaupun terguris yang lain pada hati itu, tetapi hati enggan menerimanya.

Tetapi tidaklah yang demikian itu disertai pengetahuan yang diya- kini. Karena jikalau orang yang berada pada tingkat ini mempergu- nakan dengan sebaik-baiknya penelitian dan perhatian kepada yang meragu-ragukan dan keboleh-sajaan, maka meluaslah hatinya kepa¬da keboleh-sajaan (at-taj-wiz). Dan ini disebut : i'tiqad yang men- dekati kepada yaqin. Dan itu adalah : i'tiqad orang awwam tentang agama seluruhnya, apabila i'tiqad itu telah terhunjam dalam jiwa- nya dengan mendengar semata-mata. Sehingga tiap-tiap firqah (golongan) percaya bahwa alirannya (madzhabnya) yang shah, imamnya dan pengikut firqahnya saja yang betul. Jikalau diterang- kan kepada salah seorang mereka kemungkman imamnya salah, niscaya larilah ia dari pada menerimanya.

Keempat: ma'rifat yang sebenarnya (ma'rifah haqiqiah) yang diperoleh dengan jalan dalil yang tidak diragukan dan tidak tergambar keraguan lagi padanya.

Apabila tak ada lagi keraguan dan kemungkinan adanya keraguan itu, maka disebutlah : yaqin pada mereka (golongan pemerhati dan ulama ilmu kalam).

Contohnya: apabila ditanyakan kepada orang yang berakal: "Ada¬kah pada yang ada itu (al-wujud), SESUATU yang qadim? Maka tidaklah mungkin bagi orang itu membenarkannya dengan tanpa berpikir (bil-badihah), karena Yang Qadim itu tidak dapat diketahui dengan pancaindera. Tidak seperti matahari dan bulan. Maka orang itu dapat membenarkan adanya matahari dan bulan itu dengan pancaindera. Dan tidaklah mengetahui adanya Suatu Yang Qadim Azali itu dengan mudah (dlaruri), seperti mengetahui bahwa dua lebih banyak dari satu. Bahkan seperti mengetahui terjadinya yang baharu (haadits), dengan tanpa sebab itu mustahil. Maka ini juga dlaruri.

Maka berhaklab bagi akal tidak terus membenarkan adanya Yang Qadim itu dengan jalan spontan dan tanpa berpikir. Kemudian, setengah manusia mendengar yang demikian dan membenarkan dengan mendengar itu secara yaqin dan terus-menerus kepada yang demikian.

Dan itulah yang disebut : i'tiqad (aqidah). Dan yang demikian itu adalah keadaan sekalian orang awwam.
Setengah manusia membenarkannya dengan dalil. Dan dalil itu, ialah dikatakan kepadanya : jikalau tidak ada pada al-wujud (yang ada ini) QADIM, maka yang ada itu (al-maujudat) seluruhnya baharu (haadits). Jikalau seluruhnya itu baharu, maka adalah dia itu baharu dengan tanpa sebab. Atau ada padanya baharu yang dengan tanpa sebab. Dan yang demikian itu adalah mustahil Maka yang membawa kepada mustahil itu adalah mustahil.

Dari itu, maka haruslah menurut akal, membenarkan adanya Suatu Yang Qadim dengan dlarurah. Karena bahagian-bahagian itu tiga :

Yaitu, seluruh al-maujudat itu. qadim atau seluruhnya haadits (baharu) atau setengahnya qadim dan setengahnya baharu.

Jikalau seluruhnya qadim, maka berhasillah yang dicari. Karena secara keseluruhan sudah ada yang qadim. Dan jikalau seluruhnya baharu, maka itu mustahil. Karena membawa kepada adanya kejadian, tanpa sebab. Maka tetaplah bahagian ketiga atau pertama.

Dan tiap-tiap ilmu yang diperoleh dengan cara ini, disebut: yaqin pada golongan pemerhati dan ahli ilmu kalam. Sama saja berhasilnya dengan memperhatikan contoh yang telah kami sebutkan atau ber¬hasilnya dengan pdncaindera atau gharizah akal, seperti mengetahui mustahilnya yang baharu dengan tanpa sebab. Atau dengan berita yang mutawatir (berita yang berturut-turut dari orang banyak, yang tak mungkin sepakat membohong), seperti mengetahui adanya kota Makkah. Atau dengan percobaan, seperti mengetahui, bahwa sakmunia yang dimasak menjadi menceret. Atau dengan dalil, seperti yang telah kami sebutkan di atas tadi.
Maka syarat pemakaian nama ini pada mereka itu ialah : tidak syak. Tiap-tiap ilmu yang tak syak lagi, pada mereka disebut : yaqin.

Berdasarkan kepada ini, maka "yaqin" itu tidak disifatkan dengan "lemah", karena tak ada berlebih-kurang tentang "tidak-syak" itu.

Istilah kedua, ialah istilah ulama-ulama fiqih, ahli tasawuf dan kebanyakan ulama lainnya. Yaitu : tidak menoleh pada kata-kata "yaqin" itu kepada segi "pembolehan dan keraguan". Tetapi kepada penguasaan dan kerasnya atas akal. Sehingga dikatakan : si Anu lemah keyakinannya kepada mati, sedang ia tidak ragu kepada mati itu. Dan dikatakan : si Anu itu kuat keyakinannya tentang kedatangan rezeki, pada hal boleh jadi rezeki itu tidak datang kepadanya.

Manakala hati telah condong kepada membenarkan sesuatu dan yang demikian itu telah keras atas hati dan menguasainya. Sehingga sesuatu itu menjadi yang menetapkan dan yang menentukan pada hati dengan pembolehan dan pelarangan. Maka dinamakanlah yang demikian itu "yaqin". Dan tak syak lagi, bahwa manusia bersama- sama meyakini mati dan tak ada syak lagi padanya. Tetapi dalam kalangan manusia itu, ada orang yang tidak mempunyai perhatian dan persiapan untuk menghadapi mati. Seolah-olah ia tidak yaqin dengan kedatangan mati. Ada pula diantara manusia, yang demiki¬an itu menguasai benar pada hatinya, sehingga seluruh perhatiannya ditumpahkannya kepada persiapan menghadapi mati. Tidak diting- galkannya peluang untuk yang lain. Maka keadaan yang seperti ini, dikatakan : kuat keyakinan.

Dari itu berkata setengah ulama : "Tidaklah aku melihat suatu keyakinan yang tak ada keraguan lagi padanya, yang menyerupai dengan keraguan yang tak ada keyakinan padanya, selain dari : mati.
Berdasarkan istilah inilah, maka keyakinan itu disebut: lemah dan kuat. Dan kami maksudkan dengan perkataan kami, bahwa setengah dari keadaan ulama akhirat, ialah menyerahkan seluruh kesungguh- annya kepada menguatkan keyakinan, adalah dengan kedua pengertian yang di atas tadi. Yaitu : tidak syak (tidak ragu), kemu¬dian menguatnya keyakinan itu di dalam hati. Sehingga keyakinan- lah yang memenangi, yang menetapkan dan yang berbuat pada hati.

Apabila ini telah dipahami, niscaya anda mengetahui bahwa yang dimaksud dari perkataan kami, ialah yaqin itu terbagi tiga : kuat dan lemah, banyak dan sedikit, tersembunyi dan terang.
Adapun yang dimaksudkan dengan kuat dan lemah, maka adalah berdasarkan kepada istilah yang kedua. Yang demikian itu, adalah menurut keras dan berkuasanya atas hati. Derajat pengertian yaqin tentang kuat dan lemahnya, tidaklah berkesudahan. Berlebih-kurang persediaan manusia bagi mati, adalah menurut berlebih- kurangnya keyakinan sepanjang pengertian-pengertian itu.

Adapun berlebih-kurang tentang tersembunyi dan terangnya keya¬kinan pada istilah yang pertama, maka tidak pula dapat dibantah. Adapun pada yang menyelusup kepadanya he-boleh-saja-an (at-taj- wiz), maka tidaklah dapat dibantah. Yakni : istilah yang kedua. Dan juga pada yang tak ada keraguan padanya, tak ada jalan untuk membantahnya.

Sesungguhnya anda dapat membedakan antara anda membenarkan adanya Makkah dan adanya Fadak o> umpamanya dan antara anda membenarkan adanya Musa as. dan adanya Yusya' as., sedang anda sebenarnya tidak ragu tentang kedua hal itu.

Yang menjadi sandaran keduanya itu, ialah berita mutawatir. Tetapi anda melihat yang satu lebih terang dan lebih jelas pada hati anda dari pada yang kedua. Karena sebab pada salah satu dari pada ke¬duanya adalah lebih kuat. Yaitu : banyaknya orang yang memberitakan.

Dan begitu pula orang yang memperhatikan ini akan memperoleh pada teori-teori yang diketahui dengan dalil-dalil. Maka tidaklah jelas apa yang ditunjukkan dengan satu dalil, seperti jelasnya apa yang ditunjukkan dengan banyak dalil, walaupun keduanya sama, tidak diragukan.

Dan ini kadang-kadang di ban tali oleh ahli ilmu kalam, yang meng- ambil ilmu dari kitab-kitab dan pendengaran dan tidak mendasarkan pendapatnya kepada keadaan yang berlebih-kurang.
Tentang sedikit dan banyaknya keyakinan, maka yang demikian itu adalah disebabkan banyaknya tempat-tempat tersangkutnya keya¬kinan. Seumpama dikatakan ; Si Anu adalah lebih banyak ilmunya dari si Anu. Artinya : yang diketahuinya lebih banyak.

Karena itulah, kadang-kadang seorang alim itu kuat keyakinannya mengenai semua yang dibawa Agama dan kadang-kadang kuat keyakinannya pada sebahagiannya saja.
Jika anda berkata : "Aku telah memahami akan "yakin", kuat dan lemahnya, banyak dan sedikitnya, terang dan tersembunyinya, dengan pengertian : tidak ragu atau dengan pengertian : telah menguasai hati, maka apakah artinya : tempat-tempat tersangkut¬nya keyakinan dan tempat-tempat yang dilaluinya? Dan pada apa yang dituntut adanya keyakinan? Karena saya, selama tidak menge-
(I) Fadak, ialah nama suatu desa dari desa Khaibar (AMthaf, hal 415, jilid 1}. (Peny).

tahui apa yang dituntut adanya keyakinan padanya, maka belumlah sanggup saya mencarinya".
Maka katahuilah bahwa se kalian yang dibawa nabi-nabi as. dari permulaannya sampai kepada kesudahannya, adalah menjadi tem¬pat lalunya keyakinan itu.
Maka sesungguhnya yakin itu, adalah ibarat dari ma'rifah tertentu. Dan tempat hubungannya ialah segala ilmu pengetahuan yang dibawa agama. Dan janganlah kiranya diharapkan menghinggainya. Tetapi aku akan menunjukkan kepada sebahagiannya saja. Yaitu in duk-induknya.

Diantaranya ialah TAUHID. Yaitu melihat segala sesuatu dari yang menyebabkan sebab-sebab. Dan tidak menoleh kepada perantara-perantara. Tetapi, melihat perantara-perantara itu dijadikan untuk kepentingannya. Tak ada hukum apa-apa pada perantara- perantara itu.

Orang yang membenarkan ini adalah orang yang berkeyakinan penuh.
Maka kalau tak ada kemungkinah ragu dalam hatinya serta keimanan, niscaya orang itu mempunyai keyakinan dengan salah satu dari dua pengertian itu. Jikalau mengalahkan atas hatinya serta keiman¬an, oleh sesuatu kemenangan yang menghilangkan kemarahannya kepada perantara dan rela serta berterima kasih kepada perantara- perantara itu dan menempatkan perantara-perantara tadi dalam hatinya sebagai pena dan tangan terhadap orang yang memperoleh kenikmatan dengan menurunkan tanda tangannya, maka sesung¬guhnya orang tadi tidak berterima kasih kepada pena dan tangan¬nya dan tidak marah kepada keduanya (kalau tanda tangan itu membahayakan kepadanya), tetapi melihat kedua benda tadi dua macam alat yang digunakan dan menjadi perantara belaka.

Maka jadilah dia, orang yang yakin dengan pengertian yang kedua.
Dan itu yang lebih mulia (pada tingkat-tingkat keyakinan). Yaitu : buah, jiwa dan faedahnya keyakinan pertama.
Manakala telah diyakini benar-benar, bahwa matahari, bulan, bintang, benda keras (jamad), tumbuh-tumbuhan, hewan dan makhluk seluruhnya dijadikan untuk kemanfa'atan bagi manusia dengan kehendakNya, seperti dijadikan pena untuk kemanfa'atan dalam tangan seorang penulis dan bahwa qudrah yang azali, adalah sum- ber bagi seluruhnya, maka berkuasalah dalam hatinya kemenangan tawakkal, rela dan menyerah diri. Dan jadilah dia seorang yang yakin, bebas jiwanya dari marah, dengki, busuk hati,dan kelakuan buruk.
Inilah salah suatu dari pintu-pintu yakin! Dan sebahagian dari padanya ialah percaya kepada jaminan Allah

Ta'ala dengan rezeki, yang tersebut dalam firmannya :
(Wa maa min daabbatin fil ardli illaa 'alallaahi rizquhaa).
Artinya :"Tidak adalah yang merangkak-rangkak di bumi ini, melainkan rezekinya ada pada Allah Ta'ala
(S. Hud, ayat 6).

Yakin bahwa rezeki itu akan datang kepadanya dan apa yang ditaqdirkan, akan sampai kepadanya. Dan manakala yang demikian itu telah memenangkan dalam -qalbunya, niscaya adalah ia dengan jalan tidak terurai pada mencari rezeqi. Dan akan tidak bersangatan lobanya, rakusnya dan sedihnya atas sesuatu yang tidak diperolehnya.

Keyakinan tersebut membuahkan juga sejumlah ta'at kepada Allah Ta'ala dan budi pekerti yang terpuji.
Sebahagian dari buah yakin itu, ialah bahwa mengerasi atas qalbu- nya, bahwa orang yang berbuat amal an baik walaupun seberat kuman yang halus, niscaya akan dilihatnya. Dan siapa berbuat amalan buruk walaupun seberat kuman yang halus niscaya akan dilihatnya. Yaitu keyakinan dengan pahala dan siksa, sehingga ia melihat hubungan t&'at kepada pahala sebagai hubungan roti kepada kenyang. Dan hubungan ma'siat kepada siksa, sebagai hubungan racun dan ular berbisa kepada kebinasaan.

Maka sebagaimana ia berusaha benar-benar menghasilkan roti untuk memperoleh kekenyangan, lalu dijaganya sedikit dan banyaknya roti itu, maka demikian pulalah ia berusaha berbuat ta'at sedikit dan banyaknya. Sebagaimana ia menjauhkan sedikit racun dan banyaknya, maka demikian pula ia menjauhkan perbuatan ma'siat sedikitnya dan banyaknya, kecilnya dan besamya.

Maka keyakinan dengan pengertian yang pertama itu, kadang-ka- dang terdapat pada kaum mu'min umumnya. Tetapi dengan penger-279tian yang kedua, adalah tertentu bagi orang-orang yang mendekat¬kan dirinya kepada Allah Ta'ala. Dan buah dari keyakinan ini, ialah benarnya muraqabah dalam segala gerak dan diam, dalam segala yang terlintas di dalam hati, dalam bersangatan bertaqwa kepada Tuhan dan dalam memelihara diri dari segala kejahatan.

Semakin keyakinan bertambah keras, maka menjaganya dan menetapkanya pun semakin bertambah berat dan sukar.
Sebahagian dari pintu yakin itu, ialah yakin bahwa Allah Ta'ala melihat kita dalam segala hal, menyaksikan segala yang terbisik dalam lubuk hati kita dan yang tersembunyi dalam gurisan hati dan pikiran kita.

Inilah keyakinan bagi tiap-tiap mu'min dengan pengertian yang pertama itu, yaitu : tidak ragu. Adapun dengan pengertian yang kedua dan itulah yang dimaksud, maka adalah sukar, tertentu bagi orang-orang shiddiq (orang-orang yang membenarkan segala yang datang dari agama). Buahnya, ialah bahwa manusia yang demikian dalam kesunyiannya, beradab bersopan santun dalam segala hal-ikhwalnya, sebagai seorang yang duduk menghadap seorang maharaja yang melihat kepadanya. Maka senantiasalah dia menundukkan kepala beradab dalam segala amal perbuatannya, menahan, memelihara dari segala gerak yang menyalahi adab kesopanan.

Dia dalam pemikiran kebathinannya, adalah seperti dengan segala perbuatan dhahirnya. Sebab ia yakin benar-benar bahwa Allah Ta'ala melihat kepada isi hatinya, sebagaimana orang banyak meli¬hat kepada dhahirnya. Maka bersangatannya pada membangunkan bathinnya, membersihkan dan menghiaskannya pada pandangan Allah Ta'ala, adalah lebih bersangatan dari pada menghiaskan tubuh dhahirnya pada pandangan manusia.
Keyakinan yang seperti ini mewarisi malu, takut, rendah hati, hina diri, tenang, tunduk dan sejumlah lagi dari budi pekerti yang terpuji.

Budi pekerti yang terpuji ini, mewarisi berbagai macam ta'at yang tinggi kepada Tuhan.
Maka yakin dalam masing-masing pintu dari pintu-pintu yang tersebut di atas, adalah seumpama pohon kayu. Dan budi pekerti yang terpuji tadi dalam hati adalah seumpama ranting-rantingnya yang bercabang merindang. Amal perbuatan ini dan ta'at yang menonjol dari budi pekerti itu, adalah laksana buah dan bunga yang bertaburan pada ranting-ranting.

Maka yakin adalah pokok dan sendi, mempunyai tempat berlalu dan pintu, lebih banyak dari yang dapat kita hitungkan. Dan akan diterangkan nanti, pada Bahagian Yang Melepaskan Dari Bahaya insya Allah Ta'ala. Dan sekedar ini, mencukupilah sekarang untuk memberi pengertian perkataan "yakin".

Juga diantara sifat-sifat ulama akhirat itu, adalah ia selalu merasa sedih, hancur hati, menunduk kepala dan berdiam diri. Bekas takutnya kepada Allah Ta'ala tampak atas keadaan, pakaian, perjalanan, gerak dan diam, berbicara dan tidak berbicara, siapa saja yang memandang kepadanya, maka pandangan itu mengingatkan dia kepada Allah Ta'ala. Rupanya menunjukkan kepada amal perbuatannya.Kuda tunggang, matanya ialah kaca matanya. Ulama akhirat dikenal dengan tanda-tanda yang ada padanya, tentang ketenangan diri, kehinaan, dan kerendahan.

Ada ulama yang mengatakan bahwa tak ada pakaian yang dianugerahkan Tuhan kepada hambaNya, yang lebih baik dari khusyu' dalam ketenangan bathin. Itulah pakaian para nabi, tanda orang- orang shalih, shiddiq dan para alim ulama.

Adapun perkataan batil, bersenda-gurau yang tidak dijaga, tertawa terbahak-bahak, bergerak semberono dan berbicara tajam, semua¬nya itu adalah bekas-bekas dari kesombongan, merasa aman dan lengah dari siksaan Tuhan Yang Maha Besar dan kesangatan amarah-Nya.

Sifat yang tersebut ini adalah kebiasaan anak-anak dunia yang lupa kepada Allah. Bukan kebiasaan ulama-ulama.
Pahamilah ini! Karena ulama seperti kata Sahl At-Tusturi ada tiga : Ulama yang mengetahui dengan suruh Allah, tidak mengetahui dengan hari-hari Allah. Yaitu mereka yang berfatwa tentang halal dan haram. Ilmu ini tidak mewariskan takut kepada Allah. Ulama yang mengetahui akan Allah dan tidak mengetahui akan suruh Allah dan hari-hari Allah. Yaitu orang mu'min umumnya. Dan ulama yang mengetahui akan Allah Ta'ala, suruhNya dan hari-hari Nya. Yaitu orang-orang shiddiq. Takut dan khusyu', telah menang atas mereka.

Dimaksudkan dengan hari-hari Allah ialah segala macam siksaanNya yang tidak diketahui batasnya dan segala macam nikmatNya yang tersembunyi yang dilimpahkanNya pada abad-abad yang lampau dan abad-abad yang akan datang.
Orang yang luas pengetahuannya tentang itu, maka sangatlah takutnya dan lahirlah khusyu'nya.

Berkata Umar ra. : Pelajarilah ilmu! Pelajarlah untuk ilmu itu ketentraman, ketetapan hati dan kelembutan jiwa! Tunduklah dengan merendahkan diri kepada orang tempat kamu belajar! Begitu pula, hendaklah tunduk kepadamu orang yang belajar pada- mu! Janganlah kiranya kamu menjadi ulama yang bertabi'at kasar! Maka tidaklah ilmumu itu tegak dengan sebab kejahilanmu itu".

Ada dikatakan, bahwa Allah Ta'ala tidak menganugerahkan kepada hambaNya bersama ilmu itu kelembutan hati, kerendahan diri, kebaikan budi dan kekasih sayangan kepada makhluk ilahi.

Itulah ilmu yang bermanfa'at. Dan pada atsar (ucapan orang-orang terdahulu), ada yang mengatakan bahwa orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah Ta'ala, zuhud, tawadlu' dan kebaikan budi, maka adalah dia imam dari orang-orang yang bertaqwa kepadaNya. Dalam hadits Nabi saw. tersebut:
"Diantara ummatku yang terbaik, ialah suatu kaum yang tertawa terang-terangan dari keluasan rakhmat Allah dan menangis secara sembunyi-sembunyi karena takut 'akan 'azab Allah. Badannya dibumi jhvanya di langit. Rohnya di dunia dan akahvya di a- khirat. Berjalan mereka dengan tenang dan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan wastlah (jalan yang menyumpaikan kepadaNya)". (1)

Berkata Al-Hasan : "Lembut hati itu wazir ilmu. Kasih sayang itu bapak ilmu. Merendahkan diri itu pakaian ilmu".
Berkata Bisyr bin Al-Harts : "Barang siapa mencari menjadi kepala dengan ilmu, maka dia telah mendekatkan dirinya kepada Tuhan dengan kemarahan Tuhan. Orang itu tercela di langit dan di bumi".
Diriwayatkan dalam ceritera-ceritera Bani Israil bahwa seorang ahli hikmah telah mengarang tiga ratus enam puluh karangan tentang ilmu hikmah, sehingga dia digelarkan al-hakim (ahli ilmu hikmah). Maka diwahyukan Tuhan kepada Nabi mereka, yang isinya :
(1) Qirawikan A!-Hakim dan At-Baihaql dan 'Ijattl bin Sulaiman dan dipandangnya dla'if.

"Katakanlah kepada si Anu! Telah engkau penuh kan bumi ini dengan kemunafikan (nifaq), Dan sedikitpun tidak engkau kehendaki akan Aku dengan perbuatan itu. Sesungguhnya Aku tidak menerima suatu pun dari kemunafiqanmu itu".

Maka orang itu menyesal dan meninggalkan perbuatamya. Lalu pergi bergaul dengan orang awwam, berjalan di pasar-pasar, bertolong-tolongan dengan kaum Bani Israil dan merendahkan diri. Maka diwahyukan Allah kepada Nabi mereka, yang berbunyi : "Katakan¬lah kepadanya! Sekarang telah Aku berikan taufiq kerelaanKu".

Berceritera Al-Auza'i ra. dari Bilal bin Sa'ad bahwa Bilal berkata : "Seseorang kamu bila memandang kepada polisi, lalu berlindung dengan Allah dari padanya. Dan bila ia memandang kepada ulama duniawi yang membuat-buat budi baik, yang memburu menjadi kepala, maka ia tidak mengutuk mereka, pada hal merekalah yang lebih berhak dikutuk dari pada polisi itu".

Diriwayatkan bahwa ada orang bertanya kepada Nabi saw. :
"Wahai Rasulullah! Amalan apakah yang lebih utama?".
Menjawab Nabi saw. :
"Menjauhkan yang haram dan mulutmu senantiasa basah dari berdzikir kepada Allah Ta'ala".
Bertanya lagi orang kepadanya :
"Shahabat manakah yang lebih baik?".
Menjawab Nabi saw. :
"Yaitu seorang shahabat jika engkau berdzi¬kir kepada Allah niscaya dia menolong engkau.
Dan jika engkau lupa berdzikir, niscaya diperingatinya engkau".
Lalu bertanya lagi orang itu kepada Nabi saw.:
"Shahabat manakah yang jahat?".
Menjawab Nabi saw. :
"Yaitu shahabat jikalau engkau lupa, tidak diperingatinya akan engkau. Dan jika engkau teringat mengingati akan Allah, maka dia tidak menolong akan engkau".
Bertanya orang itu lagi:
"Manusia manakah yang lebih berilmu?".
Menjawab Nabi saw.:
"Yang paling takut kepada Allah Ta'ala".
Kemudian bertanya lagi orang itu kepada Nabi saw. :
"Terangkan- lah kepada kami, orang-orang kami yang baik, yang akan kami ambil untuk teman duduk berceritera".
Nabi saw. menjawab :
"Yaitu mereka yang selalu kelihatan berdzi¬kir kepada Allah Ta'ala".
Orang itu bertanya lagi:
"Manusia manakah yang paling jahat?".
Nabi saw. menjawab :
"Wahai Tuhan! Ampunilah!".
Mereka meminta :
"Terangkanlah kepada kami wahai Rasulullah!".
Maka menjawablah Nabi saw. :
"Yaitu ulama apabila membuat kerusakan". (1)

Bersabda Nabi saw. :
"Yang lebih banyak memperoleh keamanan pada hari qiamat, ialah orang yang lebih banyak berpikir semasa di dunia. Yang lebih banyak tertawa di akhirat, ialah orang yang lebih banyak menangis semasa di dunia. Dan yang lebih banyak bergembira di akhirat, ialah orang yang lebih lama gundah semasa di dunia". (2)

Berkata Ali ra. dalam salah satu pidatonya :
"Diriku ini tergadai. Aku adalah pemimpin. Sesungguhnya tidak menaruh hati kepada taqwa oleh tanaman suatu kaum dan tidak haus kepada petunjuk oleh pokoknya pokok. Manusia yang paling bodoh ialah orang yang tidak tahu diuntung.
Manusia yang paling dimarahi Tuhan, ialah orang yang mengumpulkan ilmu untuk membuat kekacauan, menghembus-hembuskan fitnah. Sampai dia dinamakan manusia bayangan dan orang yang berilmu yang paling hina.
Dia tidak hidup dalam ilmu seharipun yang selamat. Ia berpagi-pagi menghasilkan ilmu dan memperbanyakkannya. Maka sedikit dari ilmu pengetahuan dan mencukupi adalah lebih baik dari pada banyak tetapi disiasiakan.
Sehingga bila kehausan, terpaksalah meminum dari air yang telah berobah dan disimpan banyak yang tidak ber- faedah.
Dia duduk dihadapan orang banyak sebagai guru untuk menyelesaikan apa yang keliru bagi orang Iain.
Apabila terjadi sesuatu peristiwa penting, lalu ingin ia menyelesaikannya menurut pendapatnya sendiri,
sedang dia sebenarnya berotak kosong.
Dia menghadapi persoalan-persoalan yang mengelirukan itu, yang menyamai benang lawa-lawa, tak tahu dia salah atau benar. Dia adalah pengendara yang bodoh, berpenyakit gila, membawa unta yang tak dapat memandang ke muka. Ia tidak minta dimaafkan dari pada apa yang tidak diketahuinya supaya selamat.
Dia tidak menggigit ilmu itu dengan gusinya yang tajam supaya memperoleh hasil. Menangislah pembuluh-pembuluh darah di badannya. Dan menjadi halal dengan hukumnya kemaluan wanita (faraj) yang haram. Demi Allah tidaklah penuh, dengan mengeluar- kan apa yang telah ada padanya.

Orang itu tidaklah ahli untuk apa yang diserahkan kepadanya. Merekalah orang-orang yang diambil menjadi perumpamaan tentang azab pada abad-abad yang lampau. Maka layaklah mereka memekik dan menangis pada hari-hari kehidupan di dunia ini".
Berkata Ali ra. : "Apabila engkau mendengar ilmu, maka bicarakanlah ilmu itu! Dan jangan engkau campurkan dengan senda-gurau, nanti dimuntahkan oleh hati".
Berkata sebahagian ulama salaf : "Orang berilmu itu apabila tertawa terbahak-bahak, maka dia telah melemparkan ilmunya sekali lempar".
Dikatakan bahwa apabila seorang mu'allim (pengajar) mengumpul- kan tiga perkara, maka sempurnalah nikmat kepada pelajarnya, yaitu : sabar, merendahkan diri dan baik budi.
Dan apabila seorang pelajar (muta'allim) mengumpulkan tiga perkara, maka sempurna¬lah nikmat kepada pengajarnya yaitu : berakal, beradab dan berpaham baik".
Pendek kata, segala budi pekerti yang dibawa Al-Qur-an, tidaklah terlepas pada diri ulama akhirat. Karena mereka mempelajari Al- Qur-an untuk diamalkan, tidak untuk menjadi kepala.

Berkata Ibnu Umar ra. : "Kita telah hidup sekejap masa. Ada diantara kita, memperoleh iman sebelum Al-Qur-an. lalu turunlah surat Al-Qur-an itu. Maka dipelajarinyalah yang halal dan yang haram,
Yang disuruh dan yang dilarang dan apa yang harus dia berhenti sampai di situ. Aku sudah melihat beberapa orang. Salah seorang diantara mereka didatangkan Al-Qur-an sebelum iman, maka dibacanyalah semuanya dari permulaan sampai kepada penghabisan Kitab Suci, dengan tidak diketahuinya apa penyuruhnya dan apa pelarangnya. Dan apa yang seyogianya, dia berhenti pada¬nya. Maka dihamburkannya yang dibacanya itu seperti menghamburkan kurma busuk". (1)
(1) Ini adalah hadits yang dirawikan Al-Hakim dan Al-Baihaqi dan dipandangnya shahih.

Dalam hadits lain, yang sama pengertiannya dengan itu, yaitu : "Adalah kami para shahabat Nabi saw. diberikan kepada kami IMAN sebelum Al-Qur-an. Dan akan datang sesudah kamu, suatu kaum yang diberikan Al-Qur-an sebelum Iman. Mereka menegak¬kan huruf-huruf Al-Qur-an dan menyia-nyiakan batas-batas dan hak-hak dari Al-Qur-an dengan mengatakan : "Kami sudah baca. Siapakah yang lebih banyak membaca dari kami? Kami telah tahu. Siapakah yang lebih tahu dari kami? Maka itulah nasib mereka".
Pada perkataan Iain tersebut : "Merekalah yang sejahat-jahatnya dari ummat ini".

Dikatakan bahwa lima macam dari budi pekerti adalah diantara tanda-tanda ulama akhirat, yang dipahami dari lima ayat Kitab Allah Ta'ala Al-Qur-an. Yaitu : takut, khusyu', tawadlu', baik budi,dan memilih akhirat dari dunia. Yaitu : zuhud.
Takut, diambil dari firman Allah Ta'ala :

(Innamaa yaVhsyallaaha min ibaadihil Hilamaa).
Artinya :"Hanya sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hanibaNya, ialah para ahli ilmu (ulama)".
(S. Fathir, ayat 28).
Khusyu diambil dari finnan Allah Ta'ala :

Artinya :*'Mereka itu khusyu* kepada Allah, tidak menukar keterangan-keterangan Allah itu dengan harga yang murah

(S. Ali 'Imran, ayat 199).
Tawadlu' (merendahkan diri), diambil dari firman Allah Ta'ala :

Artinya:"Rendahkanlah sayapmu kepada orang mu 'min (S. Al-Hijr, ayat 88).


Baik budi, diambil dari firman Allah Ta'ala :
(Fabimaa rahmatin minallaahi linta lahum).
Artinya :"Oleh karena rakhmat Allah„ engkau bersikap lemah lembut kepa¬da mereka"
(S. Ali 'Imran, ayat 159).

Zuhud, diambil dari firman Allah Ta'ala :

Artinya :"Berkata orang-orang yang berilmu pengetakuan itu : "Malang nasibmuI Pahala dari pada Allah lebih baik untuk orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik(S.Al-Qashash, ayat 80),
Tatkala Rasulullah saw. membaca firman Allah Ta'ala :

Artinya :
"Barang siapa dikehvndaki Allah memberi petunjuk kepadanya niscaya dibukaNya dada orang itu kepada Islam
(S. Al-An'am, ayat 125).

Lalu orang bertanya kepada Nabi saw.: "Apakah pembukaan itu?".
Nabi saw. menjawab : "Sesungguhnya nur itu apabila diletakkan dalam hati, maka terbukalah dada menerima nur tersebut dengan seluas-Iuasnya".

Berkata orang itu lagi : "Adakah tandanya untuk itu?".
Menjawab Nabi saw. : "Ya, ada! Merenggangkan diri dari negeri tipu daya, kembali ke negeri kekal dan bersedia untuk mati sebelum datangnya". (1)
(1) Dirawikan Al-Hikim daft Al-Bailuqi dari Ibnu Mu'ud.

Juga diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, ialah kebanyakan pembahasannya mengenai ilmu yang dikerjakan, apa-apa yang merusakkan amal perbuatan itu, yang mengacau-Balaukan hati, yang membangunkan waswas dan yang mengobarkan kejahatan.

Sesungguhnya pokok agama ialah, menjaga dari kejahatan itu. Dari itu bermadahlah seorang penya'ir :
"Aku kenal kejahatan, bukan untuk kejahatan,tetapi untuk menjaga diri daripadanya,
Orang yang tak mengenai kejahatan, akan jatuhlah ke dalamnya!".

Dan karena amal perbuatan yang dikerjakan itu dekat pengambil- annya. Dan yang paling penghabisan, bahkan yang paling tinggi dari amal perbuatan itu, ialah membiasakan diri mengingati Allah Ta'ala (berdzikir) dengan hati dan lid ah. Sesungguhnya urusannya, ialah pada mengetahui yang merusakkan dan yang mengacaukan amal perbuatan itu...

Dan ini, banyak benar cabangnya dan panjang pembahagiannya. Semuanya termasuk yang diperlukan. Dan banyaklah bahaya yang dihadapi dalam perjalanan menuju akhirat.

Adapun ulama dunia, mereka mengikuti saja cabang-cabang yang ganjil dalam pemerintahan dan kehakiman. Mereka bersusah-payah menciptakan bentuk-bentuk yang menghabiskan waktu dan tak pernah terjadi. Kalau pun terjadi, maka terjadi untuk orang lain, tidak untuk mereka sendiri.

Dan apabila terjadi, maka banyaklah orang yang bangun mau menyelesaikannya dan meninggalkan tugas yang semestinya harus dikerjakan.
Begitulah berulang-ulang terjadi malam dan siang, baik dalam gurisan hati, sangka waham dan amal perbuatan dari ulama dunia itu.
Alangkah jauhnya dari kebahagiaan orang yang menjual kepentingan dirinya sendiri yang perlu, dengan kepentingan orang lain yang jarang terjadi, karena mengharap dekat diri dan diterima orang banyak, dari pada mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.

Dan karena rakus, supaya dinamakan oleh tukang-tukang batil dari anak-anak dunia, dengan nama ul-fadlil, yang melahirkan kebenar¬an, yang mengetahui masalah yang pelit-pelit.
Dan balasannya dari Allah, bahwa ulama itu tidak bermanfa'at di dunia ini dengan diterima oleh orang banyak. Tetapi namanya kotor sepanjang zaman. Kemudian dia datang pada hari qiamat, merugi, menyesal demi melihat laba yang diperoleh oleh orang yang beramal dan kemenangan yang diperoleh oleh orang yang mende¬katkan diri kepada Allah Ta'ala. Inilah kerugian yang nyata!

Al-Hasan Al-Bahari ra. adalah seorang manusia yang menyerupai perkataannya dengan perkataan nabi-nabi as. dan petunjuk yang diberikannya kepada manusia mendekati dengan petunjuk dari shahabat-shahabat Nabi saw.
Dan telah sepakatlah kata atas yang demikian terhadap Al-Hasan itu. Sebahagian besar perkataan Al-Hasan adalah mengenai gurisan hati, kerusakan amal, kebimbangan jiwa dan sifat-sifat yang tersem- bunyi yang tak jelas dari keinginan hawa nafsu.

Pernah orang mengatakan kepadanya : "Hai Abu Sa'id! Tuan berkata-kata dengan perkataan yang tak pernah terdengar dari orang lain. Dari manakah tuan ambil?".
Al-Hasan menjawab : "Dari Huzaifah bin Al-Yamman!".
Kemudian ditanyakan kepada Huzaifah : "Kami melihat tuan mengeluarkan perkataan yang tak pernah terdengar dari shahabat- shahabat Nabi saw: yang lain. Dari manakah tuan ambil?".
Huzaifah menjawab : "Ditentukan oleh Nabi saw, perkataan-perka- taan itu kepadaku. Orang lain bertanya kepada Nabi saw. tentang kebajikan. Aku menanyakannya tentang kejahatan karena takut aku jatuh ke dalamnya. Dan aku tahu bahwa kebajikan itu tak perlu buru-buru aku mengetahuinya".
Pada suatu kali pernah Huzaifah mengatakan : "Maka aku tahu bahwa orang yang tidak mengenai kejahatan, niscaya tidak akan mengenai kebajikan".
Pada kata-kata lain, pernah para shahabat Nabi saw. bertanya : "Wahai Rasulullah! Apakah untuk orang yang mengerjakan demi¬kian dan demikian?".
Maksud mereka menanyakan tentang amal perbuatan yang utama.
"Tetapi aku - kata Huzaifah menanyakan : "Wahai Rasulullah! Apakah yang merusakkan demikian dan demikian?".
Tatkala Rasulullah melihat aku menanyakan tentang bahaya yang merusakkan amal, lalu beliau menentukan ilmu ini untukku".
salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Wed Oct 20, 2010 11:52 pm

Huzaifah juga ditentukan oleh Nabi saw. dengan pengetahuan tentang orang munafiq. Dia sendiri yang mengetahui tentang ilmu mengenai nifaq, sebab-sebabnya dan bahaya fitnah yang halus- halus.
Umar, Usman dan pembesar-pembesar shahabat ra. menanyakan Huzaifah tentang fitnah umum dan khusus. Huzaifah ditanyakan tentang orang-orang munafiq. Lalu ia menerangkan bilangan yang masih tinggal dari mereka, tetapi tidak diterangkannya nama mere¬ka masing-masing.
Adalah Umar menanyakan kepada Huzaifah tentang dirinya : "Adakah Huzaifah tahu sesuatu dari kemunafiqan pada Umar?". Lalu Huzaifah menyatakan, bahwa Umar terlepas dari yang demi¬kian.
Saidina Umar ra. apabila dipanggil untuk melakukan shalat janazah, ia melihat lebih dahulu. Kalau ada datang Huzaifah, maka Umar mau bershalat janazah pada mayat itu. Kalau tidak datang, maka Umar meninggalkan tempat itu.

Huzaifah digelarkan pemegang rahasia.
Bersungguh-sungguh mempelajari tingkat-tingkat hati dan hal ikhwalnya,
Adalah kebiasaan ulama akhirat.
Karena hatilah yang berjalan mendekati Allah Ta'ala.
Maka jadilah pengetahuan ini ganjil dan terhapus.
Apabila dikemukakan sedikit saja daripadanya kepada seorang yang berilmu,
lalu merasa ganjil dan menjauhkan diri,
Dengan mengatakan bahwa itu diperindah oleh juru-juru nasehat.
Dan dimana pentahkikannya?.
Orang itu memandang bahwa pentahkikan itu adalah pada perteng-karan yang berliku-liku.

Benarlah kiranya kata penya'ir :
"Jalan itu sangat banyak,
Tetapi jalan kebenaran hanya satu.
Dan yang pergi berangkat,
Ke jalan kebenaran itu satu-satu
Mereka tiada tahu, maksudnyapun tiada diketahui.
Mereka terus menuju, berjalan pelan-pelan kepada yang ditujui.

Manusia itu lalai,
Apa dimaksudkan dengan mereka.
Sebahagian besar tidur terkulai,
Jalan kebenaran sampai terlupa
Kesimpulannya, bahagian terbanyak dari manusia itu, tidak con¬dong hatinya, selain kepada yang mudah dan sesuai dengan tabiat- nya.

Karena kebenaran itu pahit. Dan payah untuk tegak terus dikebenaran itu. Mengetahuinya sukar. Jalan kepadanya berliku liku. Lebih-lebih mengenai sifat hati dan mensucikannya dari pekerti yang tercela.
Itu adalah suatu cabutan dari jiwa yang terus-menerus. Orangnya adalah seumpama orang yang meminum obat, harus sabar atas pahitnya obat, karena mengharapkan sembuh. Atau seumpama orang yang menjadikan masa hidupnya untuk berpuasa. Maka ia harus menahan segala penderitaan, untuk mencapai hari pembukaan puasanya ketika mati nanti.

Kapankah banyak orang menyukai jalan itu? Karena itulah kata orang, bahwa di kota Basrah terdapat seratus dua puluh orang yang selalu berbicara tentang nasehat dan peringatan. Dan tak ada yang berbicara mengenai ilmu yakin, hal ikhwal hati dan sifat-sifat bathin, selain tiga orang, yaitu Sahl At-Tusturi, Ash-Shubaihi dan Abdur Rahim.

Yang duduk mengelilingi juru-juru nasehat itu tak terhitung banyaknya, sedang yang mengelilingi orang yang tiga tadi adalah sedikit, hampir tidak melampaui sepuluh orang. Sebabnya tak lain, ialah barang yang bernilai itu, tidak Layak selain kepada orang-orang tertentu. Dan apa yang dihidangkan kepada orang banyak itu, adalah persoalan yang dekat saja.
Juga diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, perpegangannya tentang ilmunya berdasarkan kepada penglihatan bathin dan diketahuinya dengan hati yang putih bersih. Tidak kepada lembaran buku dan kitab-kitab dan tidak pula bertaqlid atas pendengaran dari orang lain. Yang ditaqlidkannya, sesungguhnya pembawa syari'at suci Nabi Besar Muhammad saw. pada yang disuruhnya dan yang diucapkannya. Shahabat-shahabat ra. pun ditaqlidkannya, dari segi bahwa perbuatan mereka menunjukkan kepada pendengarannya dari Rasulullah saw………………..291

Kemudian, apabila sudah bertaqlid kepada pembawa syari'at suci itu dengan menerima segala perkataan dan perbuatannya, maka hendaklah berusaha benar-benar memahami rahasia ajarannya.
Seorang yang bertaqlid (muqallid) berbuat suatu perbuatan karena Nabi saw. berbuatnya. Perbuatannya itu memang harus dan hen¬daklah karena suatu rahasia padanya.

Maka seyogialah bahwa dia membahas benar-benar tentang rahasia segala perbuatan dan perkataan Nabi saw. Karena kalau dicukupkan saja dengan menghafal apa yang dikatakan, maka jadilah dia karung ilmu dan bukanlah seorang yang berilmu.

Karena itulah ada orang mengatakan : si Anu itu karung ilmu. Maka tidaklah dinamakan orang itu berilmu apabila keadaannya hanya menghafal saja, tanpa memperhatikan hikmah dan rahasia yang terkandung di dalamnya.
Orang yang tersingkap dari hatinya tutup dan memperoleh nur hidayah, maka jadilah dia seorang yang diikuti dan ditaqlidkan. Maka tidak seyogialah dia bertaqlid kepada orang lain.
Karena itulah berkata Ibnu Abbas ra. : "Tiada seorangpun, melainkan diambil dari ilmunya dan ditinggalkan selain Rasulullah saw.", (1) (1) ini adalah hadits yang dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas.

Ibnu Abbas itu mempelajari fiqih pada Zaid bin Stabit dan memba¬ca Al-Qur-an pada Ubai bin Ka'ab. Kemudian dia berselisih dengan Zaid dan Ubai tentang fiqih dan tentang pembacaan Al-Qur-an.

Berkata setengah ulama salaf : "Apa yang datang kepada kami dari Rasulullah saw. kami terima di atas kepala dan penuh perhatian dari kami. Dan apa yang datang kepada kami dari para shahabat ra. ada yang kami ambil dan ada yang kami tinggalkan. Dan apa yang datang dari para tabi'in, maka mereka itu laki-laki dan kami pun laki-laki".

Dianggap lebih para shahabat itu, karena mereka melihat dengan mata sendiri hal-ikhwal Rasulullah saw. Dan hati mereka terikat kepada hal-ikhwal itu yang diketahui dengan qarinah (tanda-tanda). Lalu membawa mereka kepada yang benar, dari segi tidak masuk dalam riwayat dan ibarat. Karena telah melimpahlah nur kenabian kepada mereka, yang menjaga dari kesalahan dalam banyak hal.

Apabila berpegang kepada yang didengar dari orang lain itu taqlid yang tidak disukai, maka berpegang kepada kitab-kitab dan karangan-karangan adalah lebih jauh lagi. Bahkan kitab-kitab dan karang-292an-karangan itu adalah barang baru yang dibuat. Sedikitpun tak ada daripadanya pada masa shahabat dan tabi'in yang terkemuka. Tetapi datangnya adalah sesudah seratus dua puluh tahun dari Hijrah Nabi saw. dan sesudah wafat seluruh shahabat dan sebahagian besar dari tabi'in dan sesudah wafat Sa'id bin Al-Musayyab, Al-Ha¬san dan para tabi'in yang pilihan. Bah kan ulama-ulama yang mula- mula dahulu,tidak menyukai kitab-kitab hadits dan penyusunan kitab-kitab. Supaya tidaklah manusia itu sibuk dengan buku-buku itu, dari hafalan,dari Al-Qur-an, dari pernah aman dan dari peringat¬an. Mereka itu mengatakan : "Hafallah sebagaimana kami meng¬hafal!".

Karena itulah, Abu Bakar dan segolongan shahabat Nabi saw. tidak menyetujui penulisan Al-Qur-an (mengkodifikasikan), dalam suatu mashaf. Mereka berkata : "Bagaimana kita membuat sesuatu yang tidak diperbuat Nabi saw.?".

Mereka itu takut nanti manusia itu berpegang saja pada mashaf - mashaf dengan mengatakan : "Kita biarkan Al-Qur-an, yang diterima oleh mereka dari tangan ke tangan, dengan dipelajari dan dibacakan, supaya menjadi pekerjaan dan cita-cita mereka". Sehingga Umar ra. dan lain-lain shahabat menunjukkan supaya Al-Qur-an itu ditulis, karena takut disia-siakan orang nanti dan malasnya mereka. Dan menjaga agar tidak menimbulkan pertikaian di belakang hari. Karena tidak diperoleh yang asli yang menjadi tempat pemeriksaan dari kekeliruan, baik kalimatnya atau bacaan- nya.

Mendengar alasan-alasan tadi, maka terbukalah hati Khalifah Abu Bakar. Maka dikumpulkanlah Al-Qur-an itu dalam suatu mashaf.

Imam Ahmad bin Hanbal menentang Imam Malik karena dikarangnya kitab Al-Muaththa Ahmad berkata : "Tuan ada-adakan yang tidak dikerjakan para shahabat ra".
Kata orang, kitab yang pertama dikarang dalam Islam ialah Kitab Ibnu Juraij tentang atsar dan huruf-huruf tafsir dariMujahid, Atha' dan teman-teman Ibnu Abbas ra. di Makkah.

Kemudian muncul kitab Ma'mar bin Rasyid Ash-Shan'ani di Yaman. Dikumpulkan di dalamnya sunnah yang dipusakai dari Nabi saw.
(1) Atsar, Ialah ucapan para shahabat ra. dan para pemuka islam yang terdahulu.

Kemudian lahir Kitab Al-Muatk-tha' di Madinah karangan Imam Malik bin Anas. Kemudian Kitab Jami' karangan Sufyan Ats- Tsuri.

Kemudian pada abad keempat hijriyah, muncullah karangan- karangan tentang ilmu kalam. Lalu ramailah orang berkecimpung dalam pertengkaran dan tenggelam di dalam membatalkan kata- kata.

Kemudian tertariklah hati manusia kepada ilmu kalam, kepada kisah-kisah dan memberi pengajaran dengan mengambil bahan dari kisah-kisah tadi. Maka sejak masa itulah merosot ilmu yakin (ilmul-yaqin). Sesudah itu, lalu dipandang ganjil ilmu hati, pemeriksaan sifat-sifat jiwa dan tipu daya setan.
Orang tidak memperhatikan lagi kepada ilmu-ilmu tadi selain sedikit-sekali. Lalu orang-orang yang suka bertengkar dalam ilmu kalam, dinamai 'alim. Tukang ceritera yang menghiasi kata-katanya dengan susunan yang berirama, dinamai 'alim.

Ini disebabkan karena orang awwamlah yang mendengar syarahan dan ceritera orang-orang tadi. Lalu tidak dapat membedakan antara ilmu yang sebenarnya dan ilmu yang tidak sebenarnya. Perjalanan shahabat dan ilmu pengetahuan shahabat-shahabat ra. itu tidak terang pada orang awwam. Sehingga mereka dapat mengenai perbedaan antara para shahabat itu dan orang-orang yang disebut 'alim.
Maka terus-meneruslah nama ulama melekat pada orang-orang itu dan dipusakai dari salaf kepada khalaf (ulama-ulama pada masa terakhir). Dan jadilah ilmu akhirat itu terpendam dan lenyaplah perbedaan antara ilmu dan bicara, selain pada orang-orang tertentu.

Orang-orang yang tertentu itu (al-khawwash) apabila ditanyakan : "Si Anukah yang lebih berilmu ataukah si Anu?", lalu menjawab : "Si Anu lebih banyak ilmunya dan si Anu lebih banyak bicaranya".
Jadi, orang-orang al-khawwash mengetahui perbedaan antara ilmu dan kemampuan berbicara.
Begitulah, maka agama itu menjadi lemah pada abad-abad yang lampau. Maka bagaimana pula persangkaan anda dengan zaman anda sekarang?. (1) (1) Yaitu, zaman AI Ghazali ra. kira-klra pada akhir abad ke V hijriah

Sudah sampailah sekarang, bahwa orang yang suka mengecam per¬buatan munkar, dituduh gila. Jadi yang baik sekarang, ialah orang bekerja untuk dirinya sendiri dan diam.

Juga diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, sangat menjaga dari perbuatan-perbuatan bid'ah, meskipun telah mendapat persetujuan dari kebanyakan ulama (ulama al-jumhur).

Janganlah kiranya tertipu atas kesepakatan orang ramai terhadap sesuatu yang diada adakan sesudah para shahabat Nabi saw. Hendaklah suka memeriksa tentang keadaan para shahabat, perjalanan dan perbuatannya. Dan apa yang menjadi kesukaan mereka, menga¬jarkah, mengarangkah, suka bertengkarkah, menjadi kadlikah, wali negerikah, memegang harta wakafkah, harta wasiatkah, memakan harta anak yatimkah, bergaul dengan sultan-sultan kah, berbaik pergaulan dengan merekakah? Atau adakah ia dalam keadaan takut kepada Tuhan, gundah, tafakkur, mujahadah, muraqabah, dhahir dan bathin, menjauhkan diri dari dosa yang sekecil-kecilnya sampai kepada yang sebesar-besamya, berusaha memperoleh pengetahuan yang tersembunyi dari hawa nafsu dan tipu daya setan? Begitulah seterusnya dari segala ilmu bathin itu!.

Ketahuilah dengan sebenar-benarnya bahwa orang yang terpandang 'alim, pada masanya dan yang lebih dekat kepada kebenaran, ialah orang-orang yang menyerupai shahabat dan yang lebih mengenai jalan ulama-ulama salaf. Maka dari merekalah hendaknya agama itu diambil!.

Karena itulah berkata Ali ra. : "Yang terbaik dari kita ialah yang lebih mengikuti agama ini". Perkataan Ali ini untuk menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya : "Tuan sudah menyalahi dengan si Anu ?".

Maka tidaklah layak untuk berkeberatan menentang orang masa sekarang, buat menyetujui orang masa Rasulullah saw. Manusia sebenarnya berpendapat dengan pendapat pada masanya, karena tabiatnya condong kepadanya. Dan dirinya tidak mau mengakui bahwa cara yang demikian, menyebabkan tidak memperoleh sorga.

Dari itu, serukanlah bahwa jalan ke sorga, tak lain dari itu. Sebab itu, Al-Hasan berkata : "Dua orang yang mengada-adakan dalam Islam : seorang yang mempunyai pendapat jahat, lalu mendakwa- kan bahwa sorga itu adalah untuk orang yang berpendapat seperti pendapatnya. Dan seorang lagi yang boros penyembah dunia, ma¬rah dia karena dunia, senang dia karena dunia. Dunialah yang dicarinya. Maka lemparkanlah kedua orang itu ke dalam neraka! (mukasurat295)

Dibalik itu, ada orang di dunia ini, antara permboros yang mengajaknya kepada dunia dan yang berhawa nafsu yang mengajaknya kepada hawa nafsu. Maka Allah Ta'ala memeliharakannya dari kedua orang tadi, dimana ia merindui salaf-salaf yang salih. Dia menanyakan perbuatan mereka dan mengikuti jejak mereka. Orang ini memperoleh pahala besar. Begitulah hendaknya kamu seka-lian!".
Diiiwayatkan dari Ibnu Mas'ud, hadits mauquf dan musnad, bahwa Nabi saw. bersabda :

(Innamaa humatsnataani: alkalaamu wal hudaa. Fa-ahsanul kalaami kalaamullaahi Ta'aalaa wa ahsanul hudaa hudaa Rasulillaahi shallallaahu 'alaihi wa sallam.Alaa wa iyyaakum wa muhdatsaatil umuuri fa-inna syarral umuuri muhdatsaatuhaa wa inna kulla muh- datsatin bid'atun, wa inna kulla bid'a tin dlalaalah. Alaa laa yathuu- lanna 'alaikumul amadu fa-taqsuu quluubukum. Alaa kullu maa huwa aatin qariibun. Alaa ixmal ba'iida maa laisa biaatin).
Artinya :
"Sesungguhnya dua itulah : kalam dan petunjuk. Yang sebaik-baik kalam (perkataan) yaitu ; kalam Allah Ta'ala. Dan yang sebaik-baik petunjuk yaitu : petunjuk Rasulullah s.a.w. Ketahuilah! Bahwa kamu harus awas dari.hal-hal yang diadakan. Sejahat-jahat hal, ialah yang diada-adakan. Dan tiap-tiap yang diada-adakan itu bid’ah. Tiap-tiap bid'ah itu sesat. Ketahuilah! Janganlah berlama-lama ka¬mu di dalam bid'ah, maka kesatlah hatimu. Ketahuilah! Tiap-tiap yang akan datang itu dekat. Ketahuilah! Bahwa yang jauh itu, ialah sesuatu yang tidak-akan datang". (1)1) Dirawikan Ibnu Majah dari Ibnu Mas'ud.

Dalam suatu pidato Rasulullah saw. ialah : "Amat baiklah orang yang memperhatikan akan kekurangan dirinya, tidak memperhatikan kekurangan orang lain. Berbelanja dari harta yang diusahakannya tidak pada jalan ma'siat. Bergaul dengan ahli fiqih dan ahli hukum dan menjauhkan dirinya dari ahli sesat dan ma'siat. Amat baiklah orang yang merendahkan diri, baik budi pekerti, bagus bathin dan terpelihara manusia lain dari kejahatannya. Amat baiklah orang yang berbuat menurut ilmunya, berbelanja pada kebajikan yang lebih dari hartanya, menahan yang tidak perlu dari perkataannya. Sunnah Nabi berkembang dalam dadanya dan tidak dibawanya kepada bid'ah", (1)

Ibnu Mas'ud ra. pernah berkata :
"Petunjuk yang baik pada akhir zaman adalah, lebih baik dari banyak amal perbuatan".
Dan berka¬ta Ibnu Mas'ud pada tempat yang lain :
"Kamu sekarang pada masa dimana orang-orang baik dari kamu bersegera dalam segala pekerja¬an. Dan akan datang sesudahmu nanti suatu masa, dimana orang- orang baik dari mereka, teguh lagi berhati-hati mengerjakan sesuatu, karena banyaknya perbuatan syubhat (yang diragukan halal-haramnya)".

Memang benarlah ucapan Ibnu Mas'ud itu! Siapa yang tidak berha¬ti-hati pada masa sekarang, lalu mengikuti saja orang banyak dan berkecimpung dalam perbuatan yang dikerjakan mereka, niscaya binasa sebagaimana mereka itu binasa.

Berkata Huzaifah ra. : "Yang lebih mengherankan dari ini, ialah perbuatan yang baik dari kamu pada hari ini adalah munkar pada zaman yang lampau. Dan yang munkar dari kamu pada hati ini adalah baik pada zaman yang silam. Sesungguhnya kamu senantiasa dalam kebajikan, selama kamu mengenai akan yang benar. Dan orang yang berilmu dari kamu, tidak meringan-ringankan yang benar itu".

Sungguh benarlah Huzaifah! Memang kebanyakan perbuatan yang dipandang baik sekarang, adalah munkar pada masa para shahabat Nabi saw. Karena kebanyakan yang dipandang baik pada masa kita ini, ialah menghiasi masjid-masjid, membaguskannya, mengeluarkan harta banyak dalam pembangunan bahagiannya yang kecil-kecil dan membentangkan permadani yang empuk di dalamnya.

Dan sesungguhnya terhitung dalam perbuatan bid'ah, memben¬tangkan permadani di dalam masjid. Dikatakan, itu adalah termasuk perbuatan yang diada-adakan oleh orang-orang yang mengerjakan hajji. Adalah orang-orang dahulu itu, sedikit sekali yang membuat batas antara mereka dan tanah.
(1) Dirawjkan Abu Na'im dari Al-Husain bin Ali dengan sanad dla'if.

Begitu pula, kesibukan dengan perdebatan dan pertengkaran dalam soal yang kecil-kecil, termasuk diantara ilmu yang paling mulia bagi orang zaman sekarang. Dan mendakwakannya termasuk dian¬tara perbuatan yang terbesar untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Pada hal itu, termasuk dalam perbuatan yang munkar.
Diantara yang munkar juga mengobah-obah (talhin) bacaan Al-Quran dan adzan. Diantara yang munkar juga, membanyakkan pemakaian air pada pembersihan diri, was-was (selalu ragu saja) waktu bersuci, menyangka sebab yang bukan-bukan mengenai najis kain, sedangkan dalam pada itu tidak mementingkan antara halalnya dan haramnya makanan yang dimakan. Dan begitulah seterusnya.

Benarlah kiranya Ibnu Mas'ud ra. yang mengatakan : "Kamu pada hari ini dalam zaman, dimana hawa nafsu mengikuti ilmu. Dan akan datang kepadamu nanti suatu zaman, dimana ilmu mengikuti hawa nafsu".

Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata : "Mereka meninggalkan ilmu dan menuju kepada yang ganjil-ganjil, di mana ilmu itu ti¬dak kurang pada mereka. Kiranya Allah menolong mereka dari keadaan itu!".

Berkata Imam Malik bin Anas ra. : "Orang-orang pada masa dahulu, tidak menanyakan tentang hal-hal ini, seperti yang ditanyakan orang-orang pada masa sekarang. Dan ulamanya tidak mengatakan yang haram dan yang halal. Tetapi saya jumpai mereka itu menga¬takan, yang sunnah dan yang makruh".

Artinya, mereka itu memandang kepada yang sehalus-halusnya dari perbuatan makruh dan sunnah. Sedang perbuatan yang haram, keburukannya sudah nyata.

Hisyam bin 'Urwah pernah berkata : "Jangan engkau tanyakan mereka hari ini tentang sesuatu yang diada-adakannya oleh diri mereka itu sendiri. Karena untuk itu mereka telah menyediakan jawabannya. Tetapi tanyakanlah mereka mengenai sunnah sebab mereka tidak mengetahuinya".

Abu Sulaiman Ad-Darani pernah berkata : "Tidak sewajarnyalah bagi orang yang memperoleh ilham sesuatu kebajikan, lalu terus mengerjakannya, sebelum lagi mendengar hal itu pada atsar. Maka ia memuji akan Allah Ta'ala, karena ilham itu sesuai dengan apa yang pada dirinya".

Abu Sulaiman ra. mengatakan demikian karena pendapat-pendapat yang diada-adakan itu memang menarik perhatian dan melekat didalam hati. Oleh karenanya, kadang-kadang mengotorkan kebersihan hati, lalu menyangka yang batil itu benar. (mukasurat298)

Dari itu harus dijaga dengan hati-hati, dengan membuktikannya dengan atsar-atsar.
Karena inilah, tatkala Khalifah Marwan mengadakan mimbar pada shalat hari raya di sisi tempat bershalat, lalu bangun Abu Sa'id Al-Khudri ra. seraya berkata: "Hai Marwan! Bukankah ini bid'ah?".
"Tidak!", menjawab khalifah Marwan. "Ini tidak bid'ah, tetapi lebih baik daripada yang tuan ketahui.Sesungguhnya orang sudah banyak sekali. Maka maksudku supaya suara itu sampai kepada mereka "
Menyambung Abu Sa'id : Demi Allah! Tidaklah sekali-kali kamu mendatangkan yang baik, dari apa yang aku ketahui selama ini. Wallah demi Allah! Tidaklah akan aku bershalat di belakangmu hari ini".
Sesungguhnya Abu Sa'id menantang Khalifah Marwan dalam peristiwa tadi, disebabkan "Rasulullah saw. dalam khutbah hari raya dan khutbah sembahyang meminta hujan, memegang busur atau tongkat, tidak atas mimbar’(1)
Pada suatu hadits yang terkenal. tersebut:
Artinya :"Barang siapa mengada-adakan dalam agama kita sesuatu yang tidak di dalamnya, maka tertolak". (2)
Pada hadits yang lain, tersebut:

(Man ghasy-sya ummatii fa'alaihi la'natullaahi wal malaaikati wan- naasi ajma'in).
Artinya :"Barang siapa membohongi ummatku, maka atasnya la'nat Tuhan, malaikat dan seluruh manusia(3)
(1) Dirawikan Ath-Thabranl dari Al-Barra' dan ini, haditi dla'if.
(2) Dirawikan AhBukhari dan Muslim dari Aishah.
(3) Dirawikan Ad-Daraquthnl dart Anas, dangan sanad dla'lf (mukasurat299)

Lalu orang bertanya : "Ya Rasulullah! Bagaimanakah orang mem bohongi ummatmu?".
Nabi saw. menjawab : "Yaitu diada-adakannya sesuatu bid'ah, lalu dibawanya manusia kepadanya"
Bersabda Nabi saw. :
"Sesungguhnya Allah Ta'ala mempunyai seorang malaikat yang menyerukan setiap hari : "Barang siapa menyalahi sunnah Rasul¬ullah saw. maka dia tidak akan memperoleh syafa'atnya". (1)

Orang yang menganiaya agama dengan mengada-adakan sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, dibandingkan dengan orang yang berbuat dosa, adalah seumpama orang yang mendurhakai raja de¬ngan menjatuhkan pemerintahannya, dibandingkan dengan orang yang melawan perintahnya dalam suatu perintah yang tertentu. Perlawanan itu kadang-kadang diampuninya. Tetapi menjatuhkan pemerintahannya tidaklah diampuni.

Berkata setengah ulama : "Apa yang dikatakan salaf, maka berdiam diri daripadanya adalah suatu kekasaran. Dan apa yang didiamkan salaf, maka membicarakannya adalah memberat-beratkan diri".

Berkata ulama yang lain : "Kebenaran itu berat. Orang yang melewati garisnya, telah menganiaya diri. Orang yang memendekkannya, adalah lemah. Dan orang yang berdiri teguh pada kebenaran itu, adalah mencukupi".
Bersabda Nabi saw. :

('Alaikum binnamathil au-sathilladzii yarji'u ilaihil 'aalii wa yartafi'u ilaihit taalii).
Artinya :"Haruslah kamu di garis yang di tengah yang kembali kepadanya yang di atas dan yang naik kepadanya yang berikutnya". (2)
Berkata Ibnu Abbas ra. : "Kesesatan itu manis dalam hati orang- orangnya".
(1) Menurut Al-lraqi, beliau belum pernah menjumpal hadits ini.
(2) Dirawikan Abu 'Ubaid dari Ali bin Abi Thalib hadits mauquf pada Ali

Berfirman Allah Ta'ala :
Artinya :
"Tinggalkanlah mereka yang membuat agamanya permainan dan senda-gurau".
(S. Al-An'am, ayat 70).
Allah Ta'ala berfirman :
Artinya :"Adakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk, lalu perbuatannya yang buruk itu dianggapnya baik".(S. Fathir, ayat Cool.
Segala apa yang diada-adakan sesudah para shahabat ra. yang melewati batas dharurat dan keperluan, maka itu termasuk diantara permainan dan senda-gurau.
Diceriterakan tentang Iblis yang kena kutukan Tuhan, bahwa Iblis itu mengirimkan tentaranya pada masa shahabat ra. Maka kembali Iah tentara itu kepada Iblis dengan perasaan menyesal.
Bertanya Iblis : "Apa kabar kamu sekalian?".
Tentara Iblis itu menjawab : "Belum pernah kami melihat seperti mereka itu. Kami tidak memperoleh sesuatu dari mereka. Mereka telah meletihkan kami."
Maka menyambung Iblis itu : "Rupanya kamu tidak sanggup menghadapi mereka, dimana mereka telah menyertai nabinya dam menyaksikan turun wahyu dari Tuhannya. Tetapi sesudah mereka itu nanti, akan datang suatu kaum yang akan kamu peroleh hajatmu dari mereka".
Tatkala datang masa tabi'in, Iblis itu mengirimkan lagi bala tentara¬nya. Itupun tentara Iblis itu kembali dengan tangan kosong. Mereka itu berkata : "Belum pernah kami melihat yang lebih mena'jubkan dari mereka. Kami peroleh satu demi satu dari dosa mereka. Tetapi apabila sore hari, lalu mereka bermohon ampun (bertaubat kepadaTuhan). Maka digantikan oleh Allah kejahatan mereka dengan kebajikan

Menyambung Iblis itu lagi: "Kamu tidak akan memperoleh sesuatu daripada mereka, karena ketauhidan mereka itu benar dan karena teguhnya mereka mengikuti nabinya. Tetapi akan datang sesudah mereka nanti, suatu kaum yang senang hatimu melihat mereka. Kamu dapat mempermain-mainkan mereka dan mengajak mereka menuruti hawa nafsunya, menurut kemauanmu. Kalau mereka meminta ampun, maka tidak akan diampunkan. Dan mereka tidak akan bertaubat. Maka kejahatannya digantikan oleh Tuhan dengan kebajikan".

Berkata Iblis itu seterusnya : "Sesudah qurun pertama, maka datanglah suatu kaum, lalu bergeraklah hawa nafsu pada mereka dan berhiaslah mereka dengan perbuatan-perbuatan bid'ah. Maka mere¬ka itu memandang yang bid'ah itu halal dan membuatnya menjadi agama. Tidak pernah mereka memohon ampun dan bertaubat daripadanya. Maka mereka dikuasai oleh musuh-musuhnya dan dihalaukannya kemana saja dikehendaki oleh musuh-musuhnya".

Kalau anda bertanya : "Dari manakah orang yang menerangkan tadi, mengetahui apa yang dikatakan Iblis, pada hal ia tidak melihat Iblis dan tidak berbicara dengan Iblis tentang yang demikian itu?".
Maka ketahuilah kiranya, bahwa orang-orang yang mempunyai hati, terbuka bagi mereka segala rahasia alam ghaib (alam malakut), sekali dengan jalan ilham, dengan melintas datang kepada mereka dari arah yang tidak diketahuinya. Sekali dengan jalan mimpi yang benar. Dan sekali sedang jaga (tidak-tidur), dengan jalan terbuka segala pengertian dengan menyaksikan contoh-contoh, seperti yang dalam tidur tadi.
Dan inilah tingkat yang tertinggi, yaitu : sebahagian dari tingkat- tingkat kenabian yang tinggi, sebagaimana mimpi yang benar, adalah suatu bahagian dari empat puluh enam bahagian dari kenabian.
Maka hati-hatilah, bahwa ada bahagianmu dari ilmu ini, mengingkari apa yang melewati batas kesingkatan pahammu!.

Dalam hal ini, telah banyak binasa 'alim ulama yang mengaku dirinya pandai, menda'wakan telah menguasai seluruh ilmu akal.
Maka bodoh adalah lebih baik dari akal, yang mengajak kepada menantang seperti hal-hal tersebut, yang dipunyai wali-wali Allah

Orang yang mengingkari hal itu bagi wali-wali, mengakibatkan dia telah mengingkari nabi-nabi. Dan adalah ia keluar dari Agama seluruhnya.

Berkata setengah 'arifin (orang yang mempunyai ma'rifah kepada Allah Ta'ala) : "Sesungguhnya telah habis orang-orang al-abdal disegala penjuru bumi. Mereka bersembunyi dari mata orang ba¬nyak, kerena tidak sanggup melihat ulama zaman sekarang. Karena mereka itu betul-betul sudah jahil terhadap Allah Ta'ala. Sedang mereka menurut pengakuannya sendiri dan pengakuan orang-orang bodoh, adalah ulama".
Berkata Sahl At-Tusturi ra. : "Diantara ma'siat yang terbesar, ialah tak tahu di bodoh diri, memandang kepada orang awwam dan mendengar perkataan orang lalai. Tiap-tiap orang 'alim yang te¬lah berkecimpung dalam urusan duniawi, maka tidak wajar lagi perkataannya didengar. Tetapi hendaklah dicurigai dari tiap-tiap perkataan yang diucapkannya. Karena tiap-tiap manusia itu berke-cimpung pada apa yang disukainya dan menolak apa yang tidak bersesuaian dengan yang disukainya".

Karena itu, berfirman Allah Ta'ala :
Artinya :
"Dan janganlah engkau turut orang yang Kami lalaikan hatinya dari mengingati Kami dan diturutinya keinginan nafsunya dan pekerjaannya biasanya di luar batas ". (S. Al-Kahf, ayat 28).


Orang awwam yang ma'siat, keadaannya lebih berbahagia dari orang yang bodoh dengan jalan agama, yang mengakui dirinya ulama. Karena orang awwam yang ma'siat itu mengakui keteledor- annya. Lalu meminta ampun dan bertaubat. Dan orang bodoh ini, yang menyangka dirinya berilmu, maka ilmu yang dipelajarinya, ialah pengetahuan yang menjadi jalan baginya kepada dunia, tersisih dari jalan agama. Lalu ia tidak bertaubat dan meminta ampun. Tetapi senantiasa berpegang kepadanya, sampai mati. Dan apabila ini telah memenangi pada kebanyakan manusia, kecuali orang-orang yang dipelihara oleh Allah Ta'ala, dan putuslah harapan untuk memperbaiki orang-orang tersebut, maka yang lebih raenye- lamatkan bagi orang yang beragama, yang menjaga diri, ialah : mengasingkan diri dan sendirian, sebagaimana akan datang penjelasannya pada "Kitab 'Uzlah " nanti insya Allah……………………………………………………………………………………………………..

Karena itulah Yusuf bin Asbath menulis surat kepada Huzaifah Al-Mar'asyi, yang isinya antara lain : "Apakah persangkaan tuan dengan orang yang tidak memperoleh seorangpun, yang tidak mengingati Allah Ta'ala bersama dia melainkan adalah orang itu berdosa atau pembicaraannya adalah ma'siat saja? Dan yang demi¬kian, sesungguhnya dia tidak memperoleh temannya".

Benarlah apa yang dikatakan Yusuf itu. Karena dalam bergaul dengan manusia, tidaklah terlepas dari upatan atau mendengar upatan atau berdiam diri atas perbuatan munkar.
Keadaan yang sebaik-baik nya, ialah orang itu membuat ilmunya berfaedah kepada orang lain atau mengambil faedah dari ilmu yang ada pada orang lain.

Orang yang patut dikasihani ini, kalau memperhatikan dan menge¬tahui bahwa memanfa'atkan ilmunya itu kepada orang, tidaklah terlepas dari bercampur dengan ria, ingin.harta dan jadi kepala, niscaya tahulah dia bahwa orang yang mengambil faedah dari ilmu¬nya bermaksud menjadikan ilmu itu sebagai alat untuk mencari dunia dan jalan kepada kejahatan.

Beidasarkan itu, maka adalah dia menolong kearah itu, membantu dan menyiapkan sebab-sebab, seperti, orang yang menjualkan pedang kepada perampok. Maka ilmu itu adalah seperti pedang. Kepatutannya bagi kebajikan, adalah seperti kepatutan pedang bagi perang.

Dari itu tidak diperbolehkan menjual pedang itu kepada orang yang diketahui menurut keadaannya, mau mempergunakan pedang itu untuk merampok.

Maka inilah dua belas tanda ulama akhirat! Masing-masing dari padanya mengumpulkan sejumlah budi pekerti ulama terdahulu (ulama salaf).

Dari itu, hendaklah kamu menjadi salah seorang dari dua : adakala' nya bersifat dengan sifat-sifat itu atau mengaku dengan keteledoran secara sadar. Awaslah, jangan engkau menjadi orang ketiga, maka engkau ragu kepada diri sendiri dengan engkau gantikan alat duniamukasurat304dengan agama. Engkau serupakan perjalanan hidup orang-orang batil dengan perjalanan hidup ulama-ulama yang mendalam penge- tahuannya. Maka termasuklah engkau disebabkan kebodohan dan keingkaran engkau, ke dalam golongan orang yang binasa dan putus asa.

Berlindunglah kita dengan Allah swt. dari tipuan setan yang menyebabkan orang banyak binasa. Kita bermohon kepada Allah Ta'ala semoga dijadikanNya kita diantara orang-orang yang tidak ditipu oleh kehidupan duniawi. Dan tidak ditipu oleh penipu pada jalan Allah!............ penipu pada jalan Allah!.............................. penipu pada jalan Allah!..
305
salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  salik Sun Oct 31, 2010 9:26 pm

salik
salik

Jumlah posting : 1366
Registration date : 2009-03-28

Back to top Go down

Ihya' Ulumuddin - Page 5 Empty Re: Ihya' Ulumuddin

Post  Sponsored content


Sponsored content


Back to top Go down

Page 5 of 5 Previous  1, 2, 3, 4, 5

Back to top

- Similar topics

 
Permissions in this forum:
You cannot reply to topics in this forum